Sempat terhenyak sejenak perihal eksekusi mati TKI di Arab Saudi yang bernama Tuti Tursilawati pada Senin 29 Oktober 2018.
Padahal menurut laman BBC Indonesia, sebelum Menlu Retno telah menyampaikan kasus Tuti kepada Menteri Luar Negeri Arab Saudi pada pertemuan di Bali 23 Oktober dan pada 28 Oktober KJRI Jeddah menyampaikan bahwa Tuti dalam kondisi sehat. Sontak keesokan harinya, Menlu Retno memanggil Dubes Arab Saudi untuk menyampaikan protes secara langsung karena Arab Saudi telah melakukan eksekusi tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah Indonesia.
Kira-kira tiga minggu sebelumnya, jurnalis Arab Saudi, bernama Jamal Khassoggi, diduga dibunuh di kantor konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, setelah melakukan kritik kepada putra mahkota Muhammad bin Salman. Khusus di kasus pembunuhan Jamal Khassoggi ini, sepertinya Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Trump, melindungi Arab Saudi. Terlebih dengan adanya sanksi ke Iran, yang merupakan musuh bersama Arab Saudi dan Israel.
Arab Saudi diminta oleh Amerika Serikat untuk menjaga kestabilan harga minyak dengan menambah produksi minyaknya karena di saat yang sama, dengan sanksi yang dikenakan, aliran ekspor minyak Iran akan menurun.
Amerika Serikat juga ingin menjaga transaksi bisnis senjata sebesar US$ 110 milyar dengan Arab Saudi akan lenyap. Kabarnya, Muhammad bin Salman mengancam jika Arab Saudi ditinggalkan Amerika, Arab Saudi akan berpaling ke Vladimir Putin. Bagaimana halnya dengan Turki?
Turki juga punya kepentingan dengan Arab Saudi untuk mau berinvestasi ke negaranya yang sedang dilanda permasalahan ekonomi. Begitu peliknya hubungan antar negara itu yang sering sekali menimbulkan kesulitan penyelesaian permasalahan kemanusiaan. Lobi-lobi tingkat tinggi sangat diperlukan. Amerika Serikat sendiri misalnya, mengirimkan Mike Pompeo untuk bertemu petinggi Arab Saudi di Riyadh untuk mengamankan kepentingannya terkait peristiwa-peristiwa ini pada 16 Oktober 2018.
Kembali ke hukuman mati TKI di Arab Saudi. Indonesia pernah punya pengalaman untuk bisa membatalkan pelaksanaan hukuman mati Siti Zaenab binti Duhri Rupa, TKI asal Bangkalan, Jawa Timur. Dia ditahan pada 1999 karena membunuh istri majikannya. Seperti yang diberitakan oleh kumparan, Migran Care dalam siaran persnya pada April 2015 menyebutkan, Zaenab membunuh istri majikannya untuk membela diri. Selama dua tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga, Zaenab mendapat beberapa kali penganiayaan.
Adalah Gus Dur yang waktu itu adalah Presiden Republik Indonesia, yang bertindak proaktif dengan mengontak langsung penguasa Arab Saudi, Raja Fahd dan meminta menangguhkan pelaksanaan hukuman mati terhadap Siti Zaenab. Diplomasi Gus Dur pun membuahkan hasil, eksekusi Zainab ditunda.
Keberhasilan Gus Dur, yang merupakan pejuang kemanusiaan, dengan langsung menelepon raja Arab Saudi untuk menangguhkan eksekusi ini saya kira terjadi karena kemampuan Bahasa Arab dan diplomasi yang paripurna. Hal ini rupanya juga sejalan dengan tulisan Ulil Abshar Abdalla yang dimuat di alif.id Jumat kemarin. Ia menceritakan bagaimana paduan tata bahasa Arab yang rumit bisa dikuasai karena kecintaan terhadap bahasa yang tinggi.
Dikisahkan, ayahanda Gus Ulil menulis sebuah kitab dalam bahasa Arab, berbentuk nazam (syair), yang secara khusus membahas aspek-aspek yang “aneh”, unik, atau keluar dari kaidah umum dalam bahasa Arab—yaitu “ghara’ib al-lughah“. Judulnya: Al-Mifann (secara harafiah artinya: sesuatu/orang yang membawa berita tentang hal-hal yang menakjubkan— alladzi ya’ti bi-‘aja’ib al-umur).
Dari penuturan di atas, saya kira penguasaan bahasa termasuk bahasa asing sebagai medium diplomasi kemanusiaan dan diplomasi ekonomi bahkan politik yang baik sangat diperlukan untuk kemajuan kita sebagai bangsa Indonesia dan juga sebagai umat Islam.
Kita membutuhkan penerus Gus Dur untuk bisa lebih berperan dalam melindungi warga negara kita yang bekerja di luar negeri dan di satu sisi kita juga mestinya lebih bisa menumbuhkan lapangan pekerjaan yang baru dan memadai di dalam negeri, sehingga alih-alih mengirimkan TKI ke luar negeri, justru bangsa kita menjadi tuan rumah bagi talenta-talenta berbakat dari berbagai negara.
Dari sini bukan tidak mungkin bangsa kita menjadi “Start Up Nation” yang bisa mengubah kemajuan ekonomi bagi bangsa kita.