Sesudah generasi reformis Islam awal seperti Sir Sayyid Ahmad Khan dan Muhammad ‘Abduh, garis lainnya dalam spektrum pendekatan modern terhadap kewenangan Nabi Muhammad saw. terbentuk berkat munculnya skripturalisme Qurani.
Tanda pertama kecenderungan ini terlihat di Punjab pada awal abad kedua puluh dengan kemunculan Ahli Alquran. Gerakan ini berawal sebagai kelompok yang tidak sepakat dengan Ahli Hadis. Jika Ahli Hadis memandang taklid sebagai sumber penyimpangan dan perpecahan dalam Islam, Ahli Alquran memandang mengikuti hadis sebagai penyebab kemalangan Islam.
Kalau Ahli Hadis mengklaim bahwa warisan autentik Rasulullah saw dapat diraih kembali hanya dengan kembali kepada hadis, Ahli Alquran berpendapat bahwa Islam yang murni dapat ditemukan hanya dalam Alquran. Alquran saja, menurut mereka, yang memberikan landasan yang adil bagi keimanan dan perilaku keagamaan.
Aktivitas Ahli Alquran terkonsentrasi pada dua pusat penting Ahli Hadis di Punjab barat, Lahore dan Amritsar. Di Lahore, gerakan ini diprakarsai oleh fungsionaris keagamaan, ‘Abdullah Chakralawi (w. 1930).
Kelompok Amritsar didirikan oleh Khwaja Ahmad Din Amritsar (1861-1936). Chakralawi merupakan orang yang pertama menggunakan istilah “Ahli Alquran” sekitar tahun 1906, tetapi kelompok Lahore dan Amritsar berlomba memperoleh pengakuan sebagai pencetus ajaran itu.
Sarjana Daniel W. Brown dalam bukunya, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (1996) menganggit, bahwa Khwaja Ahmad Din tidak mendukung ajaran Ahli Alquran hingga pada 1917, sekitar sepuluh tahun pasca tulisan Chakralawi yang pertama mengenai masalah itu. Setelah dipaksa meninggalkan kampung halamannya, menurut laporan oleh pra penentang pandangannya, Chakralawi pergi ke Lahore. Di sini dia mendirikan sebuah perhimpunan: Jamaat-i-Ahl-i-Qur’an.
Di bawah bantuan organisasi ini, dia mulai memperkenalkan ajarannya. Dia terlibat dalam perdebatan sengit dengan Ahli Hadis, terutama dengan editor surat kabar, Muhammad Husayn Batalawi, dan dia begitu membuat marah mereka sehingga dia harus diselamatkan pada satu peristiwa oleh pejabat pemerintah. Titimangsa 1921, seorang murid Chakralawi menerbitkan sebuah jurnal, Isha’at Al-Qur’an, yang berlanjut hingga tahun 1925.
Kelompok Amritsar lebih berpengaruh, dan pengaruhnya lebih abadi. Pada 1917, tokoh pendirinya, Khwaja Ahmad Din, pertama menentang dengan bersandar pada hadis dalam karangannya, Mu’jizatul Qur’an. Dalam kitab ini, dia mencoba menafsirkan kembali hukum-hukum waris berdasarkan Alquran saja. Khwaja Ahmad Din pernah memperoleh pendidikan dari sekolah dakwah, dan menjadi pemuda yang aktif dalam perdebatan antaragama. Mengikuti pola Ahli Hadis dan kebanyakan kelompok muslim reformis pada masa itu, dia mengklaim bahwa pandangannya berasal dari dirinya sendiri.
Cerita yang sama dapat kita jumpai hampir pada setiap autobiografi Ahli Alquran: seorang pelajar hadis yang rajin mendapati hadis yang mengguncangkan perasaan moralnya. Untuk menyigi kehadiran hadis yang demikian, dia mendalami studi hadis, namun justru menjadi semakin kecewa, dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa tidak ada hadis yang dapat dipercayai.
Tahun 1918, setelah dia berubah dan pasca publikasi bukunya mengenai permasalahan itu, dia mendirikan Anjuman-i-Ummat-i-Muslima, sebuah organisasi yang aktif mempromosikan pandangan Ahli Alquran paling tidak hingga tahun 1952. Anjuman mulai mempublikasikan sebuah jurnal, Al-Balagh, yang menjadi corong utama bagi ahli Alquran hingga Ghulam Ahmad Parwez mendirikan jurnal Thulu’-i-Islam pada 1938.
Kepedulian utama Ahli Alquran awal sama dengan tradisi Ahli Hadis. Mereka disibukkan oleh persoalan yang sama seperti tata cara peribadahan yang memisahkan Ahli Hadis dan pengikut Hanafi, terutama cara sembahyang nan tepat.
Mereka menyuarakan azan, mengucapkan “Allahu Akbar” dalam hati, dan mereka bersujud hanya di atas satu lutut dalam ibadah sembahyang. Mereka membangun masjid mereka sendiri, menolak sembahyang bersama muslim lainnya, dan menghilangkan sembahyang-sembahyang khusus untuk orang wafat dan juga sembahyang hari raya.
Akan tetapi, dalam kebanyakan masalah doktrin dan praktik, seperti halnya Ahli Hadis, mereka tidak terlalu berbeda dengan muslim lainnya. Salah satu perhatian intelektual mereka yang dominan adalah upaya membuktikan bahwa keseluruhan pokok Islam dapat diturunkan dari Alquran saja.
Upaya ini terutama terfokus pada masalah sembahyang. Sembahyang menjadi tanda pembedaan sentral Ahli Hadis, yang membedakan mereka dari mayoritas Hanafi, dan Ahli Alquran menggunakan sembahyang untuk memisahkan diri dari Ahli Hadis. Perhatian yang sama ini jelas membentuk hubungan erat antara kedua kelompok tersebut.
Generasi kedua penyangkal hadis di Subbenua India, menolak upaya menemukan setiap detail tata cara Islam dalam Alquran, demi pendekatan yang lebih spekulatif serta rasionalistis terhadap penafsiran Alquran.
Namun, bahkan Muhammad Aslam (1881-1955), orang yang paling bertanggung jawab mengembangkan fokus wacana Ahli Alquran di luar masalah ritual agama dan memindahkannya dari bayang-bayang Ahli Hadis, memiliki akar Ahli Hadis. Ayah Jayrajpuri, Salamallah Jayrajpuri (w. 1904) pernah menjadi anggota terkemuka Ahli Hadis di A’zhamgarh, dan pernah belajar hadis kepada Nazhir Husayn Dihlawi.
Jayrajpuri menyebutkan bahwa dia mulai mempertanyakan keautentikan hadis sejak muda, setelah mendapati hadis-hadis yang mengejutkannya. Titimangsa 1904, dia pergi menjumpai Chakralawi di Lahore, tetapi tidak puas. Dia yakin bahwa Chakralawi menyianyiakan usahanya untuk menjawab ketidakjelasan.
Dia lebih terkesan pada karya Khwaja Ahmad Din dan Anjuman-i-Ummat-i-Muslima di Amritsar; dia menerjemahkan karya Ahmad Din, Mu’jizatul Qur’an ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Wiratsat fi Al-Islam, dan sering menulis untuk jurnal Al-Balagh.
Jika Jayrajpuri dan para penyangkal hadis kemudian bergeser dari perhatian spesifik Ahli Hadis, jelaslah bahwa dorongan untuk mengembangkan gagasan Ahli Alquran adalah hasil perkembangan langsung doktrin anti-taklid gerakan Ali Hadis. Ahli Alquran bukanlah kaum rasionalis. Mereja juga tidak terlalu dipengaruhi gagasan Barat.
Gerakan ini, pada hakikatnya, merupakan perluasan dan perwujudan lebih ekstrem dari skripuralisme Ahli Hadis. Selain itu, transisi dari skripturalisme berlandaskan hadis dari Ahli Hadis, ke skripturalisme berlandaskan Alquran pada kelompok Ahli Alquran tidaklah membutuhkan perubahan besar orientasi.