Kemudian, sambil memantapkan niat ‘yang diformalisasi’ itu dalam hati, kita mengangkat tangan sambil mengucap kalimat takbir: Allahu Akbar (Allah Maha Lebih Besar). Secara fikh, hukum mengangkat tangan saat takbiratul ihram adalah sunat, tetapi takbirotul ihramnya sendiri rukun. Alhasil: takbiratul ihram kita tidak akan sah tanpa menggunakan kalimat ‘Allahu Akbar’.
Kalau merujuk pada Syeikh Nawawi dalam Safinah, kita bisa menambahkan sifat Allah yang lain saat takbiratul ihram sepanjang (1) tidak menghilangkan sifat akbar.
(2) tidak menjeda terlalu jauh antara asma Allah dan sifat akbar. Jika jedanya terlalu panjang dan/atau bahkan ada pembacaan yang keliru baik pada asma Allah maupun lafaz akbar, maka takbirnya dianggap tidak sah, alhasil shalatnya juga tidak sah.
Pertanyaannya kemudian: kira-kira kenapa ya, Allah memilih kata ‘akbar’ untuk beliau sandingkan dengan asma-Nya di takbiratul ihram? Padahal, Allah memiliki tak-hingga sifat yang juga, katakanlah, ‘tidak kalah penting’ dibandingkan dengan sifat ‘akbar’? Kenapa tidak Allahu Rahman, Allahu Rahim biar selaras dengan basmalah? Biar selaras dengan misi Islam yang rahmatan lil ‘alamiin?
Bahkan kalau kita tarik lebih jauh: frasa Allahu Akbar malah adalah frasa yang paling banyak diucapkan oleh muazin saat memanggil kita salat. Ada apa dengan kalimat takbir dan salat?
Di tulisan awal, saya sudah menawarkan analogi shalat sebagai sebuah pertemuan, persitatapan, suatu kencan dengan Maha Kekasih. Ada tujuan besar dari pertemuan itu, terkait dengan kedirian kita sebagai hamba-Nya, dan untuk itu Allah mengingatkan kita untuk memetakan kembali alasan dan tujuan segala aktivitas kita. Proses penyadaran itu kemudian dibarengi oleh perintah untuk mengingat kembali siapa diri kita di hadapan-Nya.
Barangkali oleh sebab Allah Maha Tahu kita ini gampang sekali merasa besar, merasa hebat, merasa pintar, hanya karena kita diberi potensi untuk menyadari ‘keberadaan’-nya di antara alam semesta. Apalagi kita sudah disanjung sebagai makhluk sempurna. Kita diuji dengan tarik-menarik akal dan hawa nafsu. Kita dipilih menjadi wakil-Nya di muka Bumi.
Kita tahu bahwa kita ini bahkan lebih kecil dari zarrah di hadapan semesta raya tetapi kemampuan kita mempelajari sang alam membuat kita merasa mampu menaklukkannya. Sedangkan goals dari shalat adalah, selain kecintaan yang bertambah dan ketenangan yang menentramkan dalam hati, juga ketakwaan yang membuat kita bisa mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar.
Alhasil, agar goals itu tercapai dan proses upgrading akhlaknya berhasil, mula-mula Allah perlu mengingatkan kita, secara rutin dan sistematis, bahwa sebesar apapun engkau berbesar kepala, sesungguhnya Beliau Maha Lebih dan Lebih Besar Lagi. Tidak peduli apakah engkau merasa mampu membelah matahari dan menyeberangi samudera, merekayasa genetika dan menghancurkan planet sekali tembak, seungguhnya “Aku Maha Lebih dan Lebih Besar Lagi”, lalu apa yang sesungguhnya engkau banggakan, engkau sombongkan?
Semangat itupulalah yang mesti kita implementasikan saat meng-akbar-kan Allah di luar shalat, saat bertakbir selepas selesai bersitatap dengan-Nya. Sayangnya, sebagaimana digelisahkan oleh Gus Mus, dalam bertakbir kita ini jangankan merasa nihil, yang ada malah meng-akbar-kan ego dan hawa nafsu kita, dengan mempergunakan takbir-nya Allah sebagai alat.