Sedang Membaca
Perjalananku ke Muktamar Tarekat
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Perjalananku ke Muktamar Tarekat

Perjalananku ke Muktamar Tarekat

Saya mendapatkan informasi Muktamar Jatman XII, Pekalongan 14-18 Februari 2017, dari seorang teman, Tawfiqur Rahim, sekitar satu-dua minggu sebelum kegiatan berlangsung. Oleh Tawfiq, yang mengikuti rapat persiapan keberangkatan Jatman Kalsel, nama saya didaftarkan untuk menerima mandat peserta Sidang Komisi D, yang membahas program kerja dan rekomendasi.

Dari Jatman Kalsel sendiri penerima mandat dan panitia keberangkatan ada 37 orang. Jumlah itu belum termasuk yang mewakili Jatman Kab/ Kota, dan “penggembira”. Dari Kalsel total yang berangkat kurang lebih 150 orang.

Saya berangkat hari Rabu (14/2) pukul 11.00 wib, bersama Tawfiq dan Sultan Khairul Saleh, keduanya juga penerima mandat Kalsel, untuk Komisi C, yang membahas keorganisasian. Sementara rombongan mendapat lokasi pemondokan di Mendono Jl. Karya Bakti, kami bertiga menginap di Hotel Horison Jl. Gajah Mada. Rata-rata hotel di Pekalongan penuh saat itu, sehingga kami hanya mendapat satu kamar bertiga.

Malam itu kami disambut hujan yang lama, hampir sepanjang malam. Di hotel kami tinggal selama dua malam. Di hotel itu pula menginap bupati Tuban, Khofifah Indar Parawansa, dan beberapa petinggi lainnya.

Selain oleh panitia, kami juga dilayani dan ditemani Ang ZE (Pesantren Gelar Cianjur) dan seorang kawan dari Tangerang, H. Sudirman. Saya baru tahu kemudian, “misi” sebenar nya “rombongan kecil” ini adalah menemui langsung Habib Luthfi bin Yahya untuk mengambil ijazah Tarekat Syadziliah. Sehingga, acara muktamar sendiri bersifat “nomor-dua”.

Di satu sisi hal ini “merugikan” karena saya tak bisa mengikuti kegiatan-kegiatan muktamar secara maksimal, di sisi lain ini juga merupakan keberuntungan tersendiri bagi saya.

Karena, tidak semua peserta memiliki kesempatan (akan) bertatap muka langsung secara dekat dengan Rais Am Jatman sekaligus Mursyid Tarekat Syadziliah ini dan mendapatkan ijazah langsung dari tangan beliau. Malam itu setelah acara Istighotsah (yang tak sempat kami ikuti) kami pergi ke markas Kanzus Shalawat, lalu ke kediaman Habib Luthfi di belakang melalui gang kecil padat perumahan.

Hujan yang berterusan membuat jalan menuju rumah habib banjir semata kaki. Seperti sudah kami duga sebelumnya, kediaman habib dipenuhi orang-orang yang ingin bertamu maupun sekadar ngalap berkah menjejakkan kaki di rumah beliau, dari para petinggi negeri hingga perwakilan-perwakilan daerah.

Kami menunggu antrian yang lama sekali. Tapi, yang beruntung masuk cuma Sultan. Sultan diantar oleh Ang ZE lewat tengah malam. Namun begitu, kata yang sudah masuk, kami “diundang” esok harinya untuk datang lagi.

Rabu pagi, 15 Februari 2018, kegiatan muktamar secara resmi dibuka oleh Presiden Jokowi. Saya dan rombongan kecil tidak terlalu tertarik berangkat ke sana, cukuplah para pengurus daerah mewakili di barisan yang pasti sangat “rapat” dan padat itu. Selebihnya, saya mendapat foto-foto acara pembukaan dari teman-teman yang berangkat itu.

Baca juga:  Menapaki Jejak Sejarah Makam Keramat Mundu

Keramaian dan kesibukan pengamanan terjadi di hotel sesudah acara pembukaan, karena ada menteri dan beberapa petinggi yang menginap di Horison, ditingkahi pula suara kereta api dari stasiun seberang.

Kami merencanakan malam akan ke kediaman Habib Lutfhi kembali. Siangnya itu saya hanya menghabiskan waktu baca buku sambil minum kopi di penginapan. Ada tiga “buku” yang saya bawa untuk menemani perjalanan beberapa hari ini. Memahami Bahasa Agama-nya Komaruddin Hidayat (Mizan 2011), Kosmologi Islam dan Dunia Modern-nya William C. Chittick (Mizan 2010), dan dua fotokopian Aurad at-Thariqah as-Syadziliah al-‘Alawiyah yang disusun Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (Kanzus Shalawat 2010) dan Risalah Zad al-Muttaqin fi at-Tawhid karya as-Syaikh al-‘Arif bi Allah ‘Abdus Shamad bin Abdurrahman al-Falimbani. Dua risalah fotokopian saya baca habis, plus bagian pendahuluan buku Memahami Bahasa Agama.

Sementara di jadwal yang saya baca, siang itu mestinya berlangsung Sidang Pleno I dan dilanjutkan Ceramah dan Dialog bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan tema Peranan Thoriqoh dalam Membentuk Karakter Bangsa dan Umat.

Saya kurang tahu apakah kegiatan di jadwal itu berlangsung tertib atau ada perubahan, seperti disesalkan beberapa peserta terkait perubahan jadwal dan tempat yang mendadak dalam dua hari itu. Begitu pula yang disesalkan terkait beberapa narasumber menteri yang cuma diwakili staf-stafnya. Yang saya tahu dari jadwal, beberapa menteri yang direncanakan sebagai narsum, selain menteri sosial yang saya tahu ada di hotel saya menginap, adalah Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menkopolhukam, Menteri Dalam Negeri, Menpora, Menteri Pemberdayaan Perempuan, di samping itu juga Panglima TNI dan Kapolri.

Malamnya kami dijemput Ang ZE, yang nama aslinya Muhammad Subchan Zainnurchie Echsan bin KH. Tajul Arif Kudus. Sampai di kediaman habib masih banyak sekali orang menunggu, baik yang lesehan maupun yg duduk mengelilingi meja di sisi tangga ke atas–tempat habib menerima tamu-tamunya.

Kami dipersilakan naik ke atas, dan menunggu di ruangan samping kamar sang Habib. Tidak seperti malam sebelumnya, malam itu habib menerima tamu-tamunya di kamarnya. Saya melihat tamu silih berganti masuk ke kamar beliau dalam kelompok-kelompok kecil. Dan ketika kami dipersilakan masuk, hari sudah berganti di pertengahan malam.

Habib duduk bersandar di sofa tanpa kaki yang bersandar ke pembaringannya. Di situ ia melayani tamu dengan pakaian sederhana, kaos oblong dan celana cingkrang putih-putih. Ketika disampaikan soal keinginan mengambil ijazah (bay’ah), beliau menyarankan bakda subuh saja. “Karena itu waktu yang penuh berkah,” kata Habib Lutfhi. Gantinya, kami hanya beramah tamah sebentar, karena masih ada antrian di belakang kami.

Baca juga:  Sabilus Salikin (40): Wali yang Jumlahnya Tetap pada Tiap Zaman (1)

Kami pun pulang untuk istirahat dan menyiapkan mental rohaniyah. Tidur sebentar, kami merencanakan kembali sebelum subuh dan akan menunaikan salat di Kanzus nantinya.

Setelah bersubuh di Kanzus, kami langsung ke kediaman di belakang. Kami menunggu di ruang samping kamar lagi, dan di sana ada dua orang. Salah seorang masih tertidur dan yang seorang lagi sudah sangat sepuh duduk khidmat sendiri. Ketika diajak bicara beliau mengenalkan diri sebagai Soleh bin Thohir.

Soleh bin Thohir mengaku lahir tahun 1927 yang artinya saat ini beliau sudah berumur 90 tahun. Beliau dari Gorontalo, masih segar bugar, pendengaran dan bicaranya pun meski agak terputus-putus masih sangat komunikatif. Ketika beliau tahu kami dari Banjar, beliau menyebut ayahnya juga dari Banjar dan masih keturunan Syekh Arsyad al-Banjari. Ayahnya pernah menjadi mufti di Kerajaan Pontoh Gorontalo.

Beliau bilang terakhir ke Banjar di tahun 80an, ketika Guru Zaini Sekumpul masih bermajelis di kampung Keraton (Martapura). Ditanya apa resep umur panjangnya, beliau diam sesaat, lalu menyebut mandi tengah malam salah satu amaliah beliau.

Beliau menyebut satu dua kerabat yang masih ada di Banjar, terutama di daerah Rantau. Lebih banyaknya beliau sudah agak lupa kerabat dan silsilah kebanjaran beliau. Sultan yang mengajak bicara menjanjikan akan membantu menelusuri beberapa nama yang disebut, yang mungkin bisa menyambungkan lagi kekerabatan di masa lalu.

Kami pun dipanggil masuk ke kamar di sebelah ruangan, mendahului Kyai Soleh karena sudah buat janji terlebih dahulu.

Suasana pagi itu sangat khidmat. Saat Sultan menyalami habib dengan genggaman yang kuat, kami orang bertujuh sisanya meletakkan tangan di atas tangan beliau.

Saya sendiri meski sudah mempunyai mursyid dari kalangan Alawiyyin juga, meniatkan diri meneladani Habib Ali al-Jufri saat ngalap berkah kepada ahli zikir, Syekh Nazhim Haqqani. Seseorang di antara kami menangis sesenggukan saking terharunya dengan ritual yang penuh ketakziman tersebut. Sebelum itu habib menerangkan soal aurad Syadziliah sembari menambahkan doa pendek pengganti doa panjang yang ada dalam risalah, saya dan Tawfiq mencatatnya.

Sesudah prosesi selesai perbincangan diteruskan ke soal sejarah Kerajaan Banjar (karena di antara kami ada Sultan Banjar) dan kerajaan Kutai, yang ulama perintisnya menurut habib dari kalangan keluarganya (datuknya)–Bin Yahya. Hingga giliran tamu-tamu yang lain datang, kami pun pamit pulang.

Di luar pengalaman yang bersifat spiritual ini, kegiatan muktamar tak dapat saya ikuti secara maksimal kecuali melalui perbincangan dengan peserta lain yang lebih aktif, serta melalui membaca tiga buku pedoman dan materi Muktamar XII Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah dan Halaqoh II Ulama Thoriqoh Luar Negeri yang diberi panitia. Bersama buku-buku tersebut peserta juga mendapatkan tas berlabel kegiaran yang di dalamnya juga ada baju taqwa, sarung, ID Card, parfum dan alat tulis.

Baca juga:  Sabilus Salikin (177): Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

Salah satu perbincangan malam rabu menjelang tengah malam itu, misalnya, tentang kekaguman peserta Kalsel Bidang Komisi Ekonomi. Menurut bapak yang tak saya tahu namanya itu, meski sama-sama dari Kalsel, perkembangan ekonomi pesantren berbasis tarekat di Jawa dan Sumatera jauh melampaui para pengamal tarekat di Kalsel, terutama di sektor perkebunan dan peternakan.

Malam itu juga, pukul 2 dini hari, kami mendadak “pulang”. Peserta dari Malang, Kyai Yusuf Abdurrahman (Khalifah TQN dari jalur Kyai Mushlih Mranggen), yang rencana kami ikut tumpangi mobilnya ke Malang untuk kegiatan lain yang sudah direncanakan sejak di Banjarmasin harus pulang karena kegiatan lain yang juga harus dihadirinya. Sebelumnya, siang selasa itu Sultan dan H. Sudirman dari Tangerang sudah berangkat ke Jakarta. Ang ZE sudah balik ke pesantrennya pula. Tinggal saya dan Ustaz Tawfiq, yang kemudian pindah ke pemondokan Kalsel di kediaman H. Munir–pengusaha batik Pekalongan yang sempat kami berbincang dengannya soal industi batik di beberapa daerah di Jawa.

Perjalanan kurang lebih 12 jam melintasi Rembang, Tuban, Gresik, Pasuruan hingga Malang itu sempat diisi perbincangan yang hangat soal “spiritualitas palsu” oleh oknum-oknum tarekat dan praktek perdukunan mengatasnamakan agama yang menggunakan mediasi jin oleh Kyai Yusuf dan Kyai Habibullah dari pesantren di kab. Malang, yang turut menumpang bersama kami di mobil Land Cruiser-nya Kyai Yusuf yang dekat dengan banyak petinggi TNI itu.

Kami salat subuh di Masjid Jami Lasem dan menyempatkan ziarah ke komplek pemakaman di belakangnya, terutama di komplek makam Mbah Sambu dan Kyai Ma’shoem Lasem. Kami tak dapat menziarahi secara khusus Mbah Sambu yang nama aslinya Sayyid Abdurrahman Basyaiban, ulama yang khusus didatangkan oleh pendiri Masjid Jami Lasem Adipati Tejokusomo I pada awal abad ke-17. Kebetulan cungkup kecil itu sudah dipenuhi para peziarah lainnya, sehingga kami meneruskan ziarah ke keluarga Kyai Ma’shoem saja. Berikutnya kami ngopi dan membeli buku  biografi Mbah Ma’shoem Lasem di salah satu warung di belakang masjid dan komplek pemakaman, untuk selanjutnya tancap gas ke Malang.

Demikian sepintas cerita kedatanganku di muktamar tarekat. Sisanya mungkin akan dengan mudah Anda baca di berita resmi media lokal/nasional maupun online. Wassalam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top