Taroko adalah perpaduan keindahan alam dan tradisi. Di sana terdapat taman nasional dengan bebatuan marmer yang orisinal, sarang burung walet, dan lembah-lembah curam dengan sungai yang bebas sampah. Di sana juga ada perkampungan Suku Truku, suku asli di Taroko yang masih mempertahankan tradisi penyambutan tamu. Profil wajah-wajah mereka mirip dengan suku Dayak di Kalimantan.
Saya dan beberapa wartawan dari Indonesia sudah mendapat gambaran mengenai Taman Nasional Taroko melalui film berdurasi 10 menit yang diputar di Pusat Pengunjung Taroko, juga mengenai suku asli di Taroko. Perjalanan berikutnya tinggal menyesuaikan saja, antara apa yang dilihat dan informasi di film. Semua cocok, kecuali satu. Gambar dan narasi di film tampak lebih indah, ya wajar, namanya juga film.
Taroko ditetapkan menjadi taman nasional sejak tahun 1986, termasuk Distrik Hualien, Distrik Nantou, dam Kota Taichung. Taroko sendiri berada di dalam Distrik Hualien, yang masyhur karena gunung-gunung dan ngarai-ngarai bebatuan marmer yang unik. Tebing dan ngarai terbentang di sepanjang sungai Liwu.
Empat juta tahun lalu, Pulau Taiwan terbentuk karena benturan lempeng-lempeng di laut, dan setelah jutaan tahun erosi angin, bongkah-bongkah batu marmer muncul. Sungai Liwu membelah ngarai penuh marmer, menunjukkan keaslian alam yang indah dan hakiki. Ketinggian ngarai marmer yang terbentang dari puncak Qingshui hingga Nanhu mencapai 3.742 meter di atas permukaan laut, menciptakan geografi unik yang mengundang flora serta fauna istimewa untuk tinggal di dalamnya.
Kami mulai menyusuri gua penuh sarang burung walet yang kebetulan sedang tidak ada waletnya. Mungkin diminta fokus menikmati ngarai marmer yang aduhai eloknya. Bebatuan itu membentuk motif melengkung-lengkung warna biru dan coklat, mengingatkan saya pada meja marmer embah buyut di kampung, satu-satunya meja marmer yang masih tersisa. Kami berjalan kaki lebih dari satu kilometer sambil menikmati pesona alami Yankizou (gua walet).
Di tengah perjalanan, persisnya di satu kelokan, kami berhenti sejenak. Di sana ada patung Jin Heng, insinyur yang membangun jembatan untuk menghubungkan dua bukit yang melintas di atas sungai Ludan. Jembatan itu awalnya dinamai Bailong, sesuai nama daerah, tapi kemudian diubah menjadi jembatan Jin Heng untuk menghormati Jin Heng yang tewas tertimpa longsoran tanah saat meninjau jembatan setelah gempa bumi lima skala Richter pada tanggal 20 Oktober 1957.
Sebagian jembatan ambrol. Pada tahun 1997 jembatan kembali dihantam topan, kali ini topan Amber, dan pada tahun 2000 diterjang topan Bills. Jembatan Jin Heng yang kami lintasi saat ini adalah jembatan hasil perbaikan terbaru yang beroperasi pada November 2003.
Sejak awal kami sudah diperingatkan untuk mengenakan helm pinjaman, untuk berjaga-jaga dari bebatuan yang mungkin runtuh. Tidak ada rasa takut akan terjadi gempa, karena memang tidak ada peringatan. Namun, waspada tetaplah penting, mengingat Taroko bahkan Taiwan secara keseluruhan kerap diterpa topan dan gempa bumi.
Keramahan Warga di Taroko Village
Setelah wisata jalan kaki gua walet usai, kami menuju Taroko Village Hotel, satu bungalo etnik berdinding kayu di atas bukit di kota kecil Xiulin, Distrik Hualien. Begitu tiba, saya langsung jatuh cinta. Dinding kayu, patung kayu, caping, bangku-bangku dari batang pohon, lukisan kehidupan suku Truku, foto-foto suku Truku, hiasan dinding, semuanya terasa magis. Damai berada di suasana etnis macam begini.
Sebelumnya kami sudah diberitahu mengenai sapaan khas di bungalo. Para pekerja akan menyapa dengan kata biyaxsu….. yang artinya apa kabar, lalu kami harus menjawab dengan biaxgu… yang artinya kabar baik. Itu adalah kata penyambutan dan ucapan rasa gembira dari mereka dan kami. Seru.
Keramahan para karyawan bungalo dan warga sekitar makin meningkat pada saat makan malam dan sesudahnya. Di tengah-tengah obrolan makan malam, mendadak ada kejutan kecil. Lampu dimatikan dan lagu-lagu melantun, diiringi puisi atau semacam mantra.
Beberapa orang datang membawa obor dan berkeliling di ruang makan sambil menyanyi. Suasana tidak sepenuhnya mencekam, karena kami sudah diberitahu sebelumnya mengenai kejutan ini, hanya saja jam persisnya tidak tahu.
Seusai makan malam, para tamu dibimbing menuju ke arena pertunjukan di lapangan. Para pekerja bungalo bersama warga sekitar sudah mempersiapkan satu suguhan dan atraksi kecil yang ternyata berlangsung hampir dua jam. Tema pertunjukan bervariasi, kadang cerita dongeng, drama sejarah, hingga nyanyian dan tarian. Malam itu, 25 Juli 2019, pertunjukannya adalah nyanyian, tarian, dan atraksi, yang didukung tiga artis dan selebgram Taiwan: Antony Kuo, Uyan Tien, dan Justin Caleb Cooper.
Kepala Desa Taroko, Zheng Ming Gang, yang menjadi sutradara dan narator, ternyata sangat lucu, dibuktikan dengan tawa penonton yang tidak henti-henti di sepanjang pertunjukan. Layar terjemahan di samping kanan (tidak semua diterjemahkan) cukup membantu saya untuk ikut tertawa, meski terlambat. Misalnya ketika Zheng mengatakan, “Kami tidak memberikan voucher untuk sarapan. Cukup kami bilang biyaxsu dan Anda menjawab biyaxgu, maka sarapan boleh gratis”.
Zheng memperkenalkan para penampil yang dibagi ke dalam tiga grup. Grup A beranggotakan para staf hotel dan saudara-saudara kandung mereka. Grup B berisi tetangga-tetangga staf hotel dan teman sekelas mereka. Adapun Grup C beranggotakan para karyawan giliran jaga malam, termasuk resepsionis, juru masak, dan pencuci piring.
Selanjutnya, penampilan demi penampilan menghibur para tamu yang malam itu memenuhi 30 bungalo. Semuanya gembira. Para penampil menunjukkan kemampuan terbaik. Hingga di penghujung pertunjukan, mereka mengajak semua tamu untuk menari bersama. Rasa haru dan suka cita bercampur jadi satu. Apalagi melihat anak-anak kecil dengan wajah-wajah lugu menari dengan bersemangat. Malam itu, kami kembali ke kamar dengan hati penuh.
Menu Halal
Taroko Village Hotel menyediakan menu halal atau para praktisi hotel dan restoran biasa menyebutnya moslem friendly. Mereka merasa kurang fasih untuk menyebut halal, atau mungkin tidak yakin bisa memenuhi 100 persen halal.
Jangan takut dulu dengan babi, karena daging babi tidak disajikan bagi para tamu muslim. Bahkan lauk seperti telur dan ikan pun bisa diminta untuk dipisah, dengan peralatan memasak yang berbeda. Seperti ketika kami datang, satu set makan malam telah disiapkan dan dibedakan dengan tamu-tamu lain. Menunya, daging kambing, sayuran, dan umbi-umbian. Namun, kami boleh untuk mengambil telur, ikan, atau ayam yang tersaji untuk buffet.
Pihak hotel tidak berani mempertaruhkan reputasi jika menolak memisahkan makanan. Sebab, mereka telah mendapatkan sertifikasi halal dari Islamic Association of Taiwan. Untuk mendapatkan sertifikat, para juru masak harus mengikuti training, meliputi pengetahuan mengenai kehalalan makanan bagi muslim, pemilahan daging, hingga pembedaan peralatan memasak.
Saya sendiri meyakini, piring yang telah dicuci bersih dengan sabun, berarti bisa digunakan. Apa iya, masih tertempel minyak babi di piring itu? Akan tetapi pihak hotel justru tidak berani bertaruh. Ya, tentu saja kami berterima kasih dan alhamdulillah. Saya berharap bisa kembali lagi ke Taroko. Biyaxsu….. Biyaxgu….. Xie xie