“Jika berkenan, saya berharap jenengan bisa menulis kolom-refleksi tentang Kiai Afif”, begitulah kiriman WhatsApp sahabatku, Kiai Doktor Abdul Moqsith Ghazali, yang kuterima. Ia mengabarkan bahwa gurunya, KH. Afifuddin Muhajir, akan mendapatkan gelar kehormatan ‘doktor’ dari Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, dan aku diminta untuk menulis tentang sang penerima gelar itu.
Kiai Afif, begitu ia biasa disapa, adalah sosok yang amat santun dan bersahaja. Kealimannya yang ditopang keluasan dan kedalaman wawasan ilmu pengetahuan keislaman telah membentuk kepribadian Wakil Pengasuh Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo itu senantiasa rendah hati dan menghormati sesama.
Maka sungguh bersyukur dan bahagia ketika aku mendapati kabar bahwa gelar kehormatan yang akan dianugerahkan kepada Kiai Afif adalah di bidang syariah, suatu disiplin keilmuan yang lama ia tekuni, dalami, dan kuasai. Dalam pidato penganugerahannya itu ia akan menyampaikan pandangannya tentang “Negara Indonesia dalam Timbangan Syariah: Kajian atas Pancasila dalam Perspektif Teks Syariat (Nushush) dan Maksud Syariat (Maqashid)”. Suatu kajian yang sungguh menarik dan akan terus relevan sepanjang zaman.
***
Salah satu kepiawaian Kiai Afif yang amat menonjol dan dikenal luas adalah di bidang ushul al-fiqh. Dalam banyak kesempatan ia sering menyatakan, untuk memahami teks (ayat, nash), tak cukup hanya mengandalkan kitab tafsir Al-Quran semata, apalagi cuma merujuk terjemahannya saja. Telaahan dan kajian teks itu harus ditempuh dengan beragam metoda pendekatan. Ada Kajian Bayaani, yaitu menelaah teks berdasarkan latar belakang sebab-sebab turunnya, baik yang bersifat makro terkait kondisi sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, dan lain sebagainya, maupun yang bersifat mikro menyangkut kasus khusus yang menjadi penyebab langsung turunnya teks. Juga perlu ditelaah dari kaidah bahasa teks tersebut, dari sisi lafadz, makna, dan dalalahnya. Perlu pula mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan teks lain yang berkaitan substansinya.
Selain itu juga diperlukan upaya mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan tujuan dan maksud penetapan syariat (maqashid as-syari’ah), baik tujuan dan maksud yang bersifat universal maupun partikular. Kajian Bayaani ini juga bisa dilakukan dengan cara mentakwil teks, yaitu melakukan interpretasi suatu teks atau lafadz dari makna dasarnya yang jelas, hakiki, dan rajih (unggul), ke makna lain yang tersembunyi yang mengandung majaz (kiasan) atau yang lebih diunggulkan.
Kiai Afif begitu mahir menjelaskan ragam metoda pendekatan dalam menelaah teks yang menjadi sumber utama dalam penetapan hukum Islam. Selain Kajian Bayaani, ia pun menjelaskan Kajian Qiyaasi, yaitu menganalogikan suatu kasus yang tak memiliki acuan teks/ayat dengan kasus lain yang memiliki acuan ayat/teks, dengan syarat keduanya memiliki kesamaan sifat (illat). Juga dijelaskan Kajian Istishlaahi, yaitu kajian yang mengacu kepada maksud ditetapkannya suatu syariat (maqashid as-syari’ah) yang berorientasi pada kemaslahatan, dengan memperhatikan dalil-dalil yang terkait dengan Istihsan, Mashlahah Mursalah, dan ‘Urf.
Dengan bekal wawasan seperti itu, ditambah dengan sejumlah perangkat keilmuan keagamaan lain yang juga dikuasainya, Kiai Afif menelaah hubungan antara negara dan agama dalam tinjauan Islam. Bahkan secara lebih spesifik, ia melakukan kajian terhadap Pancasila dalam perspektif teks syariat dan maksud diberlakukannya suatu ketetapan syariat.
Dalam pemahaman Kiai Afif, ajaran Islam tidak mengenal pemisahan secara tegas antara agama dan negara. Baginya, hakikat keberadaan negara merupakan bagian integral dari penerapan ajaran agama Islam itu sendiri. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa negara, melalui para aparatusnya yang menyandang predikat penyelenggara negara, adalah penerus tugas pokok kenabian yang mengemban 2 (dua) misi utama, yaitu menjaga agama (hiraasatu ad-din) dan mengatur dunia (siyaasatu ad-dunya).
Baginya, selama negara melaksanakan kedua fungsi profetik itu secara adil dan berimbang dengan sama baiknya, dimana titik pijak dan arah orientasinya semata demi terwujudnya kemaslahatan bersama, maka negara tersebut merupakan negara islami, yakni negara yang menerapkan ajaran Islam. Dalam konteks Indonesia, keterkaitan antara negara dan agama itu diikat dengan ikatan kokoh sebagai konsensus nasional yang bernama Pancasila, yang hakikatnya bukanlah agama, tapi keseluruhan sila-silanya adalah nilai-nilai ajaran agama.
Tentu pemahaman seperti itu tak begitu saja menjelma. Bak bangunan tegak yang ditopang landasan fondasi dan pilar-pilar penyangga yang kokoh, demikian pula halnya dengan pemikiran Kiai Afif terkait relasi antara agama dan negara dalam perspektif Islam. Ia dengan basis keilmuannya mampu meramu sekaligus memadukan teks-teks Al-Quran dan Al-Hadits, sebagai sumber rujukan utama penetapan hukum, dengan konteks keindonesiaan kita yang memiliki segala keragaman dan realitas ciri keberagamaan masyarakatnya yang khas. Dengan keluasan dan kedalaman ilmunya, Kiai Afif mampu menangkap apa maksud dan tujuan dari ditetapkan suatu ketentuan hukum syariat (maqashid as-syari’ah), sehingga perpaduan teks dan konteks yang adil dan berimbang demi terwujudnya kemaslahatan menjadi cara pandangnya dalam menyikapi setiap permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang tak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan. Itulah salah satu ciri moderasi beragama. Kita tercerahkan dengan keberislaman Kiai Afif yang senantiasa bersikap tawasuth (moderat) dalam menebarkan kemaslahatan.
***
Wa ba’du.
Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, beragama adalah berindonesia sebagaimana berindonesia adalah beragama. Pengamalan nilai Pancasila adalah pengejawantahan pengamalan nilai agama warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka hakikatnya, melaksanakan kewajiban warganegara adalah wujud pengamalan ajaran agama, sebagaimana pengamalan kewajiban agama adalah wujud penunaian kewajiban warganegara kepada negara.
Dengan pemahaman seperti itu, diperlukan wawasan dan kearifan tersendiri bagi umat Islam Indonesia saat hendak memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah masyarakat majemuk yang amat beragam, tentulah peraturan yang mengikat kehidupan bersama itu tak hanya harus disepakati mekanisme proses pembentukannya berdasar ketentuan legislasi yang dilaksanakan secara demokratis, melainkan juga harus disepakati bersama materi substansi aturannya.
Terkait dengan penerapan syariat Islam, setidaknya ada 3 (tiga) tingkatan syariat (norma hukum) menurut substansi dan sifat keberlakuannya. Pertama; syariat yang substansi materinya bersifat universal, yang diakui dan diyakini kebenarannya oleh semua umat manusia dari berbagai kalangan pemeluk agama dan yang tak beragama, seperti: penegakan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, dan lainnya.
Kedua; syariat yang substansi materinya hanya diakui dan diyakini kebenarannya oleh umat muslim saja, sementara umat beragama selain Islam belum tentu mengakui dan meyakini kebenaran syariat di tingkat ini, seperti: larangan minum minuman keras, larangan berjudi, larangan berzina, dan lain sebagainya.
Ketiga; syariat yang substansi materinya hanya diakui dan diyakini kebenarannya hanya oleh sebagian kalangan muslim (penganut mazhab) tertentu saja, sementara sesama umat muslim yang lain dan umat beragama selain Islam belum tentu mengakui dan meyakini kebenaran syariat di tingkat ini, seperti: penggunaan cadar, pembentukan khilafah, larangan bermusik, dan lainnya. Tentu kita bisa mudah bersepakat bahwa syariat tingkatan pertama itulah yang prioritas diperjuangkan penerapannya, dan tidak untuk syariat tingkatan ketiga. Sementara untuk syariat tingkatan kedua, penerapannya bisa dilakukan sepanjang menempuh prosedur dan mekanisme legislasi yang demokratis.
Namun benarkah syariat bisa dikategorisasikan seperti itu? Bila tak benar, apa dan bagaimana penjelasannya? Bila bisa dibenarkan, lalu apa dan bagaimana dasar kategorisasi syariat menurut tingkatannya itu, adakah pola bakunya? Adakah indikator, parameter, juga tolok ukur yang menyertainya? Sejauh mana perubahan lingkungan strategis pada masing-masing daerah yang beragam, yang melatarbelakangi penerapan syariat itu, bisa ditolerir dan tak mengancam keutuhan NKRI?
Kuyakini masih ada belasan Universitas Islam Negeri lainnya yang akan berlomba memberi gelar doktor kehormatan lagi kepada Kiai Afif atau kepada kiai-kiai lain yang akan datang dengan penjelasan elaboratif-komprehensif yang mencerahkan atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Rasanya tak sabar lagi aku menanti..