Manusia yang dilahirkan telah ditentukan kapan matinya dan cara hidupnya, bukankah kita menjalankan auto pilot dari Allah?
Berikut penjelasannya dari awal:
ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ، ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ: ” ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻭﻛﻞ ﺑﺎﻟﺮﺣﻢ ﻣﻠﻜﺎ، ﻳﻘﻮﻝ: ﻳﺎ ﺭﺏ ﻧﻄﻔﺔ، ﻳﺎ ﺭﺏ ﻋﻠﻘﺔ، ﻳﺎ ﺭﺏ ﻣﻀﻐﺔ، ﻓﺈﺫا ﺃﺭاﺩ ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻲ ﺧﻠﻘﻪ ﻗﺎﻝ: ﺃﺫﻛﺮ ﺃﻡ ﺃﻧﺜﻰ، ﺷﻘﻲ ﺃﻡ ﺳﻌﻴﺪ، ﻓﻤﺎ اﻟﺮﺯﻕ ﻭاﻷﺟﻞ، ﻓﻴﻜﺘﺐ ﻓﻲ ﺑﻄﻦ ﺃﻣﻪ ”
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Allah memerintahkan malaikat yang dipasrahkan dengan kandungan. Malaikat berkata: “Ya Tuhanku, ini sudah jadi sperma. Ya Tuhanku, ini sudah jadi segumpal darah. Ya Tuhanku, ini sudah jadi segumpal daging.” Ketika hendak dicatat takdirnya Malaikat bertanya: “Apakah janin ini laki-laki atau perempuan? Orang yang celaka atau beruntung? Bagaimana rezeki dan ajalnya? Lalu dicatat takdirnya dalam kandungan ibunya” (HR Bukhari)
Bukankah kita cukup berpangku tangan tinggal menjalankan takdir? Tidak boleh punya anggapan seperti itu. Para ulama kita yang membidangi ilmu Aqidah membagi ketentuan Allah (Qadha’) menjadi 2 istilah. Pertama Ketentuan yang bisa berubah (Qadha’ Mu’allaq). Kedua Ketentuan yang tidak bisa berubah (Qadha’ Mubram).
Pada jenis ketentuan pertama inilah yang dimaksud dalam beberapa hadis:
ﻻ ﻳﺮﺩ اﻟﻘﻀﺎء ﺇﻻ اﻟﺪﻋﺎء ﻭﻻ ﻳﺰﻳﺪ ﻓﻲ اﻟﻌﻤﺮ ﺇﻻ اﻟﺒﺮ (ﺗ ﻛ) ﻋﻦ ﺳﻠﻤﺎﻥ.
“Tidak ada yang dapat menghindar dari ketentuan Allah kecuali doa. Dan tidaklah dapat menambah usia kecuali berbuat kebaikan” (HR Tirmidzi dan Al-Hakim dari Salman)
Kita menjalani hidup di dunia ini telah dibekali oleh Allah berupa ikhtiar atau upaya dan doa. Misalnya ketika kita ingin panjang umur maka dianjurkan memperbanyak silaturahmi sebagaimana dalam hadis yang sudah populer:
ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﻗﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻳﻘﻮﻝ: «ﻣﻦ ﺳﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺒﺴﻂ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺭﺯﻗﻪ، ﺃﻭ ﻳﻨﺴﺄ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺃﺛﺮﻩ، ﻓﻠﻴﺼﻞ ﺭﺣﻤﻪ»
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa senang diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah kekerabatannya” (HR Bukhari)
Dalam menguraikan makna hadis ‘memanjangkan umur’ ini Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani memberi gambaran dalam Kitab Fath Al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari 10/416:
ﻛﺄﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻠﻤﻠﻚ ﻣﺜﻼ ﺇﻥ ﻋﻤﺮ ﻓﻼﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﻣﺜﻼ ﺇﻥ ﻭﺻﻞ ﺭﺣﻤﻪ ﻭﺳﺘﻮﻥ ﺇﻥ ﻗﻄﻌﻬﺎ ﻭﻗﺪ ﺳﺒﻖ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ اﻟﻠﻪ ﺃﻧﻪ ﻳﺼﻞ ﺃﻭ ﻳﻘﻄﻊ ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ اﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﺘﻘﺪﻡ ﻭﻻ ﻳﺘﺄﺧﺮ ﻭاﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ اﻟﻤﻠﻚ ﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﻳﻤﻜﻦ ﻓﻴﻪ اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻭاﻟﻨﻘﺺ ﻭﺇﻟﻴﻪ اﻹﺷﺎﺭﺓ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻤﺤﻮ اﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻳﺸﺎء ﻭﻳﺜﺒﺖ ﻭﻋﻨﺪﻩ ﺃﻡ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻓﺎﻟﻤﺤﻮ ﻭاﻹﺛﺒﺎﺕ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻤﺎ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ اﻟﻤﻠﻚ ﻭﻣﺎ ﻓﻲ ﺃﻡ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﻓﻲ ﻋﻠﻢ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻼ ﻣﺤﻮ ﻓﻴﻪ ﺃﻟﺒﺘﺔ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﺒﺮﻡ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﻟﻷﻭﻝ اﻟﻘﻀﺎء اﻟﻤﻌﻠﻖ
Semisal dikatakan kepada Malaikat bahwa umur si Fulan adalah 100 tahun jika ia bersilaturahim, dan ia sampai umur 60 tahun jika memutus silaturahim. Dan Allah telah lebih dulu tahu si Fulan tadi orang yang bersilaturahim atau memutus silaturahim. Maka, dalam ilmunya Allah ketentuan Fulan tersebut tidak bisa dimajukan dan tidak bisa ditunda. Sedangkan dalam catatan ilmu Malaikat masih bisa ditambah atau dikurangi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah:
(Ar-Ra`d: 39) “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).”
Jadi, yang bisa dihapus dan dikokohkan adalah ketentuan yang ada dalam catatan Malaikat (disebut Qadha’ Mu’allaq), sementara dalam catatan Allah tidak bisa diubah sama sekali (disebut Qadha’ Mubram)”
Jika kita berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat berbuat apa-apa karena semua telah ditetapkan oleh Allah, maka kita terjebak dalam aliran Jabariyah. Dan jika sampai berkeyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya dan Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat manusia, maka kita terjebak pada sekte Qadariyah. Aliran Moderat dalam Islam, yakni Ahlissunah wal Jamaah, berkeyakinan bahwa Allah memang telah menetapkan ketentuan dan takdir, akan tetapi Allah memberi pertolongan kepada hamba-Nya berupa ikhtiar, berusaha dan berdoa.