Pergulatan antara agama dengan kebudayaan hingga kini masih terus menerus mencari titik temu. Seringkali agama menolak segala bentuk kesenian dan menganggapnya sebagai sebuah kesesatan.
Sebagaimana yang marak terjadi di sekitar kita, seperti dalam sekte tertentu dalam Islam ada yang menganggap bahwa tradisi dan budaya jawa yang dibaurkan dalam ritual keagamaan masih dianggap sebagai sesuatu yang destruktif terhadap ajaran Islam. Begitu pula kelompok Salafi Wahabi di Arab Saudi yang banyak menghancurkan situs-situs kebudayaan peninggalan Islam karena hal itu dinilai sebagai musyrik, walaupun kebudayaan itu peninggalan nabi Muhammad sekalipun.
Sebagaimana kekakuan yang sering terjadi antara agama dalam melihat produk kebudayaan, dalam novel karya Chaim Potok ini menggambarkan tarik ulur pertentangan antara ritual agama Yahudi dengan kesenian yang digeluti oleh salah seorang pemeluknya yang taat. Menurut Hairus Salim saat acara bedah novel ini tahun 2017 silam, menjelaskan bahwa novel ini pertama kali diperkenalkan dalam publik Indonesia oleh Gus Dur dalam sebuah esai tahun 1974 di Kompas yang berjudul “Pesantren dan Kesusastraan”.
Menurut Gus Dur, kesusastraan pesantren dianjurkan untuk mengacu kepada karya Chaim Potok ini. Menurutnya, novel ini menggambarkan bagaimana pergulatan antara iman dengan kehidupan.
Dalam pandangan Gus Dur, novel ini tidak sebagaimana karya kesusastraan kebanyakan yang mengangkat latar keagamaan yang cenderung jatuh pada khutbah, ndakik-ndakik dan menggurui. Novel ini lebih menggambarkan pergulatan iman seorang pemeluk agama dalam merespon kesenian.
Novel ini tokoh utamanya bernama Asher Lev, ia putra seorang Reb Aryeh Lev, seorang kepercayaan Rabi (ulama’ besar dalam tradisi Yahudi). Asher Lev dalam novel ini digambarkan sebagai seorang anak yang lahir dari tradisi keagamaan Yahudi Hasidik Ladover Broklyn Amerika yang sangat kuat. Ia kelak di kemudian hari menjadi pelukis besar Yahudi dengan bakat yang cemerlang.
Ayah Asher Lev selalu keberatan dengan aktivitas dan bakat dari sang anak tersebut. Ayahnya bahkan sering sekali memperingatkan kepada Asher bahwa bakat bawaan melukis itu adalah berasal dari setan atau iblis. Bahkan ayahnya juga mengatakan bahwa melukis adalah sebuah kebodohan.
Ayah Asher Lev selalu mengharapkan kelak Asher dapat melanjutkan tradisi keluarga sebagaimana ayahnya dan kakeknya untuk menjadi orang kepercayaan Rabi untuk tugas keagamaan ke penjuru dunia. Asher Lev diharapkan untuk belajar Taurat dengan serius, daripada membuang-buang waktunya untuk melukis belaka.
Terkait dengan aktivitas melukis Asher Lev, lingkungan Yahudi Hasidik Ladovernya kadang-kadang memahami bakat melukis Asher Lev dengan mengapresiasi lukisan Asher. Akan tetapi, tak jarang pula, lingkungan Yahudinya juga menyikapinya dengan tegang. Orang yang paling bersikap tegang dengan aktivitas melukis Asher adalah ayahnya sendiri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa ayahnya menganggap bahwa melukis adalah kegiatan kebodohan dan tidak seseuai ajaran Ribono Shel Olom (sebutan tuhan dalam Yahudi).
Dalam tradisi Yahudi Hasidik Ladover, melukis diidentikkan dengan perilaku kaum Goyim, sebuah sebutan untuk orang kafir dalam tradisi Yahudi. Berulang kali, percakapan dalam novel tersebut mengatakan bahwa melukis adalah bukan perilaku orang-orang yang taat dengan iman Yahudinya.
Kemarahan lingkungannya kepada Asher Lev menemui puncaknya tatkala ia melukis perempuan telanjang dan salib. Dalam tradisi Yahudi, melihat perempuan telanjang adalah sebuah dosa besar yang harus dihindari. Sedangkan dengan melukis penyaliban adalah melukai tradisi agamanya yang dulu kala sering bersinggungan dengan agama Kristen.
Walaupun terdapat tarik ulur pertentangan antara aktivitas melukis Asher Lev dengan lingkungan Yahudinya, Asher Lev merupakan putra Yahudi yang masuk ketegori taat dalam beribadah. Setiap hari ia tak pernah meninggalkan rutinitas ibadahnya. Bahkan setiap hendak tidur pun, ia tak lupa untuk selalu membaca doa Krias Shema (sebuah doa sebelum tidur dalam tradisi Yahudi).
Yang menarik dari novel ini adalah pertentangan antara doktrin Yahudi bahwa melukis adalah sebuah tindakan yang tidak dianjurkan oleh Ribono Shel Olom, tetapi dalam novel ini pertentangan itu diperdebatkan melalui batin masing-masing tokohnya.
Seperti pertentangan antara Asher Lev dengan ayahnya, di satu sisi ayahnya mengikuti doktrin agamanya, yang menganjurkan kepada anaknya untuk tidak melukis. Walaupun demikian, Asher Lev di satu sisi adalah anaknya yang tidak bisa terus menerus dilarang untuk tidak boleh melukis.
Bahkan, sang Rabi kharismatik, yang sering memberikan tugas ayah Asher Lev untuk menyelesaikan misi dakwah Yahudinya di penjuru dunia, memberikan kelonggaran berupa fleksibilitas kepada Asher dengan diperbolehkan untuk terus mengembangkan bakat melukisnya seraya terus memperdalam agamanya dengan sekolah di sekolah Yahudi.
Cerita dalam novel ini yang mengangkat pergulatan iman para tokohnya dalam memandang seni lukis dengan cara tidak serba hitam putih perlu untuk kita apresiasi. Dalam kategori novel religi, novel ini tidak terjebak dalam kejumudan perspektif yang main mutlak-mutlakan dalam menyikapi persoalan kesenian, sebagaimana yang sering terjadi pada novel religi Indonesia.
Walaupun terdapat pergumulan yang menarik dalam benturan agama dan kesenian dalam novel ini. Akan tetapi novel ini diakhiri dengan kesedihan bahwa Asher Lev diperintahkan oleh orang-orang disekitarnya untuk menjauh sementara waktu dari kehidupan mereka setelah kekecewaan mereka kepada Asher Lev yang telah melukis ibunya dalam bentuk salib.
Walaupun demikian, novel ini tetap menjadi novel yang menarik untuk dibaca pembaca Indonesia yang seringkali terdapat perdebatan sengit antara keimanan dengan kebudayaan. Sekaligus, juga bisa dijadikan perantara pembaca Indonesia untuk sedikit memahami tradisi orang-orang Yahudi. Yang ternyata memiliki banyak kemiripan dengan tradisi beribadah umat Islam.[]
Informasi Buku
Judul: Namaku Asher Lev
Penulis: Chaim Potok
Penerjemah : Rh. Widada
Penerbit: Gading Publishing
Tahun Terbit: Februari, 2017
Kota Terbit: Yogyakarta
Tebal buku: xvi + 436 halaman
ISBN: 978-602-0809-32-8