Sedang Membaca
Nasionalisme Santri Milenial
Anwar Kurniawan
Penulis Kolom

Santri Pesantren Sunan Pandanaran, Jogjakarta. Meminati kajian Islam dan kebudayaan.

Nasionalisme Santri Milenial

Menyambut Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh pada 22 Oktober, jubelan santri mengikuti Grebeg Santri di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Minggu (13/10/2019). Grebeg tersebut dimaksudkan untuk mensyukuri rahmat Tuhan YME dengan mengekspresikan kecintaan para santri terhadap NKRI.

Masing-masing delegasi santri dari seluruh penjuru pondok pesantren D.I. Yogyakarta menselebrasikan kekayaan khazanah budaya dan tradisi Nusantara. Dengan mengenakan kostum berwarna-warni, para santri mulai berjalan menyusuri Jalan Malioboro sembari memainkan drumband.

Tidak ada show-off simbol-simbol yang sementara ini diasosiasikan sebagai atribut keislaman. Tidak ada bendera tauhid, tidak ada baliho promosi syariat Islam, tidak ada muslim united-united-an, dan tidak ada kampanye penegakan khilafah islamiyah. Mentok-mentok, ya paling produk artifisial a la santri, seperti ajakan mengaji, satire asmara, dan kreativitas-kreativitas lainnya.

Secara sederhana, ini sekaligus menunjukan bahwa perdebatan mengenai relasi antara agama, negara, dan nasionalisme dalam tradisi intelektual santri telah paripurna sejak lama. Plus, tidak perlu diragukan lagi komitmen keislaman dan keindonesiaan para ulama sekaliber Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Hadlaratus Syaikh Hasyim Asy’ari (NU), dan sebagainya yang menjadi tonggak fundamental umat Islam waktu itu.

Dengan demikian, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bukan didasarkan atas agama tertentu telah memiliki basis legitimasi teologis yang cukup kuat.

Fenomena ini mengingatkan saya pada sentilan Habib Hussein Ja’far Hadar sewaktu beberapa hari lalu melawat Jogja. Dia bercerita tentang konsep Imagined Community Ben Anderson. Dikatakan bahwa alasan mengapa masyarakat Amerika dapat bersatu, salah satunya, adalah karena adanya imajinasi tentang semangat nasionalisme yang kuat.

Baca juga:  Evolusi, Manusia, hingga Gus Baha

Anderson, seperti dikatakan oleh Habib Hussein, mengambarkan sebuah bangsa (nation) sebagai konstruksi sosial yang diimajinasikan oleh mereka yang saling menyadari arti penting dari harmoni atau pertautan emosional antara satu dengan yang lain. Dan, dalam konteks itu, imajinasi tersebut bernama “masyarakat Amerika”.

Hal serupa, bagi Anderson, juga terjadi di Indonesia. Salah satu faktor yang sejauh ini menyebabkan kita merasa dan/atau tetap bersatu sebagai seorang Indonesia dalam konteks nasionalisme adalah imajinasi tentang “orang Indonesia”.

Artinya, tidak peduli sebarapa berbeda kita, sejauh masih merasa sama-sama orang Indonesia, saya tidak akan menyakiti Anda. Begitupun sebaliknya. Dan, dalam kondisi normal, hal ini bisa dimungkinkan karena saya akan merasa sama, setara, dan aman dengan Anda.

Maka dari itu, imajinasi tentang keindonesiaan tersebut kemudian diikat dengan sumpah, karena levelnya berada pada konteks imaji. Mulai dari sumpah Palapa, sumpah Pemuda, sampai sumpah keturunan Arab tahun 1934 kira-kira menegaskan hal yang sama bahwa kita merupakan satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, satu budaya, dan sebagainya.

Itulah yang dibangun dan digagas para founders bangsa ini, sehingga kita merasa sebagai satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Dan, yang lebih penting lagi, pelaku dari penggagas imaji tersebut, kalau kata Anderson, rata-rata adalah kawula muda pada masanya.

Selain peranan para pemuda, kekuatan utama lain dari nasionalisme adalah mesin atau media cetak, di mana revolusi industri menjadikan kalender, majalah, dan sebagainya sebagai alat “propaganda” bahwa kita adalah satu kesatuan.

Baca juga:  Ramadan di Pesantren: Sebuah Kenangan

Hari ini situasinya jelas sangat berbeda. Alat “propaganda” itu, perlahan tapi pasti, bergeser ke dalam dunia baru bernama media sosial. Di sana terdapat pertarungan wacana yang luar biasa dahsyat.

Slogan persatuan umat Islam melalui ide Khilafah, misalnya, atau minimal supremasi hukum Islam melalui NKRI bersyariah mulai menggoyang imajinasi persatuan Indonesia. Di titik ini, mengutip underline Habib Husein, ancaman disintegrasi yang lebih nyata dan berbahaya dari ancaman militer telah di depan mata.

Pasalnya, Islam di tataran ini telah menjadi semacam identitas politik tertentu. Padahal, kalau kita menengok lagi sejarah Islam awal, identitas politik itulah yang hendak dihabisi Nabi Muhammad. Alquran yang tidak dijadikan Nabi sebagai konstitusi, umpamanya, adalah salah satu contoh betapa Nabi dan para generasi Islam awal begitu hikmat dalam menjaga sakralitas wahyu Tuhan.

Sebaliknya, yang ada atau yang dilakukan Nabi adalah justru menggagas rumusan “Piagam Madinah” sewaktu membangun Negara Yatsrib yang beragam itu. Bahwa kemudian “Piagam Madinah” didasari oleh semangat Qurani itu benar adanya.

Akan tetapi, sekali lagi, Nabi tidak menjadikan kitab suci sebagai konstitusi. Mengapa? Karena ketika Alquran menjadi konstitusi, sama saja kita menurunkan marwah Alquran dari yang sakral menjadi yang profan. Dan jika hal itu terjadi, secara otomatis, nilai kesuciannya pun akan luntur dengan sendirinya.

Baca juga:  Pertalian Bahasa Arab dan Persia

Yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Melalui slogan kembali ke Alquran, sebagian umat Islam lalu merasa absah dan galak seolah-olah suara mereka mewakili Tuhan yang mewajibkan umat Islam menegakan khilafah.

Padahal, kalau kita sudah tidak memiliki imajinasi tentang keindonesiaan, apalagi mulai dirasuki oleh imajinasi-imajinasi bahwa yang ideal adalah khilafah, misalnya, atau yang ideal adalah Indonesia bersyariah, maka orang tidak lagi merasa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Lebih jauh, hal itu tentu saja akan mengakibatkan kita tidak lagi merasa sebagai satu saudara dengan yang lainnya, meskipun sama-sama orang Indonesia.

Sadar akan potensi reduksi hubbul wathan tersebut, yang semestinya kita atau umat Islam lakukan bukanlah kembali, melainkan berangkat dari Alquran. Inilah yang dilakukan Nabi melalui Piagam Madinah, dan ini pula yang diteruskan para ulama Nusantara yang bentuk paripurnanya dapat kita simak secara seksama dalam spirit Pancasila.

Akhirnya, melalui momentum Hari Santri Nasional, kita selalu diingatkan kembali bahwa, syukur alhamdulillah, imajinasi tentang khitah “Indonesia rumah bersama” sejauh ini masih terhujam kuat dalam benak para santri.

Dan, di tengah gelombang ngototnya hegemoni Islam atas negara yang bertebaran begitu meriah di lini-masa layar gawai kita, kerja-kerja dakwah para santri milenial di media sosial semestinya tidak kalah massif dalam menebarkan semangat persatuan, kerukunan, dan persaudaraan sesama umat manusia, tidak peduli dari latar belakang apa dan bagaimana.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top