Aminudin TH Siregar
Penulis Kolom

Pengajar di Institut Teknologi Bandung. Saat ini sedang menempuh S3 dengan studi sejarah seni, di Universitas Leiden Belanda, sambil menjadi Ketua Lesbumi PCI NU Belanda.

Kembalinya Lukisan Raden Saleh

Salah satu “dampak positif“ dari pemulangan benda-benda bersejarah dari Belanda ke Indonesia adalah kekuatannya yang mengguncang kemapanan historiografi, bahkan sanggup mengubah alurnya.

Efek lainnya adalah membangkitkan “spirit nasionalisme“ – seperti yang terasa ketika lukisan Penangkapan Diponegoro dipulangkan dan dilihat sendiri oleh masyarakatnya. Ke depan, “nasionalisme cicilan“ ini dipastikan masih bakal terus berlangsung.

Berita terakhir mengisyaratkan bahwa 1.500 benda bersejarah yang pernah disimpan Belanda konon akan segera dipulangkan ke Indonesia. Tentu saja, pemulangan benda-benda bersejarah kita yang tersimpan di museum-museum Belanda bukanlah sesuatu hal yang baru. Dinamika dekolonisasinya sudah berlangsung pada 1954. Ketika itu Muhammad Yamin, misalnya, menginginkan patung Prajñāpāramitā dan kitab Nāgarakrtāgama dikembalikan ke tanahairnya

Muhammad Yamin sudah lama menghadap ke Ilahi ketika Kerajaan Belanda secara bertahap memulangkan sejumlah benda-benda bersejarah termasuk patung dan kitab tersebut. Rangkaian prosesnya mulai dilakukan pada pertengahan 1970-an. Dari paket benda-benda bersejarah itu, terselip di antaranya – seperti yang akan dibahas di sini – adalah lukisan-lukisan Raden Saleh. Sebelumnya, dua lukisan berhasil kembali pada 1970. Ketika lukisan-lukisan sang pangeran itu dipamerkan pada 1970-an, kancah seni rupa menjadi gaduh. Seniman-seniman mulai memperdebatkan siapa yang berhak menyandang kepeloporan seni rupa modern. Muncul pihak yang ngotot supaya sejarah modern seni lukis Indonesia dimulai dari Raden Saleh. Mereka yang tidak setuju, dengan alasan anakronisme sejarah, mengusulkan nama lain, yaitu: S. Sudjojono. Sementara satu lukisan yang paling terkenal, Penangkapan Diponegoro, baru bisa pulang pada 1977. 

Penting untuk dicatat bahwa sepanjang 1850-1860, ketika masih hidup, Raden Saleh menghibahkan lima lukisan terbaiknya untuk Kerajaan Belanda. Lima lukisan itu adalah Penangkapan Diponegoro, Antara Hidup dan Mati, Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Perkelahian dengan Singa.

Dua dari lima lukisan tersebut (mungkin) tidak akan pernah kembali ke Indonesia. Yang pertama, adalah lukisan Antara Hidup dan Mati. Lukisan ini dinyatakan musnah dilalap api dalam musibah kebakaran Pameran Kolonial Dunia Paris pada 1931. Lukisan kedua, Hutan Terbakar, memang tidak musnah terbakar. Tapi lukisan ini dipastikan bakal sulit kembali ke tanahair, sebab pihak keluarga kerajaan Belanda sudah melegonya ke Galeri Nasional Singapura sekitar lima tahun yang lalu. 

Baca juga:  Mengenang Ki Seno, The Master of Bagong

Lalu bagaimana kisah dari tiga lukisan yang tersisa? Khususnya Penangkapan Diponegoro, siapa yang berperan dalam proses pemulangannya ke tanah air? Lalu, apa dampaknya terhadap penulisan seni rupa modern Indonesia? 

Mereka yang Berperan 

Sekitar delapan tahun yang lalu, ketika lukisan Penangkapan Diponegoro dipamerkan di Galeri Nasional, masyarakat dengan antusias merayakan Raden Saleh dan warisannya. Tidak sedikit pengamat seni ketika itu mencoba meyakinkan khalayak bahwa sang maestro yang wafat di Bogor itu adalah seorang nasionalis dan pantas dijadikan pahlawan nasional.

Di tengah demam Raden Saleh, wacana nasionalisme Indonesia melalui bingkai seni lukis menjadi tema di berbagai acara seminar, diskusi, dan ceramah. Namun, saya mengamati, di balik gempita aneka perayaan itu, banyak yang malah lupa untuk meriwayatkan peran orang-orang di balik pemulangan lukisan Raden Saleh. 

Kembalinya lukisan Penangkapan Diponegoro tidak bisa dilepaskan dari jasa Koesnadi Hardjasoemantri. Sepanjang 1974-1980, guru besar hukum ini menempati pos barunya sebagai atase kebudayaan di KBRI, Den Haag. Kisah bermula ketika, sekitar tahun 1977, Menteri Luar Negeri Adam Malik melayangkan surat kilat kepada Soetopo Juwono yang saat itu menjadi duta besar Indonesia untuk Belanda.

Surat dari Jakarta itu memuat permintaan khusus sang menteri agar lukisan Penangkapan Diponegoro ikut dipulangkan ke tanahair bersama-sama benda-benda bersejarah lainnya. Sungguh sebuah permintaan yang tidak biasa untuk ukuran pejabat negara sekelas menteri. Tapi kita mestinya tidak usah heran, sang menteri yang dulu aktif dalam gerakan pemuda ini memang seorang pecinta seni rupa. Bahkan sejak zaman kolonial Belanda, Adam Malik – yang disahkan Sudjojono sebagai anggota Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia) – lama menjalin hubungan akrab dengan kalangan seniman. Sang menteri yang juga diplomat kawakan itu memang tahu banyak soal seni rupa modern Indonesia. 

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (6): Menikmati Karya Narges Abyar Tentang Terorisme

Ketika “surat khusus” itu diterima pihak KBRI-Den Haag, pada saat yang bersamaan Koesnadi memang sedang disibukkan dalam urusan repatriasi benda-benda bersejarah Indonesia yang pernah dicuri Belanda. Untuk urusan ini, ia sudah kepalang membuat kategori-kategori. Masalahnya kemudian, khusus untuk lukisan Raden Saleh yang diminta pulang oleh Adam Malik, Koesnadi mesti merumuskan kategori baru. Dan tentunya perihal ini tidak mudah. Sebab, bagaimanapun juga, lukisan Penangkapan Diponegoro itu merupakan hadiah Raden Saleh kepada raja Belanda, bukan hasil curian seperti lainnya. Koesnadi pun memutar akal dan mulai berkasak-kusuk supaya lukisan itu bisa disertakan ke dalam rombongan, pulang ke Indonesia. 

Lukisan Penangkapan Diponegoro ketika itu berada di Museum Bronbeek di kota Arnhem. Akan tetapi, pemiliknya adalah Yayasan Oranje Nassau yang diketuai Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana. Koesnadi kebetulan mengenal baik Rob Hotke – salah seorang anggota yayasan – sekaligus Dirjen Kebudayaan Belanda.

Lagi-lagi, karena status lukisan itu pada hakikatnya merupakan sebuah pemberian, diperlukan waktu untuk memprosesnya. Sejumlah pertemuan di lakukan. Dalam memorandumnya, Ida Bagus Mantra – Dirjen Kebudayaan Indonesia untuk masa kerja 1968-1978 – sempat menyebut tentang pertemuan tim ahli Indonesia di Belanda pada Juni-Juli 1977. Tidak dijelaskan secara rinci seluk-beluknya. Yang jelas, pertemuan itu menghasilkan sebuah komitmen untuk pemulangan patung Prajñāpāramitā, pusaka Lombok, juga pelana kuda, payung, dan tombak Diponegoro, serta lukisan Penangkapan Diponegoro “sebagai tambahan”. Kategori “tambahan” itu diupayakan oleh Koesnadi. Yang tidak kalah penting, persahabatan Koesnadi dengan Rob Hotke juga memuluskan rencana pemulangan lukisan bersejarah itu. 

Setelah rangkaian proses panjang dilalui, masyarakat Indonesia baru bisa menikmati benda-benda masa lalunya itu pada 24 April 1978 bertepatan dengan perayaan 200 tahun Museum Nasional. Semuanya, termasuk lukisan Penangkapan Diponegoro, untuk pertama kalinya dipamerkan. Dalam sambutan resminya, Presiden Soeharto kurang lebih menyampaikan: “Yang kita saksikan sebenarnya adalah kisah panjang dari sebuah sejarah, pikiran-pikiran, cita-cita, karya besar, mungkin juga kegembiraan dan kepedihan masa lampau. Kini kita akan menyaksikan kembali sejarah dan kebudayaan kita sendiri”. 

Baca juga:  Sangkan-Paraning Dumadi (2): Konsep Padhang-Ulihan dalam Musik Tradisional Jawa   

Dampaknya ke Historiografi

Pemulangan lukisan Penangkapan Diponegoro adalah klimaks yang semakin mengguncang kemapanan historiografi seni rupa Indonesia. Adapun guncangan pertama terjadi ketika dua lukisan Raden Saleh “diberikan secara cuma-cuma“ oleh Ratu Belanda Juliana ke Pak Harto, dengan pesan: “untuk bangsa Indonesia, bukan untuk negara.“ Peristiwa pemberian terjadi pada 1970 pasca kunjungan Pak Harto untuk pertama kalinya ke Belanda. Dua lukisan itu adalah Perkelahian dengan Singa dan Perburuan Banteng di Jawa. Pada 1976 keduanya dipamerkan di Balai Seni Rupa (kini Museum Seni Rupa dan Keramik) di bawah tajuk Seabad Seni Rupa Indonesia. Di malam pembukaan, Pak Harto menyerukan agar “struktur penulisan sejarah seni rupa Indonesia diperbaiki dan dikembangkan“. 

Pameran Seabad Seni Rupa Indonesia juga menerbitkan katalogus pameran. Meskipun halamannya tipis dan sederhana, nilai historis katalog ini esensial karena untuk pertama kalinya mematok sistem periodisasi sejarah seni rupa modern Indonesia dan Raden Saleh sebagai pionir. Sementara itu, “seruan“ dari Pak Harto itu mulai direalisasikan oleh suatu tim penulis. Tidak perlu memakan waktu lama, tentunya. Kurang-lebih setahun kemudian, Kementerian P dan K sudah berhasil menerbitkan buku Sejarah Seni Rupa Indonesia. Inilah buku induk “sejarah resmi seni rupa yang pertama“ (dan mungkin saja terakhir) yang pernah diterbitkan Pemerintah Republik Indonesia – yang disusun sendiri oleh anak bangsa sejak 1945. 

Sampai dengan hari ini, buku ratusan halaman dengan sampul berwarna merah itu menjadi satu-satunya buku yang (berani) memakai kata “sejarah”. Tak hanya itu, mudah diduga, dalam bab pembahasan periode seni rupa modern, tim penulis buku Sejarah Seni Rupa Indonesia menempatkan Raden Saleh di kilometer nol sejarah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top