
Jika bumi adalah feminin, maka Kartini adalah ekosofisme. Ia bukan sekadar tokoh emansipasi perempuan dalam sejarah Indonesia, melainkan suara batin yang mengajak manusia untuk kembali merawat semesta dan dirinya sendiri. Dalam dunia yang sedang mengalami krisis ekologis dan spiritual, gagasan Kartini dapat dibaca sebagai titik balik menuju kesadaran ekologis yang tidak hanya bersifat material, tetapi juga eksistensial.
Tahun ini, Hari Kartini dan Hari Bumi jatuh hanya berselang satu hari. Ini bukan sekadar kebetulan dalam kalender, melainkan pengingat kosmis tentang keterhubungan dua hal yang selama ini sering dipisahkan: perempuan dan bumi, emansipasi dan ekologi. Ketika tubuh perempuan dan tubuh bumi sama-sama mengalami eksploitasi, dominasi, dan pengabaian, maka memperingati Kartini harus juga berarti memperjuangkan kehidupan yang lebih adil bagi bumi.
Kita hidup di tengah peradaban yang kian hari menunjukkan gejala keterputusan yang akut—antara manusia dengan alam, antara budaya dengan makna, dan antara kemajuan dengan kebijaksanaan. Ketika dominasi terhadap tubuh perempuan berjalan seiring dengan eksploitasi terhadap bumi, kita tak bisa lagi memisahkan perjuangan sosial dari perjuangan ekologis. Kartini, dalam semangat dan tulisannya, menyuarakan bentuk awal dari perlawanan terhadap keterputusan itu. Ia bukan hanya menulis demi pembebasan perempuan, tapi juga mengungkapkan keresahan mendalam terhadap sistem nilai yang mereduksi kemanusiaan, membelenggu batin, dan melumpuhkan daya hidup alamiah manusia.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Arne Næss, filsuf Norwegia pencetus konsep deep ecology, permasalahan lingkungan tidak bisa dipecahkan semata-mata melalui teknologi atau kebijakan publik. Yang paling utama adalah perubahan cara pandang, yakni dari paradigma antroposentris—yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta—menuju paradigma ekologis yang menyadari bahwa manusia hanyalah salah satu simpul dalam jejaring kehidupan yang lebih besar. Næss menyebut ini sebagai ekosofi, atau kebijaksanaan ekologis, yang menekankan pentingnya keheningan, kebersahajaan, dan keterhubungan spiritual antara manusia dengan alam. Dalam hal ini, Kartini adalah penutur ekosofi dalam konteks Indonesia, bahkan jauh sebelum istilah itu dikenal secara luas.
Surat-surat Kartini menyiratkan sensitivitas yang dalam terhadap penderitaan dan ketidakadilan. Ia menulis bukan dari menara gading, tetapi dari ruang batin yang remuk dan terbuka. Dalam salah satu suratnya, ia bertanya: “Apakah gunanya pendidikan tinggi jika hanya untuk mengungguli laki-laki dalam debat, tetapi tidak untuk membangun dunia yang lebih adil?” Ini bukan pertanyaan retoris, melainkan gugatan terhadap sistem nilai yang memisahkan pendidikan dari welas asih, kemajuan dari kebijaksanaan, dan kebebasan dari tanggung jawab.
Jika kita kaitkan dengan pemikiran Martin Heidegger, manusia modern telah kehilangan kemampuan untuk mendiami dunia secara autentik. Dunia bukan lagi tempat tinggal yang menyimpan makna, melainkan sekadar objek yang bisa dikalkulasi dan dieksploitasi. Heidegger menyebut ini sebagai bentuk keterlemparan manusia ke dalam cara berpikir teknologis yang dangkal—yang memutus hubungan kita dengan Being, keberadaan itu sendiri. Kartini, dalam konteks ini, sedang berusaha merebut kembali cara mendiami dunia yang penuh makna, terutama bagi perempuan yang saat itu dipinggirkan secara struktural maupun spiritual. Ia menolak sistem yang tidak hanya membatasi fisik perempuan, tetapi juga mematikan kemungkinan mereka untuk mengalami dunia sebagai subjek yang utuh.
Dalam filsafat Islam, Ibn ‘Arabi memandang alam semesta sebagai cermin Tajalli—penampakan Tuhan dalam realitas yang terus-menerus hadir. Alam adalah ayat-ayat Tuhan yang hidup, dan menghormati ciptaan adalah bagian dari menghormati Sang Pencipta. Dalam pandangan ini, merusak bumi berarti merusak keseimbangan Ilahiah; dan menindas perempuan berarti memutus simpul kasih sayang yang menopang kehidupan. Maka, membaca Kartini hari ini bukan hanya soal sejarah perempuan, tetapi juga tentang ekoteologi, tentang membebaskan bumi dari eksploitasi dan memulihkan nilai-nilai pengasuhan, welas asih, dan ketundukan yang tak lemah—melainkan bijak.
Kita tidak bisa memisahkan Hari Kartini dari Hari Bumi. Keduanya menandai perlawanan terhadap sistem nilai yang sama: sistem yang menilai segala sesuatu dari fungsinya, bukan dari martabatnya; sistem yang mengejar pertumbuhan tanpa pertanyaan etis; sistem yang mengabaikan suara-suara yang lembut dan dalam—suara bumi, suara perempuan, dan suara batin manusia sendiri.
Maka, untuk menjawab krisis hari ini, kita tidak cukup hanya dengan kebijakan hijau atau slogan keberlanjutan. Kita butuh transformasi cara pandang yang menggabungkan kesadaran ekologis, spiritualitas keberadaan, dan etika pengasuhan sebagai landasan peradaban baru. Sekolah-sekolah harus mulai mengintegrasikan pendidikan lingkungan yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga nilai dan rasa. Media massa dan ruang publik harus menyuarakan narasi alternatif yang menghidupkan kembali daya empati terhadap bumi. Institusi keagamaan pun perlu memulihkan peran spiritualitas sebagai kekuatan ekologis yang mengajarkan manusia untuk bersujud tidak hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada kehidupan. Dan yang paling penting, kita harus membangun budaya yang memuliakan nilai-nilai perempuan: kepedulian, keheningan, keberanian, dan kasih sayang—sebagai inti dari kebijakan dan arah pembangunan.
Kartini telah memberi teladan bahwa keberanian berpikir adalah bentuk paling halus dari perlawanan, dan bahwa merawat kehidupan adalah tugas yang jauh lebih revolusioner daripada sekadar menaklukkan dunia.
Sebab di tengah zaman yang gaduh dan merusak, menjadi perempuan yang berpikir dan merawat adalah tindakan paling radikal dan ekologis yang bisa dilakukan.
Hari Bumi dan Hari Kartini adalah dua peringatan yang sejatinya satu: ajakan untuk membebaskan bumi dari kekerasan sistemik dengan membebaskan perempuan dari diam yang diwariskan. Karena masa depan bumi tergantung pada bagaimana kita memuliakan rahim kehidupan.