Perdebatan di kalangan muslim Sunni, tentang Wahabi, salah satunya, adalah berkaitan dengan tasawuf dan tarekat. Kaum Sunni dari kalangan empat mazhab, banyak mengakui bahwa tasawuf, termasuk tarekat, adalah bagian integral dari bangunan perdaban Islam.
Bahkan para ulama yang dijadikan guru besar di kalangan sufi, adalah para tokoh yang, yang sangat mencintai Kanjeng Nabi Muhammad melalui. Mereka, Salafi-Wahabi, menggap tasawuf tidak ada zaman Nabi, maka wajib dimusuhi.
Salah satu wakil Salafi-Wahabi yang mengeluarkan pandangan yang memusuhi dan memerangi tasawuf, di Indonesia di antaranya adalah Abdul Hakim bin Amir Abdat. Dia memasukkan tasawuf sebagai kelompok tersesat, dalam buku Keshahihan Hadits Iftiroqil Ummah (Jakarta: Pustaka Imam Muslim, 2005).
Abdul Hakim Amir Abdat, menyatakan begini:
“Tashawuf bersama sufinya termasuk ahlul bid’ah dari firqoh yang sesat dan menyesatkan. Tasawuf dibina atas dasar kebodohan di atas kebodohan yang telah ada dan melekat pada pemeluknya. Karena tabiat ajaran tasawuf adalah kebodohan. Berkata Imam Syafi`i: “Kalau seorang belajar tasawuf di waktu pagi maka di waktu siang dia telah menjadi orang yang paling dungu” (al-Fikrush Shufi, hlm. 49 dan 689 oleh Syaikh Abdurrahman Abdul Kholiq). Tasawuf merupakan penyimpangan secara besar-besaran dari agama Alloh, al-Islam yang dibawa oleh Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam” (Abdul Hakim Amir Abdat, 2005: 79).
Dalam kutipan di atas terdapat pernyataan Imam asy-Syafi`i, yang banyak disalahgunakan orang Salafi-Wahabi untuk menghilangkan tasawuf dan tarekat dalam dunia muslim. Padahal tasawuf adalah salah satu pilar di dalam agama Islam yang sangat penting. Dalam tasawuf dikaji masalah tauhid, pembersihan nafs dan hati melalui berbagai ahwal, maqomat, persoalan kewalian dan karomah-karomahnya, dan lain-lain yang berhubungan dengannya.
Kutipan dari Imam asy-Syafi`i itu memang ada dalam kitab dalam Manâqibusy Syâfi`î lil Baihâqî begini: “Yunus bin Abdul A’la berkata: “Saya mendengar asy-Syafi`i berkata: “Kalau seorang belajar tasawuf di waktu pagi maka di waktu siang dia telah menjadi orang yang paling dungu” (Imam asy-Sayafi`i, dikutip Imam al-Baihaqi, dalam Manâqibusy Syâfi`î lil Baihâqî, Kairo: Darut Turots, 1970, II: 207)
Akan tetapi kaum Salafi-Wahabi memanipulasi pernyataan al-Imam al-Jalil, Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, dengan memenggal dan mengutipnya. Pernyataan Imam Asy-Syafi`i itu, tidaklah dimaksudkan untuk memusuhi kaum sufi dan tasawuf, apalagi mengeluarkan tasawuf dari Islam, dan apalagi menyebutnya sebagai “peyimpangan besar-besaran” dari Islam.
Pernyataan itu dijelaskan oleh Imam al-Baihaqi dalam Manaqib di atas, begini: “Sesungguhnya yang dimaksud Imam asy-Syafi`i (dengan kata-kata itu) adalah orang yang masuk dalam kalangan sufi yang hanya mencukupkan dengan (simbol) nama saja sementara dia tidak faham makna intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakikatnya, hanya duduk, dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan urusan hidup dirinya ke tangan orang-orang Islam, dan dia sendiri tidak peduli dengan orang-orang Islam tersebut, dan tidak pernah menyibukkan diri dengan mencari ilmu dan ibadah.”
Menurut Imam al-Baihaqi, makna itu sesuai riwayat dari Imam asy-Syafi`i, yang dikabarkan Abu Abdurrahman as-Sulami, yang berkata begini: “Aku telah mendengar Abu Abdullah ar-Rozi berkata: “Aku mendengar Ibrohim bin Maulid berkata dalam meriwayatkan perkataan Imam asy-Syafi`i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul dalam dirinya 4 perkara: pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan banyak berlebihan.” Sesungguhanya yang ingin dikritik Imam Syafi`i adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Alloh, dan menggunakan adab syari`ah dalam mu’amalahnya kepada Alloh `azza wa jalla dan beribadah, serta mu’amalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah diceritakan beliau bergaul dengan mereka dan mengambil ilmu dari mereka.”
Setelah itu, dikutip satu riwayat dari Ayyub bin Sulaiman dari Muhammad bin Muhammad bin Idris, mengatakan bahwa ayahku berkata: “Aku telah bersahabat dengan para sufi 10 tahun, aku tidak memperoleh dari mereka (yang berharga) kecuali 2 kata-kata ini: “Waktu adalah pedang (al-waqtu kassaif), waminal ishmah an lâ taqdiro” (Manâqibusy Syâfi`î lil Baihâqî, Darut Turots, Kairo, 1970, II: 278).
Jadi, kaum salafi-wahhabi memfitnah Imam Syafi`i swebagai tidak menyenangi tasawuf, dan ini adalah qobih jiddan dilamatkan kepada Imam asy-Syafi`i. Permusuhan kaum salafi wahhabi terhadap tasawuf dan kaum sufi, masih ditambah dengan bumbu larangan meminta pertolongan dari orang-orang shalih dalam istighotsah yang dianggap sebagai musyrik. Mereka juga sering mengecam kaum muslimin yang berziarah kubur dengan kaum Quburiyun, penyembah kubur.
Sungguh, kaum Salafi-Wahabi melakukan penyingkiran tasawuf dan tarekat dari Islam, yang penentangan itu dilakukan dengan penuh kebanggaan. Apa yang dinyatakan orang Salafi-Wahabi itu, membuat tradisi yang jelek (man sanna sunnatan sayyiatan dalam bidang ilmu) yang disematkan kepada Imam asy-Syafi`i, lalu dikutip-kutip oleh orang yang tidak paham tentang tasawuf, tetapi thoma’ dan silau dengan faham yang dikemukakan Salafi Wahabi, yang banyak beredar di internet dan penerbitan.
Pernyataan yang mewakili pandangan Salafi-Wahabi di atas, dan pengutipan terhadap Imam asy-Syafi`i, adalah bagian dari apa yang disebut Imam Ali dengan: kalimatu haqqin urida biha bathilun. Tentang perkataan Imam Ali ini, Al-Hafizh al-Ajluni menyebutkan dalam Kasyful Khofa’ begini: “Diriwayatkan Muslim dari Abdullah bin Abi Rofi’ bahwa ketika kelompok al-Harruriyah telah keluar, dan mereka itu (sebelumnya) bersama Imam Ali bin Abi Tholib, berkata: La hukma illallôh. Maka Imam Ali berkata: “Kalîmatu haqqin urida bihâ bâthilun.” Berkata an-Najm: “Dan makna kalimat itu seperti apa yang terdapat dalam kitab al-Ihyâ’ di dalam Kitab Keajaiban Hati bahwa Iblis menyeriupakan dirinya kepada Isa alaihissalâm, dan berkata: “Katakan La ilâha ilalloh.” Maka Isa berkata: “Kalimat haqq, saya tidak akan mengucapkannya sekarang untuk menuruti perintahmu, akan tetapi aku mengatakan kalimat haqq itu dari hadapan nafsku sebagai ubudiyah menjalankan perintah bagi Tuhanku `Azza wa Jalla” (Isma`il bin Isma`il al-Ajluni, Kasyful Khofâ’, versi Maktabatul `Ilmil Hadits, II: 150). Pernyataan wakil Salafi-Wahabi di atas bagian dari apa yang disebut Imam Ali ini.
Para sufi telah menyusun sejarah tasawuf bersumber dari Kanjeng Nabi Muhammad, sebagai komunitas: pertama, bermula dari ahlus suffah di pojok masjid Nabi di Madinah. Hal ini dikemukakan oleh Abu Nuaim al-Ashfihani dalam Hilyatul Auliyâ’wa Thobaqatul Ashfiyâ’ (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1988/1409); Al-Kalabadzi menyusun Kitabut Ta`aruf li Ma’rifati Ahlit Tashawwuf (Kairo: Maktabah al-Khoniji, 1415/1994: 18); Abu Nashr as-Sarroj menyusun al-Luma’ li Abî Nashor ath-Thûsî, Darul Kutub al-Haditsah bi Mishro wa Maktabah al-Mutsanna fi Baghdad, 1960/1380.
Kedua, pemberian ijazah sanad zikir tarekat melalui dua orang sahabat mulia, Sayiduna Abdu Bakar dan Sayiduna Ali karromallohu wajhah. Disebut karromallohu wajhah karena sepanjang hidupnya tidak pernah bersujud kepada berhala. Dari sayiduna Abu Bakar melahirkan tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah; dan dari Imam Ali melahirkan tarekat-tarekat seperti Qadiriyah dan sejenisnya.
Dari hal demikian, tampak jelas, jalan hidup Salafi-Wahabi, meruntuhkan bangunan perdaban Islam dengan mengutip cuplikan-cuplikan pernyataan dan argumen dari para pendukung tasawuf sendiri, yang dimanipulir untuk kepentingan mereka. Wallahu a’lam.