Sedang Membaca
Asal-Usul dan Sebaran Shalawat al-Banjari: Warisan Sufi dari Kalimantan ke Nusantara

Alumni Pascasarjana UGM, Penikmat Sejarah dan Tasawuf asal Jakarta.

Asal-Usul dan Sebaran Shalawat al-Banjari: Warisan Sufi dari Kalimantan ke Nusantara

Shalawat Al Banjari

Shalawat al-Banjari merupakan sebuah nama yang sudah tidak asing bagi para pencinta shalawat terutama yang ada di luar Kalimantan Selatan seperti, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta. Di tanah Banjar sendiri, istilah shalawat al-Banjari tidak sepopuler di daerah lain. Masyarakat Banjar lebih popular menyebutnya dengan istilah bamaulidan atau pembacaan maulid.

Shalawat sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar. Sebelum hadirnya shalawat al-Habsyi yang dipopulerkan oleh K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang lebih popular dipanggil Abah Guru Sekumpul, masyarakat Banjar telah biasa membaca shalawat seperti, Syaraf al-Anam atau Diba’ atau Barzanji dalam berbagai kesempatan.

Sejarah Kasidah Shalawat al-Banjari

Berbagai syair kasidah klasik menjadi sangat terkenal di kalangan umat Islam di Indonesia, terutama syair-syair tentang pujian dan shalawat kepada Rasulullah Saw. Diantara bentuk kesenian kasidah ini adalah: 1). Diba’, adalah kasidah berisi sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw, doa, dan ayat al-Qur’an. 2). Samman, adalah ayat Quran dan kasidah yang kadang-kadang diiringi musik dan disertai koreografi sederhana berupa lingkaran. 3). Haddrah, adalah seni kasidah dengan iringan instrument musik rebana, klasik atau modern, dan kadang dimainkan dengan koreografi. 4). Gambus, ialah beberapa kasidah diiringi music modern maupun klasik dan dinyanyikan dalam berbagai bahasa. Kasidah shalawat al-Banjari yang sering disenandungkan di berbagai peristiwa dan di berbagai tempat di Indonesia dan di tanah Banjar khususnya bisa dilacak asal-usulnya kepada seni sinom hadrah.

Baca juga:  Menengok Sisi Lain Snouck Hungronje: Buku Karya Ajengan Ginanjar Sya’ban

Di Jazirah Arab, aktivitas memukul rebana/terbang (terbang istilah bahasa Banjar untuk rebana) digunakan untuk hiburan atau memberi semangat dalam peperangan dengan diiringi syair-syair. Ketika Nabi Muhammad Saw berhijrah dari Mekkah ke Madinah disambut oleh penduduk Madinah, golongan Anshar, dengan tabuhan terbang thala’a al-badru ‘alayna (telah nampak sang purnama kepada kita), maka saat itulah seni dengan alat pukul terbang mulai dikenal sebagai salah satu seni Islam.

Konon dahulu para sufi untuk menciptakan suasana “kehadiran” (hadrah) sang Nabi, tidak jarang menggunakan media terbang dengan diiringi pujian-pujian terhadap sang Nabi. Bahkan menurut pendapat lain, Jalaluddin Rumi dengan tarian berputarnya (whirling dervishes), adalah orang yang pertama kali mengenalkan bentuk awal seni hadrah.

Perkembangan Islam di tanah Banjar tidak bisa dilepaskan dari peran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datu Kalampayan). Syekh Arsyad al-Banjari menuntut ilmu di Mekkah sekitar tiga puluh tahun dan proses perjalanannya meniscayakannya transit di Aceh menjadikan karakter penyebaran Islamnya di tanah Banjar memiliki kekhasan tersendiri antara budaya Timur Tengah, Aceh dan Banjar.

Syekh Arsyad al-Banjari bisa dikatakan, selain menyebarkan Islam melalui pendekatan kekuasaan, perkawinan, tulisan, juga melalui seni dan budaya seperti, seni memukul rebana atau seni hadrah. Penyebaran Islam Syekh Arsyad dengan metode hadrah dan shalawat ini, menurut keturunan Syekh Arsyad, yakni Haji Ahmad Daudi memiliki sanad atau silsilah turun hingga sampai kepada Abah Guru Sekumpul.

Baca juga:  Belajar Bijak Dari Kitab Belut Nusantara

Syekh Arsyad al-Banjari sendiri mendapatkan sanadnya, diperkirakan berasal dari Syekh Samman al-Madani ketika menerima ijazah Tarekat Sammaniyah sebagai metode membentuk suasana “kehadiran”. Jika merujuk pada kata istilah al-Banjari sebenarnya tidak terkait dengan Banjar sebab istilah ini berasal dari dua kata, yakni “Ban” dan “Jari”. “Ban” berasal dari kata band sebuah grup musik dan kata “jari” adalah cara memainkan alat musik. Sehingga al-Banjari adalah grup musik yang menggunakan rebana yang dipukul dengan jari.

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa istilah “al-Banjari” merupakan pemberian dari Syekh Sulaiman al-Kurdi kepada Syekh Arsyad saat di Masjid Nabawi, Madinah. Sehingga istilah al-Banjari menunjukkan identitas asal dan kesukuan. Menurut Abah Guru Sekumpul, istilah al-Banjari yang melekat pada Syekh Arsyad adalah simbol tawadu’ beliau. Oleh karena itu, jika memperhatikan silsilah sanad hadrah al-Banjari yang sampai kepada kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari maka wajar jika muncul istilah shalawat al-Banjari.

Sebaran Shalawat Al-Banjari

Menurut Muhammad Basyir Hamid tokoh dan tetua Banjar di Bangil, Jawa Timur, orang-orang Banjar awal yang tinggal di Bangil pada tahun 1922 telah membentuk perkumpulan majelis tahlilan, yasinan, dan pembacaan shalawat. Pada tahun 1932, orang Banjar di Bangil membuat lembaga pendidikan bagi orang Banjar bernama Yayasan Pendidikan Darussalam Bangil atau Yapida Bangil. Dengan adanya lembaga ini maka berbagai kegiatan Islam khas Banjar semakin marak, termasuk pembacaan nasyid pada Tarekat Sammaniyah yang diiringi terbang besar.

Baca juga:  Cara Ulama Klasik Meringkas dan Menghafal Ilmu

Dalam perkembangannya, sekitar tahun 1960-an, para keturunan Syekh Arsyad al-Banjari di Bangil membentuk sinoman hadrah al-Banjari yang direstui oleh para tetua Banjar di Bangil, utamanya oleh K.H. Muhammad Syarwani Abdan. Setelah terbentuknya kelompok hadrah al-Banjari ini, pada tahun-tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1970, mereka sering diikutkan untuk memeriahkan acara Haul Sunan Ampel di Surabaya yang kemudian dilanjutkan dengan acara mengarak atau berjalan Bersama-sama dengan mengiring-iringi para habaib.

Tidak dapat diragukan bahwa Abad Guru Sekumpul adalah figur yang kharismatik. Sehingga hampir semua yang dilakukan oleh beliau akan didengarkan, diperhatikan bahkan diikuti oleh pengikutnya, termasuk pembacaan maulid atau shalawat al-Banjari. Semua itu terwujud karena pembacaan shalawatnya, memang tulus dan ikhlas serta dilandasi rasa cinta yang dalam kepada Nabi Muhammad Saw.

Dalam konteks “penghadiran” atau hudhur, Abah Guru Sekumpul membacakan shalawat dengan penuh cinta dan penghayatan yang dalam. Oleh karena itu, meskipun ada orang lain yang misalnya lebih merdu dari Abah Guru Sekumpul. Belum tentu menarik yang lain untuk mendekat kepadanya kecuali memiliki tingkat hudhur seperti yang dilakukan beliau. Inilah keunikan shalawat al-Banjari ala Sekumpul yang ingin diwariskan dan diajarkan oleh beliau kepada kita.

Judul      : Shalawat Al-Banjari: Sejarah, Keunikan, dan Sebarannya

Penulis   : Dr. Muhammad Rusydi, Dkk

Penerbit  : Edulitera Malang

Tahun    : 2022

Halaman: 218 hlm

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top