
Bubur beureum bubur bodas, masih terdengar di alam kiwari dengan raut wajah sumringah yang memberi kesan lawas ketika menuturkannya. Sesekali masih jadi topik celotehan kalau lagi bercanda soal ganti nama, katanya harus memasak dua jenis bubur itu. Sebagian dari kami tak tahu rupanya, kami hanya mewarisi bahasanya saja.
Belakangan dalam perjumpaan yang intens dengan kawan penghayat kepercayaan, riak-riak tradisi yang tampak ketinggalan zaman ini kutengok kembali. Berkali-kali menyaksikan dua bubur ini selalu ada berdampingan di altar sesajen. Dengan caraku, yang ceritanya berniat menghidupkan kembali kebiasaan orang tua dulu, Asyura tahun ini kami memasak bubur. Satu keluarga bertawasul, makan bersama, dan berbagi-bagi olahan yang manis dan gurih ini kepada sanak saudara. Setengah modern, setengah manual. Beras ketan ditanak rice cooker, lalu dipindahkan dan diaduk di atas kuali besar. Dibuat dua versi, merah dan putih.
Sejenak kepikiran, dari mana warna merahnya? lah ini kan sebenarnya warna cokelat? betul, barang-barang yang kini disebut dengan cokelat di masa lalu disebut dengan merah. Kita akrab dengan istilah bata merah atau gula merah, persepsi warna di masyarakat telah mengalami pergeseran. Warna yang sama menjadi penanda kehidupan bagi kalangan pegiat budaya, tradisi, dan kepercayaan lokal. Ada kain lurik, blangkon, genteng sampai simbol politik rakyat seperti bendera merah tua milik kelompok tani.
Dalam seni wayang, tokoh punakawan yang mewakili rakyat digambarkan memiliki kontras warna sejenis ini. Darinya muncul istilah abangan yang dalam bahasa Jawa berarti merahan. Keberadaannya kerap kali diposisikan secara berseberangan dengan kalangan santri, yang cenderung memilih simbol-simbol berwarna putih. Ada mukena dan baju koko, kain kafan, ubin, sampai simbol dalam bendera organisasi Islam.
Polarisasi struktur keagamaan masyarakat Jawa ini begitu terkenal, setelah Clifford Geertz melakukan studi etnografi di Kediri dan mempublikasi karyanya Agama Jawa. Kategorisasi ini tentunya menuai tanggapan pro dan kontra. Dianggap mewarisi cara berpikir kolonial, cenderung dikotomis yang melakukan simplifikasi, hingga naif pada kemungkinan praktik beragama kultural yang lebih kompleks. Namun begitu klasifikasi abangan-santri tetap fenomenal, bisa membedah film horor yang menampilkan dukun vs kyai hingga memeta preferensi partai politik di musim pemilu.
Lepas dari itu, kita harus berani mengakui bahwa abangan dan santri memiliki andil yang besar dalam membangun Indonesia modern. Misalnya, lahirnya Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Institusi yang memfasilitasi bidang pendidikan dibentuk sejak 19 Agustus 1945, dipimpin Ki Hadjar Dewantara, yang lahir dari budaya abangan. Sementara lembaga yang mengurusi soal keagamaan baru muncul 3 Januari 1946, hasil desakan kalangan santri. Meskipun aroma jawasentrisnya menyengat begitu kuat, sanggar dan langgar nyatanya tersebar di ruang-ruang sosial kita.
Masalahnya yang cukup serius yakni kenapa sentimen anti-merah kian kentara seiring bangsa kita menua? bukankah tanpa merah, putih tidak akan disebut sebagai sang saka yang berkibar di penjuru negeri ini? sebagian dari kita mungkin akan nyinyir, merasa geli karena bahasannya lebih terasa seperti cocokologi. Tapi percayalah, begitulah cara rakyat Nusantara menjelaskan suatu persoalan. Ia menyimpan ingatan kolektifnya dalam berlaksa-laksa simbol yang tersebar dalam cerita, ritus, dan adat.
Inilah yang kupelajari bersama kawan penghayat. Merah adalah simbol dari darah ibu, sedangkan putih adalah simbol dari darah ayah. Getih dan getah bercampur baur menjadi manusia baru. Dengan begitu, kedua warna ini bukan entitas asing tapi cerita tentang kita sendiri. Keduanya dipercaya sebagai sumber keselamatan, jalan perantara lahirnya kita di alam dunia. Tentu merah dan putih tidak datang dengan sendirinya. Satu per satu darinya terhubung pada rantai asal usul yang berjumpa dengan nenek kakek, buyut, hingga nenek moyang leluhur bangsa.
Cairan ini adalah persenyawaan biokimia yang bekerja sesuai dengan kodrat alam. Semuanya tak lain merupakan perubahan wujud dari nutrisi makanan yang orang tua kita konsumsi. Semuanya adalah padi, jagung, ikan, ayam, susu, pisang, dan sebagainya, yang semula hidup berdiri di atas tanah, menyerap unsur-unsur haranya, yang semula berfotosintesis karena adanya cahaya matahari, yang semula menghisap air dan membuatnya tetap tumbuh, yang semula bernapas menghirup angin. Ini bukan sebatas kebetulan dengan Avatar: The Legend of Aang, tapi narasi tentang kosmik yang lebih besar.
Merah adalah tanah yang kita pijak, ia menjadi perlambang dari raga kita yang berasal dari alam materi. Sedangkan putih adalah air hujan yang jatuh dari ketinggian, ia menjadi perlambang dari sukma kita yang datangnya Ilahi. Hal ini tampak jelas pada kendi yang berisi air, dimasukkan batang tanaman hanjuang. Katanya bermakna berjuang bagi tanah air. Pertalian makna berkelindan tak henti-hentinya memberi nasihat pada kita. Ini semua pastinya ekspresi dari nasionalisme, tapi tidak sedangkal dan seabstrak yang kita duga. Ia mengajak kita untuk mengamati sekitar, bersyukur pada tanah pijakan kita bekerja, tidur, dan berkegiatan. Air yang kita pakai untuk mandi, minum, dan mencuci.
Mereka laksana orang tua, disebut dengan ibu agung dan bapak agung, nyatanya ibu pertiwi dan bapak angkasa. Wujud nyatanya adalah orang tua sendiri yang tak kenal lelah mengurus kita semua, yang membawa kita pada satu perkumpulan sederhana yang bernama keluarga, pada tempat tinggal di satu daerah, pada satuan identitas yang bernama suku dan bangsa.
Bubur adalah bahan bacaan, yang layak untuk kita renungkan. Bubur adalah narasi yang mengurai hakikat diri. Melalui hamparan lambang dan maknanya, kita selalu belajar tiada henti untuk terus berbakti pada kedua orang tua, mewarisi tradisi keluarga, merawat budaya, mencintai tanah air, hidup bersahaja bersama lingkungan, hingga menghayati eksistensi Ilahi.
Pantas saja kita tidak boleh mengganti sembarang nama. Sebab sempat ada darah di dinding rahim yang jadi makanan kita, begitupun ada pancaran sperma yang bertemu dengan sel telur yang menjadi benih awal kita. Di balik semangkuk bubur itu tersembunyi cerita puitis tentang cikal bakal diri sendiri, tentang seksualitas yang penuh penghormatan pada kehidupan.