Sedang Membaca
Syakib Arslan: Sebab Kemunduran Dunia Islam
Moch Nur Ichwan
Penulis Kolom

Bekerja di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidikan S3 diselesaikan di Tilburg University, S2 di Leiden University, dan S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah belajar juga di Pondok Pesantren Darul Hikam Joresan, Ponorogo, Jawa Timur.

Syakib Arslan: Sebab Kemunduran Dunia Islam

  • Arslan geregetan melihat pudarnya semangat umat Islam meraih kejayaannya kembali, terutama dengan keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban berdasarkan atas spirit Islam.

Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju muncul di masa kolonial (pada 1929) dari seorang alim Sambas, Indonesia, Syekh Basyuni Imran, di Al-Manar, jurnal pembaruan Islam pimpinan Syaikh Muhammad Rasyid Rida. Siapa Syekh Basuni?

Basyuni pernah kuliah di Madrasah Dar al- Da’wah wa al-Irsyad Mesir asuhan Rasyid Rida. Pertanyaan itu oleh Rasyid Rida diserahkan kepada sahabatnya, Amir Syakib Arslan, untuk menjawabnya.

Syakib Arslan (1869-1946) adalah seorang pemimpin (amir) Druz, sebuah sekte Syiah Isma’iliyah Fathimiyah, Lebanon yang karena ketajaman penanya dia diberi bergelar “amir al-bayan”. Dia sangat terinspirasi oleh Jalaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta bersahabat erat dengan Syaikh Rasyid Rida.

Arslan adalah pendukung kebijakan-kebijakan Pan-Islamik Sultan Abdul Hamid II dan mendukung gagasan bahwa keberlangsungan Imperium Usmani adalah satu-satunya jaminan untuk menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah dan berada di bawah penjajahan Eropa.

Saat Imperium Usmani runtuh, dia tetap mencita-citakan “nasionalisme Islam”.  Dia juga mengadvokasi pemahaman Islam mempunyai asertivitas politik dan moral, serta meyakini bahwa iman dan modernitas dapat disatukan. (Cleveland, 1985).

Arslan menjawab pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa seri di Al-Manar, yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul pertanyaan Basyuni Imran “Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syakib Arslan dalam buku ini harus dipahami dalam konteks masanya, yakni masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II (interwar).

Arslan geregetan melihat pudarnya semangat umat Islam meraih kejayaannya kembali, terutama dengan keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban berdasarkan atas spirit Islam.

Arslan memulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Islam meraih kebesaran dan kemajuan Islam di masa, sebelum kemudian menganalisis sebab-sebab kemunduran dan keruntuhannya. Setelah itu dia menawarkan jalan keluarnya.

Baca juga:  Ziarah Wali Maroko (4): Imam Al-Jazuli, Dalail dan Kisah Jasad Sebagai Jimat Kemenangan Perang

Pertama dan paling utama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam “ada di dalam Islam itu sendiri”. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yg mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka keluar dari barbarisme kepada peradaban, dari kekejaman kepada cinta dan simpati, dan menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Usman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia pada Abad Pertengahan dengan gemilang.

Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan penginspirasi yang mengantarkan kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Spirit itu justru ada pada orang lain, terutama, saat itu, Eropa, Amerika dan Jepang.

Menurut Arslan, beberapa sebab kemunduran Islam itu adalah kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, lemahnya semangat berkorban, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian.

Selain itu, dia juga menambahkan dua sebab lain, yakni ultra-modernisme dan  konservativisme. Dalam hal ini dia mengatakan:

“Sebab utama lain dari kemunduran muslim adalah kekeraskepalaan buta mereka yang membuat mereka mempertahankan konvensi-konvensi usang. Sangat bahaya bagi sebuah bangsa adalah orang yang mengutuk semua yang lama sebagai absurd dan tidak bermanfaat, tanpa memberikan pemikiran kepada nilai intrinsiknya, hanya karena ia ‘lama’. Namun, yang bahayanya tidak kurang adalah orang yang muncul dari aliran konservatif yang ngeyel bahwa perubahan terlarang dalam semua hal. Dengan demikian, ‘ultra-modern’ yang canggih dan konvensionalis konservatif sama-sama menghancurkan Islam.”

Baca juga:  In Momeriam Bapak Mertua: Pria Mushalla alias Primus

Arslan mengkritik kaum muslim konservatif karena dia menganggap bahwa mereka melanggengkan kemiskinan dengan mereduksi Islam hanya berurusan dengan masalah akhirat.

Mereka juga dia tuduh memerangi ilmu-ilmu alam, matematika, dan semua seni kreatif, mengutuknya sebagai praktik orang-orang kafir. Ini menghindarkan muslim dari manfaat ilmu pengetahuan.

Lalu, bagaimana menggapai kemajuan?

Arslan menganjurkan kembali kepada nilai-nilai Islam karena umat Islam pernah berjaya dengan itu. Namun, Arslan juga menganjurkan umat Islam belajar dari Eropa dan Amerika, yang dia sebut musuh, dan Jepang dalam mencapai kemajuan.

Inti sari ajaran Islam adalah bahwa manusia harus menggunakan akalnya sebaik-baiknya sebagai petunjuk yang membantunya berpikir dan setelah itu berserah diri kepada Allah terkait hasilnya.

Menurutnya, Islam pada hakekatnya adalah pemberontakan terhadap tradisi negatif dan buruk. Islam bukanlah agama pasif dan konservatisme yang statis, tapi agama yang aktif dan dinamik.

Untuk kembali bangkit dan meraih kemajuan yang tinggi, Arslan menyarankan “jihad” dalam pengertian “pengorbanan” jiwa dan harta dalam membangun peradaban. Peradaban Barat dan peradaban maju mana pun, menurutnya, menerapkan jihad dalam pengertian ini juga. Untuk meraih ilmu pengetahuan, misalnya, bangsa-bangsa itu harus mengeluarkan dana dan sumberdaya yang besar.

Arslan meminta muslim melihat bagaimana Eropa pada masa itu mau berkorban untuk mencapai peradaban. Orang Eropa juga menjaga identitas mereka masing-masing. Ini untuk mengritik negeri-negeri Islam yang tidak mau berkorban untuk kemajuan, dan malah meniru identitas orang lain dan meninggalkan identitasnya sendiri.

“Contoh paling bagus adalah orang-orang Eropa. Pelajari mereka sebaik mungkin; kita tidak akan mendapati satu negara pun dari mereka yang ingin kehilangan identitas mereka menjadi orang lain.  Inggris tetap menjadi Inggris, Perancis tetap menjadi Perancis, dst.”

Baca juga:  Dunning Kruger Effect dalam Khazanah Turots

Dia meminta umat Islam belajar kepada Jepang. Sampai 1868 Jepang masih sama dengan bangsa-bangsa Timur tertinggal lainnya. Tetapi mereka bertekad untuk mengejar bangsa-bangsa maju, dan mulailah mereka mempelajari ilmu-ilmu Eropa. Mereka membangun industri seperti industri Eropa. Itulah mereka lakukan secara konsisten selama 50 tahun.

“Nah setiap umat Islam yang hendak bangkit dan menyusul bangsa-bangsa yang maju pun bisa melakukan hal itu sambil tetap berpegang teguh kepada agama. Seperti halnya bangsa Jepang, mereka mempelajari segala ilmu Eropa tanpa terkecuali namun tetap memegang teguh agama yang mereka yakini.”

Dia lalu mengatakan bahwa hal itu harus menjadikan Alquran sebagai inspirasi, bukan aspirasi, untuk menggapai kemajuan:

“Jika Muslim berusaha berdasarkan inspirasi dari al-Quran mereka akan dapat mencapai derajat seperti orang-orang Eropa, Amerika, dan Jepang dalam belajar dan ilmu pengetahuan dan perkembangan. Namun, mereka dapat menjaga iman mereka, sebagaimana orang lain melakukan. Lebih lagi, jika kita menggali inspirasi dari al-Quran, maka kita akan berkembang lebih baik daripada yang lain.”

Gagasan Arslan ini harus dibaca dalam konteks kolonialisme. Jihad yang dia serukan menentang penjajah tak jauh beda dari fatwa jihad KH M. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad NU di Indonesia.

Seruan menjadikan Alquran sebagai inspirasi sejalan dengan gerakan modernisme Islam yang lain. Hanya saja bagaimana metodologi pengambilan inspirasi dari Alquran masih absurd.

Namun, bagaimanapun juga, kesediaannya untuk belajar kepada peradaban lain, seperti Barat dan Jepang, menunjukkan sikap keterbukaannya. Tapi keterbukaan yang ditawarkan adalah keterbukaan kritis dan berjarak, karena nilai utama yang dijadikan sumber inspirasi tetaplah nilai Islam dan Alquran. Di sinilah dia berupaya mempertahankan “ashalah” (otentisitas) dan sekaligus tidak anti pada “mu’asharah” (modernitas) dalam pemikiran dan gerakannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top