Sedang Membaca
Puasa Musim Semi, Laku Sunyi di Bumi Asing

Kandidat doktor di bidang Fisiologi dan Teknologi pasca panen di Wageningen University dan Research Belanda. Berkhidmat di PCINU Belanda sebagai sekretaris.

Puasa Musim Semi, Laku Sunyi di Bumi Asing

Berpuasa di negeri asing pada musim semi selalu memiliki ceritanya tersendiri. Tahun ini akan jadi pengalaman saya yang keenam kalinya di Eropa. Dibanding tahun lalu, Ramadan 2018 ini sebetulnya lebih “ringan” karena dimulai di akhir musim semi (17 Mei)  dan berakhir sebelum musim panas resmi dimulai (14 Juni).

Kendati demikian, hari-hari ini siang lebih panjang daripada malam, suhu pun terus meningkat karena matahari sedang bergerak ke belahan bumi utara. Saya tengok jadwal tahun ini, rata-rata subuh jam 4 pagi dan maghrib baru datang setelah jam 21:30. Isya? Jangan tanya. Dia baru datang di atas jam 23.  Akibatnya, durasi puasa pun menjadi lebih panjang, sekira 18 jam. Lailatash shiyam pun mejadi sangat pendek, kurang dari 6 jam.

Durasi yang sungguh menantang ini akhirnya betul-betul menguji kesungguhan niat kita berpuasa. Seberapa besar komitmen kita untuk menjalankan perintah Tuhan ini menjadi motivasi utama berpuasa hampir sehari semalam.

Selain niat, rasa syukur masih dipertemukan dengan Ramadan membuat semuanya terasa ringan ketika dijalani. Syukur dan kegembiraan tak terkira kami rasakan setiap waktu berbuka tiba. Seteguk teh manis hangat atau cendol buatan sendiri menjadi pelipur dahaga yang luar biasa. Benar-benar saya rasakan kebenaran satu dari dua janji Kanjeng Nabi,

“Bagi orang-orang yang berpuasa akan datang dua kegembiraan; kegembiriaan saat berbuka dan kegembiriaan saat bertemu Tuhannya kelak”.

Kekuatan niat memang luar biasa pengaruhnya. Soal perkara durasi puasa di eropa atau negara-negara empat musim ketika siang menjadi sangat panjang sebetulnya banyak hasil ijtihad fikih non-mainstream yang memberikan bebrapa alternatif yang meringankan. Misal, ada fatwa di Inggris yang memperbolehkan kita untuk berpuasa sesuai dengan waktu subuh dan maghrib di Makkah. Puasa menjadi singkat, 12-13 jam saja.  Meski demikian, banyak Muslim Indonesia yang tetap berpuasa sesuai dengan subuh dan maghrib di negara yang bersangkutan demi kemantapan hati dan upayanya menyempurnakan kebaikan.

Baca juga:  "Mudhammataan" dan Suspensi Kenikmatan

Selain musim, tempat yang asing membuat puasa semakin tidak mudah. Sebagaimana negara-negara Eropa lainnya, Belanda adalah negara netral agama. Agama menjadi urusan pribadi para pemeluknya bukan urusan pemerintah. Tidak ada penetapan awal dan akhir Ramadan dari pemerintah, imbauan untuk menutup rumah makan di siang hari atau tempat hiburan malam di malam hari. Pun tak terdengar azan maghrib yang menandai waktu berbuka. Penentuan waktu sahur dan berbuka pun kita lakukan sendiri, berdasarkan software azan di laptop atau jadwal Ramadan yang kita dapatkan dari masjid setempat.

Hidup pun berjalan seperti biasa, tak ada perlakuan khusus untuk orang yang berpuasa. Kegiatan akademik atau aktivitas di kantor tetap berjalan secara reguler. Jangan harap ada pengurangan jam kerja seperti di Indonesia.

Di tengah keterasingan seperti ini membuat puasa benar-benar menjadi laku sunyi antara hamba dengan Tuhannya. Tidak terasa semarak Ramadan seperti di Tanah Air. Orang makan dan minum seperti biasa di siang hari, di kampus, kantor, taman maupun di kafe-kafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota. Tak saya temukan semarak para pedagang yang menggelar takjil di pinggir jalan menjelang berbuka, malam yang jadi meriah karena suara tadarusan bakda Tarawih atau arak-arakan membangunkan orang sahur. Semua itu tentu saja menjadi godaan ketahanan iman dan puasa kita.

Baca juga:  Ramadan: Sebulan Nyantri, Seumur Hidup Menginspirasi

 

Puasa menjadi urusan yang sangat personal. Banyak orang tidak tahu kalau kita sedang berpuasa. Beberapa kolega dekat di kampus kadang sadar dan tahu kita sedang berpuasa dan menunjukkan toleransinya dengan meminta maaf ketika harus makan dan minum di depan kita yang berpuasa

Meski demikian, secara kolektif publik tidak sepenuhnya menyadari bahwa kita sedang puasa. Akhirnya kita menjalani laku sunyi bermotif keikhlasan dan berbasis kejujuran menjalankan perintah Allah semata. Bukan karena ikut-ikutan atau malu pada lingkungan sekitar. Sepertinya sangat terasa kandungan firman Allah dalam sebuah hadis qudis, “Puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Akulah yang akan mengganjarnya”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top