Konflik antar sesama kerap terjadi karena kesalahpahaman/Saat makna tersingkap, akan hadir kedamaian (Matsnawi, jilid 2, bait 3680)
Alkisah, empat orang musafir dari berbagai negara yang tidak saling mengerti bahasa masing-masing bertemu di sebuah penginapan. Kepada mereka diberikan sejumlah uang untuk dibelikan makanan yang mereka sukai. Orang dari Persia berkata: “Aku ingin membeli anggur”. “Aku ingin Einab”, sahut yang lain dari jazirah Arab. Seorang lagi asal Turki segera menyanggah. “Tidak, aku mau uzum”. “Kalau aku suka stafylia”, orang terakhir dari kerajaan Romawi tak mau ketinggalan.
Mereka pun saling berdebat hingga berujung pada pertikaian. Datanglah seorang bijak yang mengerti keempat bahasa tersebut. Ia melerai dan meminta mereka untuk bersabar sejenak. Ia pergi ke pasar, lalu kembali dengan membawa anggur. Keempat orang itu merasa puas. Ternyata mereka menginginkan hal yang sama, hanya tidak saling mengerti bahasa masing-masing.
Cerita ini dimuat dalam kitab Matsnawi jilid kedua bait 3681-3693. Rumi, melalui kisah tersebut menitipkan pesan bahwa pertikaian yang terjadi antar umat manusia, seringkali karena kegagalan komunikasi atau dalam keseharian disebut kesalahpahaman.
Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan komunikasi adalah perbedaan bahasa. Dalam sejarah, tercatat banyak perselisihan yang berawal dari kesalahan menangkap makna sebuah bahasa. Akhir Juni 2012, Indonesia dan Malaysia sempat berselisih soal tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Persoalan ini terjadi akibat kesalahanpahaman mengartikan kata “diperakui atau memperakui”.
Ketegangan itu sedikit mereda setelah adanya pernyataan dari Norlin binti Othman, Konsul Jenderal Malaysia di Medan. Menurutnya, diperakui atau memperakui di Malaysia memiliki arti diangkat, disahkan, atau disetujui. Bukan bermakna “diklaim” seperti yang dipahami di Indonesia. Untunglah, kasus ini tidak berujung pada perselisihan tajam.
Tapi bagaimana dengan peristiwa pemboman di kota Hiroshima dan Nagasaki? Koran The New York Times, pada tanggal 21 Agustus 1989 pernah menurunkan sebuah tulisan yang cukup mengejutkan. Dalam artikel itu disebutkan, sebelum menjatuhkan bom, pihak Amerika Serikat dan sekutu memberikan ultimatum kepada Jepang supaya menyerah. Perdana menteri Jepang saat itu menjawab dengan kata “Mokusatsu” yang berarti tidak mau berkomentar. Tetapi, oleh pihak militer Amerika kata itu dianggap sebagai pengabaian dan penentangan. Sejarah mencatat, kesalahpahaman tersebut mengakibatkan peristiwa yang amat memilukan.
Di era informasi seperti sekarang ini, ketika banyak lahir ahli disiplin bahasa, bahkan ketika teknologi alih bahasa sudah sangat canggih, apakah perbedaan bahasa masih menjadi kendala dalam komunikasi? Sampai saat ini, kemajuan sistem penerjemahan tentu telah memberikan kontribusinya bagi kemanusiaan. Tetapi, persoalan mendasar dalam kegagalan komunikasi lebih kepada ketidakmampuan memahami dan menangkap “makna” yang tersembunyi dalam sebuah kata. Jadi, sangat mungkin, kegagalan komunikasi juga dialami oleh mereka yang memiliki bahasa sama.
Berbagai peristiwa di sekitar kita menunjukkan betapa banyak perselisihan, bahkan tak jarang berujung pada pertikaian disebabkan karena kesalahpahaman. Tidak tercatat jumlahnya pasangan suami isteri yang akhirnya berpisah, anggota keluarga yang bertahun-tahun memutus tali persaudaraan, sahabat yang berubah menjadi musuh, dan masih banyak lagi. Bahkan, dalam konteks hubungan yang lebih luas lagi, pertikaian antar suku, bangsa, dan umat beragama, seringkali juga disebabkan karena kegagalan komunikasi. Dalam salah satu puisinya, Rumi bersenandung:
Ratusan ribu orang beriman telah terbunuh secara zalim
Lalu dengan lantang ia (si pembunuh) berkata: Aku sedang membela agama Musa
(Matsnawi, Jilid 1, bait 337)
Rumi sebagai seorang penyair sufistik yang lahir dan besar di tengah kondisi pertikaian antar suku dan umat beragama, tentu memiliki catatan menarik yang dapat kita simak dan renungkan. Cerita empat orang yang berselisih di atas, merupakan contoh kegagalan komunikasi yang sampai hari ini masih relevan untuk disampaikan. Bahkan, ia seperti dapat memprediksi bahwa kegagalan komunikasi, dapat menyebabkan perselisihan bahkan pertikaian sengit di tengah masyarakat.
Dalam banyak puisinya, terutama buku Matsnawi, secara terpisah Rumi kerap menyinggung persoalan kebahasaan, istilah, dan kaitannya dengan kegagalan komunikasi. Menurut Rumi, ada dua hal menarik yang perlu diperhatikan, sebelum kita berbicara lebih jauh soal konflik kebahasaan.
Pertama, keragaman bahasa dan istilah merupakan sunnatullah
Meskipun perbedaan bahasa ini sering menjadi sebab terjadinya kesalahpahaman. Tapi, sejak awal Rumi meyakini bahwa keragaman dan perbedaan bahasa merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan, ia menyebutnya sebagai hadiah dari Tuhan.
Setiap orang, Tuhan berikan jalan sendiri
Setiap orang, Tuhan kirimkan istilah tersendiri
(Matsnawi, jilid 2, bait 1753)
Karim Zamani, pensyarah terbaik kitab Matsnawi, menjelaskan bahwa syair Rumi di atas, terisnpirasi dari surat Ar-Rum ayat 22:
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Sungguh indah penjelasan Alquran bahwa perbedaan bahasa merupakan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dan hanya orang-orang yang mau belajar yang akan dapat menangkap rahasia tersebut.
Kedua, kata tidak selalu dapat mewakili makna yang dimaksud
Meski kata merupakan media untuk menyampaikan apa yang ada dalam kepala kita. Tetapi faktanya, kata tidak selalu bisa mewakili maksud sesungguhnya yang ingin kita sampaikan. Misalnya: Ketika kita melihat pemandangan yang menakjubkan, atau ketika hati kita sangat bahagia, seringkali kita mengatakan: “Luar biasa! Tak bisa digambarkan dengan kata-kata”. Rumi sebagai seorang yang bertahun-tahun bergelut dengan kata-kata, sangat memahami persoalan ini.
Kata tak selalu mampu mengungkap makna
Lidah pun kadang kelu, begitu Nabi bersabda
(Matsnawi, jilid 2, bait 3013)
Dalam teks asli puisi Rumi, digunakan kalimat (لسان کَلَّ قد) sungguh lisan ini menjadi bisu. Lisan yang fungsi utamanya merupakan penyambung pesan, ada kalanya tak lagi dapat mewakili apa yang ingin disampaikan.
Di sinilah, perlu adanya seni berkomunikasi antara penyampai dan penerima informasi. Rumi berpesan, ketika terjadi kegagalan komunikasi, langkah awal yang perlu dilakukan adalah menahan diri, sebelum dilakukan mediasi antara kedua pihak yang berselisih.
Menahan diri pada yang bukan ahli menyehatkan jiwa
Sebab kesabaran akan tentramkan setiap relung jiwa
(Matsnawi, jilid 6, bait 2041)
Apalagi sekarang, di era medsos. Ketika pesan dan informasi dapat berpindah secepat kedipan mata. Bahkan, seringkali pesan yang terlanjur tersebar luas ini belum terbukti kebenarnya. Jurus “menahan diri” untuk tidak mudah bereaksi terhadap informasi yang kita terima, menjadi sangat penting. Semoga ke depan, tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh kesalahpahaman akan semakin berkurang. (aa)