Beberapa hari terakhir muncul kontroversi publik mengenai pelajaran sejarah. Pemicunya adalah kabar yang mengatakan bahwa pemerintah akan menjadikan pelajaran itu hanya sekadar pilihan. Belakangan pemerintah mengklarifikasi kabar tersebut tidak benar, tetapi kontroversi publik terlanjur berjalan.
Saya sendiri melihat pandangan publik mengenai pelajaran sejarah ambivalen. Di satu sisi mereka menginginkan itu tetap dipertahankan, namun di sisi lain mereka juga tahu isi dari pelajarannya sudah tidak relevan. Selain soal komunisme, bagaimana pelajaran sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah kita menerangkan soal Islam adalah sebuah permasalahan.
Sebagai agama terbesar di Indonesia, bahkan dunia, proporsi mengenai Islam dalam pelajaran sejarah bagi anak-anak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sangat minimal. Mungkin asumsinya Islam adalah bagiannya pelajaran agama, bukan pelajaran sejarah. Dalam materi pembelajaran jarak jauh yang tersedia di internet, saya tidak melihat sama sekali pembahasan mengenai apa dan bagaimana posisi Islam dalam sejarah Indonesia.
Ketiadaan pembahasan mengenai Islam dalam buku-buku pelajaran sejarah adalah masalah historiografis yang serius. Penyebabnya bukan sekadar kealpaan, tetapi berakar pada paradigma penulisan sejarah Indonesia-sentrisme yang sangat nasionalistik. Masalahanya, nasionalisme dan Islam sering dianggap dua entitas yang saling berhadapan.
Problematik dalam praktik penulisan sejarah Indonesia ini sejalan dengan apa yang saya tulis sebelumnya di Alif.ID tentang priayisasi Islam. Fenomena ini nyaris tidak terbaca oleh publik karena pengetahuan mereka mengenai sejarah juga bercorak “priayi-sentris”. Dalam narasi sejarah yang priayi-sentris, posisi dan peranan Islam dalam membentuk nasionalisme Indonesia terlihat samar-samar.
Tentu saja saya tidak sedang mengistimewakan Islam. Namun bagaimana bisa kita memahami peristiwa sosial politik hari ini tanpa mengetahui Islam secara historis? Setidaknya, bercermin dari kegaduhan di media sosial, kelihatan banyak sekali orang yang mengecilkan atau, sebaliknya, membesar-besarkan posisi dan peranannya. Kenyataan bahwa Islam berdialektika dengan berbagai tradisi lokal tidak pernah menjadi perhatian pelajaran sejarah. Pengetahuan tentang Islam diserahkan hanya pada pelajaran agama yang memuat sangat sedikit aspek sejarah, khususnya dalam konteks lokal.
Anak-anak yang bersekolah di madrasah mungkin sedikit beruntung, meski sejarah Islam yang diajarkan kepada mereka lebih berpusat di Timur Tengah. Mereka sedikit tahu tentang kekhilafahan yang jatuh dan bangun seturut dengan jatuh bangunnya kekuasaan. Oleh karena itu, mungkin mereka lebih imun dari propaganda khilafah yang marak belakangan.
Kembali ke problematik historiografis, menurut saya pokok masalahnya adalah adanya “priayisasi sejarah”. Narasi sejarah yang diberikan kepada anak-anak kita di sekolah kita adalah cerita-cerita para priayi. Tidak mengherankan kalau pusat perhatiannya adalah kekuasaan politik; intrik, peperangan, pengkhianatan, dan, cukup pasti, kemenangan atau kekalahan. Pokoknya lokasinya adalah kantor pemerintahan. Bukankah itu merupakan khas priayi?
Akibatnya, cerita tentang Hasyim yang berangkat ngaji ke pesantren atau Kasiran yang membantu ayahnya bekerja di bengkel, misalnya, tidak pernah menjadi bagian dari narasi sejarah. Yang dikenal hanya nama-nama seperti Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, atau tentu saja Soekarno—nama-nama priayi. Ini mungkin sepele, tetapi sesungguhnya melambangkan sesuatu yang mendasar. Jika pun ada nama-nama santri atau abangan yang muncul—saya terpaksa lagi-lagi menggunakan kategorisasi Geertz—maka mereka harus sudah termodernkan, misalnya Agus Salim. Pokoknya sejarah adalah milik priayi yang merupakan pewaris sah modernitas.
Karena priayisasi historiografis ini, sejarah menjadi sangat elitis. Mungkin untuk tujuan pedagogis tertentu, katakanlah sosialisasi nasionalisme kepada anak sekolah, hal ini berguna dan memang perlu. Namun kalau itu disempitkan hanya pada pengalaman para priayi, masalah besar menanti: anak-anak kita tidak mengetahui realitas Indonesia yang kaya raya. Di luar imajinasi mereka yang dulu pada awal abad ke-20 bisa sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), masih banyak imajinasi lain mengenai Indonesia yang hingga sekarang belum terakomodasi dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah kita.
Di antara yang belum terakomodasi itu, saya telah katakan di awal, adalah Islam. Sayap modernis Islam harus diakui lebih beruntung karena dianggap sama-sama modern oleh para priayi, tetapi narasi mengenai Islam yang bercorak tradisionalis secara umum masih asing. Kecuali bagi mereka yang memang berlatar belakang santri, pengetahuan mengenai apa itu pesantren dan ragamnya tetap seperti teka-teki yang sulit dipahami.
Oleh karena itu, tidak heran ketika pesantren memerankan diri sebagai agen moderasi keagamaan pun, ada pengamat politk yang menuduhnya sebagai laku menuju kekuasaan belaka. Tampaknya di mata pengamat seperti itu, kekuasaan adalah tempatnya para priayi dan hanya dipantaskan bagi mereka seperti diajarkan di buku-buku sejarah di sekolah kita.