Ramadan, bulan beribu lagu. Kini, kita kewalahan memilih daftar lagu untuk didengar selama Ramadan. Orang-orang mengatakan itu lagu religius, lagu rohani, lagu spiritual, atau lagu islami. Sebulan, telinga ingin menikmati musik dan kata-kata bergelimang hikmah. Lagu-lagu seperti “ditugasi” menambahi keimanan dan ketakwaan para pendengar. Berdiri, duduk, atau tiduran, lagu-lagu diputar diharapkan berhikmah. Sekian garapan musik mulai berterima di telinga kita, tak selalu kasidah. Jumlah musisi turut di musik “mendadak” religius terus bertambah, tak ada larangan atau protes. Konon, para musisi itu boleh berdakwah dan memiliki episode religius di karier musik.
Ingatlah kita pada Bimbo. Orang-orang Indonesia terlalu lama mendengar lagu-lagu Bimbo. Nah, ada orang protes. Di majalah Tempo 2 Oktober 1976, surat pembaca mengarah ke Bimbo. Surat ditulis “seseorang” memberi selingan pemikiran: “Cara berdakwah itu macam-macam. Dulu, Sunan Kalijaga menggunakan musik (gamelan) dan drama tari (wayang) – sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masa itu. Kini, Bimbo dan beberapa musikus lain, juga menggunakan musik untuk berdakwah. Kita angkat topi atas amal positif ini.” Kita tak membaca ungkapan: “angkat peci” atau “angkat kopiah”. Ia mengoreksi lirik lagu Bimbo berjudul Lailatul Qodar. Lirik itu membingungkan. Ia mengoreksi: “Disebutkan Quran turun ke bumi, Quran turun ke bumi lantas diikuti Lailatul Qodar. Seakan turunnya Al Quran dan Lailatul Qodar itu peristiwa yang sama padahal tidak.” Koreksi itu membuktikan ia tak cuma orang memberi telinga. Kepekaan atas pilihan diksi atau pengisahan dalam lagu pun terperhatikan. Pada masa lalu, orang-orang telanjur dan terlena menikmati lagu-lagu Bimbo. Sekian lagu merdu, memberi kesan-kesan keagamaan. Sekian orang mungkin masih memilih lagu-lagu bertema asmara. Bimbo memang pujaan, dari masa ke masa. Koreksi itu memiliki argumentasi. Si penulis surat memberi nasihat: “Bimbo, teruskan dakwahmu. Tapi koreksilah dulu apa yang kau suarakan.” Surat lama tak terbaca. Surat terlupa di tumpukan majalah lama.
Di majalah Sarinah, 9 Juni 1986, kita membaca 20 tahun Bimbo. Ada pujian: “Dengan lirik, Bimbo menggulati orientasi telinga pendengar elite Indonesia yang tengah dimabuk lagu-lagu Beatles. Sementara musik yang diantarkan empat bersaudara ini, menghentak rumah-rumah gedung, tembus dan hinggap pada ujung-ujung daun kelapa, dikumandangkan para gembala.” Kalimat-kalimat itu mungkin ditulis saat mengantuk atau lapar akut. Bimbo berada di album sejarah musik Indonesia, mendapat pujian dan berterima dengan kritik-kritik berdatangan. Bimbo dan lirik tentu mengingatkan rekan sering diajak dalam pembuatan lagu: Taufiq Ismail.
Kita menemui puisi berjudul “Malam Seribu Bulan” gubahan Taufiq Ismail dimuat di Horison edisi September 1968. Pujangga dari keluarga ulama besar itu menulis: Malam biru hitam/ Diplanit tua ini/ Ketika margasatwa/ Suhu. Suara. Pepohonan/ Embun mengendapkan intan/ Angin membisiki hutan/ Gunung djadi keristal/ Bisu/ Sungai-sungai menahan/ napasnja/ Sumbu bumi berhenti/ Ketika sangkakala angkasa/ Ditiup pelahan/ Dalam suara/ Firdauzi/ Ketika Mukdjizat turun/ Ketika Sifat Rahim mengalun/ Diplanit tua ini/ Dan gerbang kosmos/ Dibuka… Duh, puisi itu njlimet. Kita belum pernah mendapatkan kabar puisi itu dibacakan dalam pengajian selama Ramadan. Puisi bakal merepotkan jemaah. Puisi apik tapi pelik. Begitu.