Kantor Majalah Tempo yang disambangi FPI terkait karikatur sudah berlalu, beberapa waktu lalu. Tapi saya perlu menulis. Setidaknya karena dua hal: pertama, Tekanan masyarakat kepada media merupakn hal penting dalam udara demokrasi. Kedua, agar tidak terjadi lagi (poin kedua rasanya mustahil).
Majalah Tempo memuat karikatur yang memparodikan salah satu adegan dan dialog dalam film Ada Apa dengan Cinta 2. Karikatur Tempo edisi 26 Februari 2018 itu memuat dua orang duduk berhadapan. Seorang wanita digambar dari arah depan dan terlihat wajahnya. Seorang lainnya digambar dari belakang, sehingga yang tampak adalah bagian belakang tubuhnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008) memaknai kartun sebagai; 1. Film bioskop yang dibuat dengan memotret gambar (lukisan) tangan yang berseri. 2. Gambar dengan penampilan yang lucu yang berkaitan dengan keadaan yang sedang berlaku (terutama mengenai politik). Sementara karikatur adalah gambar olok-olok yang mengandung pesan, sindiran, dsb.
Definisi ini mengesankan bahwa karikatur merupakan kartun yang memiliki tujuan tertentu yang bersifat olok-olok (mengejek), sindiran (pasemon), dan berkaitan dengan politik. Dari definisi tersebut akan dianalisis dalam tulisan ini untuk memahami mengapa massa FPI sampai mendemo Tempo dan menuntut permintaan maaf.
Tafsir politis karikatur
Dunia penuh dengan tanda yang bebas kita baca dan maknai dengan seperangkat metode semiotika/semiologi. Williamsons mengemukakan pandangannya tentang objek sebagai tanda atau fenomena semiotika. Sebagai sebuah tanda, objek bertindak sebagai atau mewakili sesuatu, apakah sesuatu itu berupa konsep atau perasaan (Williamsons, dalam Piliang, 2003: 172. Cetak miring dari Piliang). Karikatur Tempo adalah salah satu objek sebagai tanda tersebut.
Karikatur Tempo sesungguhnya sudah “mencari aman” karena menggambarkan sang pria dari belakang, hanya tampak punggungnya. Kita tidak mendapatkan gambar wajah untuk mengasosiasikan wajah itu pada tokoh mana pun. Namun, dalam tanda-tanda lainnya, karikatur tersebut dengan mudah akan ditangkap sebagai upaya satire pada tokoh dan kejadian (politik) tertentu.
Karikatur itu menggunakan dua aspek tanda terpenting untuk menguatkan makna pada pembaca. Pertama, kalimat yang diucapkan oleh dua orang tersebut. Dialog dalam karikatur itu merupakan kalimat pernyataan dan tanggapan; seorang pria memberi pernyataan dan wanita memberi tanggapan.
Kedua, simbol (pakaian). Dua orang dalam karikatur menggunakan pakaian yang secara budaya Indonesia terasa kurang lazim manakala dua pakaian itu dipakai di tempat dan acara yang sama. Sang wanita memakai pakaian biasa dan laki-laki menggunakan gamis dan sorban penutup kepala. Di Indonesia, ciri khas pakaian laki-laki itu umumnya dikenakan oleh umat Islam.
Karikatur itu menarik karena dua aspek tanda itu berhubungan. Makna salah satu bergantung padatanda lainnya. Pertama, pakaian yang dikenakan sang pria. Seandainya pria dalam karikatur itu memakai t-hirt atau jas dan celana panjang, -juga tidak mengenakan sorban penutup kepala-, yang kita tangkap adalah adegan Rangga dan Cinta dalam dilm AAdC 2.
Kedua, kalimat yang diucapkan si pria dapat ditafsirkan lain (secara politis) karena adanya simbol (pakaian) yang dikenakannya. Artinya, kalimat yang diucapkan pria dalam karikatur jadi memiliki konteks (situasi) tertentu. Maka karikatur tersebut dapat kita maknai sebagai berikut; seorang pria muslim meminta maaf pada wanita karena tidak jadi pulang.
Protes FPI
Sebagai produk jurnalistik Tempo tentu berkutat dengan aktualitas peristiwa sebagai bahan berita. Selain aktual, berita yang ingin disajikan merupakan peristiwa yang dinanti oleh publik. FPI dan Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan salah satu “media darling” Tempo. Aksi-aksi FPI yang diakui anggota berdasar pada amar makruf nahi munkar dan pernyataan-pernyataan HRS merupakan bahan-bahan berita yang memiliki daya kejut tinggi.
Sementara bagi FPI, HRS ditahbiskan sebagai Imam Besar umat Islam. Setiap pernyataan dan instruksinya mengandung kebenaran bagi pengikutnya. Kharismanya mampu menggerakkan massa dalam jumlah besar. Dan mengusiknya akan dituduh kriminalisasi ulama dan berbuat zalim pada Islam.
Pasca ditetapkannya HRS sebagai tersangka atas berbagai kasus; misalnya ujaran kebencian dan chat mesum, lalu HRS umrah dan tidak segera pulang, publik memang menanti kepulangan HRS. Di media sosial banyak orang menulis status nyinyir pada HRS yang tak kunjung pulang. Penantian publik itu dibumbui dengan beredarnya video pernyataan HRS dari tanah suci.
Penting dicatat bahwa relasi antara FPI-HRS dan Tempo tidaklah “bersahabat”. Misalnya, majalah Tempo edisi 3-9 Juli 2017 memuat sampul HRS sedang menelepon dan mengucapkan “Rekonsiliasi atau Revolusi!”. Keterangan ditambahkan; “dari persembunyiannya, Rizieq Syihab mengirim utusan untuk melobi Jokowi. Gertak sambal dari Saudi?”. Kalimat “gertak sambal dari Saudi” diberi garis tebal yang mengesankan bagaimana opini Tempo terhadap fakta keberadaan HRS di Arab Saudi.
Selain itu Tempo pernah menayangkan berita yang “menyudutkan” FPI. Tempo pernah merilis daftar kekerasan yang pernah dilakukan FPI di lima provinsi (https://nasional.tempo.co/read/621646/daftar-kekerasan-fpi-di-lima-provinsi). Sepanjang Februari 2018 Tempo cukup intens memberitakan kepulangan HRS. Antara lain pada 21 Februari Tempo membuat judul berita cukup genit; Ini sinyal dan kejanggalan soal kabar Rizieq Shihab akan pulang (https://metro.tempo.co/read/1062828/ini-sinyal-dan-kejanggalan-soal-kabar-rizieq-shihab-akan-pulang).
Ada tiga sebab yang bisa ditawarkan untuk memahami protes FPI. Pertama, pria dalam karikatur memakai gamis dan sorban putih. Warna dan model pakaian ini adalah pakaian yang sering (selalu?) dipakai oleh HRS. Di mesin pencari Google, ketiklah “Habib Rizieq Syihab”, pilih images, dan tertampil foto-foto HRS dengan pakaian serba putih.
Kedua, tulisan ucapan pria, “maaf saya tidak jadi PULANG” dan tanggapan wanita, ”yang kamu lakukan JAHAT,” tentu memberi asosiasi pada situasi kepulangan HRS. Mengapa ‘pulang’ dan ‘jahat’ ditulis dengan huruf kapital semua, apakah penekanan dua kata ini mempunyi tujuan tertentu? ‘Pulang’ menjadi penunjuk arah karena beberapa waktu lalu kabar kepulangan HRS santer terdengar. Bahkan muncul foto tiket pesawat. Sementara ‘jahat’ dapat dimaknai bahwa tidak jadi pulang itu perlakuan jahat. Pendapat ini bertentangan dengan keyakinan FPI bahwa ketidakpulangan HRS dipilih berdasarkan (salat) istikharah.
Ketiga, preferensi media massa oleh anggota FPI. Sering dari status-status simpatisan FPI dan Aksi Bela Islam memplesetkan Tempo dengan Tempe. Sebagaimana Metro TV diplesetkan Metro Tipu karena berita di dua media itu cenderung tidak mendukung aksi FPI.
Mengasosiasikan gamis, sorban putih, dan pulang tentu sah-sah saja dimaknai untuk menyindir atau mengolok-olok HRS. Namanya juga tafsir, tentu bebas saja. Apalagi berita kepulangan HRS memang ramai pada Februari lalu. Dari situ kita pun dapat memahami mengapa massa FPI marah, menggruduk kantor Tempo, dan menuntut majalah mingguan itu meminta maaf.
Persoalan menjadi serius karena protes FPI diekspresikan dengan mengumpulkan massa dan sikap intimidatif pada awak Tempo. Padahal sebagai produk pers, ada hak jawab yang bisa ditempuh FPI untuk memprotes karikatur Tempo. Atau kalau lebih kreatif, karikatur dibalas karikatur, dan semua pihak sama-sama merasa terolok-olok, tersindir.
Belajar pada Gus Dur
Untuk soal perkarikaturan, Gus Dur menjadi contoh terbaik sikap tokoh yang elegan dalam menyikapi karikatur tentang dirinya. Sampul buku tentang Gus Dur banyak yang menggambarkan karikatural Gus Dur. Buku biografi Gus Dur karya Greg Barton bersampul karikatur Gus Dur dengan tubuh gendut. Gus Dur pun dibuatkan patung yang diasosiasikan menyerupai Budha. Hidup bagi Gus Dur sendiri pun tampak karikatural.
Dalam suatu acara Kick Andy, di akhir acara Andy F. Noya menyerahkan karikatur Gus Dur yang menggendong kendi bertuliskan Drunken Master dan berlagak bak seorang pendekar kungfu. Asosiasi yang melekat dengan mudah, bahwa Gus Dur diibaratkan sebagai jagoan kung fu dengan jurus dewa mabuk.
Kita tidak mendengar massa NU menggeruduk Metro TV dan meminta maaf, misalnya. Semua adem ayem saja. Kemarahan massa FPI terjadi karena sejak demo berjilid-jilid, nyaris setiap hari kita dijejali berita yang menyangkut tokoh-tokohnya. Di media sosial, status nyinyir kerap muncul.