Bagaimana jika ajaran Al-Qur’an secara lahiriah bertentangan dengan penemuan akal? Atau antara ajaran satu dengan yang lainnya? Apa yang seorang muslim lakukan? Pembiaran akan dua ajaran yang dinilai mustahil terjadi bersamaan tentu akan menjadi semacam kotoran bagi jiwa. Kotoran pada jiwa ini perlu dibersihkan. Dan tugas ini umumnya dilakukan para sufi. Demikian pula yang dilakukan oleh Syekh Yusuf dalam sebuah kitab berjudul Sirrul Asrar (Puncak Rahasia).
Dalam karya ketiga ini Syaikh Yusuf lagi dan lagi memberikan petunjuk tahapan-tahapan yang perlu dilalui seorang penempuh jalan ilahi (salik) ketika menyucikan jiwa. Karya ini menjadi naskah ketiga dari manuscript Or. 7025. Ia terletak pada f. 34v. – 52.v.
Judul kitab, Sirrul Asrar, menggambarkan apa yang hanya diketahui oleh Allah dalam martabat Ahadiyah. Dalam tradisi “martabat tujuh” di Nusantara, yang mana pengaruh utamanya hadir dari karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri, Ahadiyah adalah martabat pertama yang mana hanya Allah tanpa ada sesuatu pun bersama-Nya. Martabat ini disebut sebagai martabat non-determinasi (laa ta’ayyun). Sirrul asrar dilandaskan pada ayat “pada sisi-Nya kunci-kunci alam ghaib yang tidak ada yang tahu kecuali Dia”.
Karya ini merupakan panduan didaktis bagi para penempuh jalan ilahi. Syekh Yusuf mewanti-wanti bahwa hendaknya seorang salik meyakini doktrin Al-Qur’an yang ia terima secara harfiah. Meskipun doktrin itu mencipta pertentangan antara doktrin atau dengan penemuan akal.
Ambil sebagai misal doktrin yang tentang “Allah selalu bersama hamba-Nya di mana saja berada” dan “Allah melingkupi segala sesuatu”. Seorang barangkali akan bertanya “Bagaimana Allah bersama hamba-Nya?”
Ada kontradiksi yang akan terjadi. Allah tidak dibatasi ruang. Sebaliknya hamba-Nya dibatasi dengan ruang. Bagaimana terjadi yang tak terbatas oleh ruang bersama dengan yang terbatas oleh ruang? Bila Allah bersama makhluk itu berarti Allah menjadi terbatas dan sama dengan makhluk. Kami berlindung dari keyakinan itu. Namun bila manusia yang menuju Allah dan bersama-Nya, berarti manusia menjadi tidak terbatas sehingga dia sama dengan Allah. Kami juga berlindung dari keyakinan itu. Lalu bagaimana?
Dalam hal ini, Syekh Yusuf menjawab bahwa keyakinan bahwa Allah itu tidak terbatas ruang adalah benar. Namun demikian, keyakinan bahwa maiyyah itu juga merupakan doktrin agama. Relasi kedua doktrin ini tidak dapat dijelaskan melalui penemuan akal semata. Seorang pada tahapan awal harus meyakini keduanya berlandaskan informasi dari wahyu.
Lalu Syekh Yusuf berkata, “Kami akan berikan metafora atas hal ini supaya mendekatkan pemahaman.” Kebersamaan dan peliputan Tuhan kepada kita hanya terjadi seperti suatu yang disifati dengan sifat-sifatnya, bukan seperti kebersamaan satu benda dengan benda lainnya. Ini tidak terlalu sulit, meskipun sama sekali bukan berarti mudah.
Kita meyakini bahwa sifat dari materi adalah menempati ruang. “Materi” dan “menempati ruang” bisa kita kategorikan menjadi dua hal hanya pada tataran konsepsi akal. Namun, pada realitas eksternal, “materi” dan “menempati ruang” tidaklah terpisahkan dan tidak bisa dianggap sebagai dua hal. Pembahasan panjang mengenai hal ini dapat ditemukan pada pembahasan mengenai “wujud”. Tuhan adalah pemilik semua “wujud”, maka sebab itu semua yang tampak memiliki wujud bersumber dari Tuhan. “Sifat” wujud inilah yang menjadikan maiyyah dan ihathah Tuhan dengan hamba-hamba-Nya.
Syekh Yusuf berpesan bahwa lebih baik seorang yang merupakan pemula dalam perjalanan menempuh pembersihan diri untuk melakukan zikir laa ilaha illallah sebanyak-banyaknya. Syekh Yusuf menyebutkan sehari semalam sebanyak sepuluh ribu kali. Tujuannya adalah agar anggota tubuh seseorang, termasuk tulang-tulang dan urat-urat yang ada di tubuhnya “tercampur” dengan zikir-zikir itu.
Selanjutnya, seorang salik hendaknya berusaha memberikan makna yang hakiki akan laa ilaha illallah itu. Laa ilaha adalah negasi akan hak ketuhanan (uluhiyyah) pada semua kecuali Tuhan. Illallah bahwa Tuhan semata adalah Pemilik sifat-sifat ketuhanan itu. Salah satu tafsir akan kalimat ini adalah bahwa Allah adalah “realitas”, karena apakah ketuhanan itu kecuali memiliki relitas atau wujud itu sendiri? Semua yang nampak memiliki realitas pasti mendapatkan kasih-sayang dari Allah yang memberikan realitas itu kepada kepada makhluk, melalui “kun”.
Selanjutnya, seorang salik juga hendaknya meyakini bahwa segala sesuatu yang ia dengar adalah semata-mata “suara” penyucian (tasbih) kepada Allah Swt. Sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 44:
“Bertasbih untuk-Nya langit yang tujuh dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
Memang ayat ini menandaskan bahwa manusia tidak mengerti “tasbih” dari seluruh makhluk itu. Meski demikian hal itu bukan berarti kita mengabaikan wajibnya beriman bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada-Nya. Syekh Yusuf menyebutkan bahwa tasbih makhluk ini bertasbih baik ditinjau dari ucapan atau “suara” maupun kondisi.
“Suara ombak adalah tasbihnya,” kata Syekh Yusuf mengutip hadis yang dinisbahkan kepada Nabi saw. Dengan mengutip “Guru dari para guru kami”, yaitu Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi, Syekh Yusuf menetapkan bahwa seluruh makhluk memiliki ruh. Ibnu Arabi berkata, “Seorang bertasbih tidak terjadi kecuali pada mereka yang memiliki ruh.”
Tidak hanya doktrin dan ajaran, kitab juga diselingi dengan kisah-kisah. Salah satunya kisah kematian ibunda sahabat Zubair, Ummu Mush’ab. Saat beliau wafat, banyak orang berkumpul menghadiri prosesi jenazahnya. Saat itu, terdengar seorang menangis (niyahah). Seorang sahabat, Jabbar ath-Tha’i, mengingatkan pemimpin rombongan, yaitu Ibnu Abbas.
“Wahai Abdullah tidakkah engkau dengar suara ini? Engkau di sini di tempat ini”. Maksudnya adalah meminta Abdullah bin Abbas untuk melarang seorang menangis keras. Namun, sebagaimana sifat dari pelaksanaan syariah yang tidak hitam putih, Ibnu Abbas menjawab: “Diamlah Jabbar! Allahlah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.”
Dalam kondisi tersebut, Ibnu Abbas berijtihad bahwa tangisan itu belum sampai pada tataran “ijtihad”, sehingga merupakan tangisan kasih dan sayang yang tidak dilarang dalam agama.
Kemudian seorang salik hendaknya meyakini bahwa semua yang terjadi di alam realitas eksternal ini merupakan pantulan gambar (image) dan memiliki makna. Dan seorang harus meyakini bahwa semua yang terjadi itu baik, ditinjau dari hakikat yang bertindak (fa’il) yaitu Allah swt. Keburukan dilihat dari sisi manusia terjadi karena dilekatkan pada tabiat, adat, dan syariat. Hal ini dilandaskan pada ayat bahwa Allah mencipta segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Termasuk, Allah mencipta “keburukan” dengan tujuan kebaikan tersendiri.
Hal ini akan sulit dipahami oleh banyak manusia modern. Bagaimana Tuhan Yang Maha Baik menciptakan dunia yang ada “iblis” buruk di dalamnya? Dalam Islam, Tuhan memiliki sifat baik absolut dan oleh karenanya segala makhluknya, yang mengalami proses penciptaan dan -dari satu sisi- merupakan wujud dari keterpisahan dengan-Nya, memiliki baik relatif. Dalam bahasa lain, merupakan hal yang mungkin bagi semua makhluk untuk baik dan buruk. Jika tidak demikian maka akan terjadi inkonsistensi dimana makhluk menjadi Tuhan karena disifati dengan baik absolut.
Ajaran-ajaran ini merupakan petunjuk Syaikh Yusuf kepada para muridnya pada abad ke-17. Ajaran terlihat begitu sulit dilakukan di masa kini. Entah karena alasan keterbatasan waktu (bagi 10.000 laa ilaha illallah dalam sehari?) atau karena proses kerusakan ‘aql dan kejatuhan manusia modern dari keyakinan otoritas wahyu dan ilham. Wallahu a’lam.