Sedang Membaca
Menghampiri Kematian (1): Pengalaman Menjelang Kematian
Riza Bahtiar
Penulis Kolom

Peneliti Kindai Institute Banjarmasin

Menghampiri Kematian (1): Pengalaman Menjelang Kematian

Barang siapa mengenal kematian juga mengenal hidup, barang siapa melalaikan kematian, juga melalaikan kehidupan. (Yagyu-Tajiama-no-kami, Guru Samurai).

Kematian hampir selalu menjadi momok bagi manusia. Tak jarang saat membahas tentang kematian, kita segera ingin berlalu dan melewatkannya. Tentu saja, harus ditegaskan kematian yang kita bicarakan ini bukan kematian konyol, seperti peristiwa bunuh diri keluarga teroris di sejumlah gereja di Surabaya beberapa waktu lalu. Kematian yang kita bicarakan di sini ialah kematian sebagai bagian dari siklus alamiah kehidupan setelah kelahiran yang pernah kita jalani.

Setakat pengetahuan saya, tulisan yang mengangkat tema terkait dengan resepsi atas kematian secara ilmiah pertama kali ialah Elisabeth Kubler-Ross lewat bukunya, On Death and Dying (1969). Kubler-Ross adalah psikiater berkebangsaan Swiss-Amerika. Dialah pionir dalam studi modern tentang menghampiri ajal. Di dalam karyanya itu, ia pertama kali mencetuskan teorinya tentang lima tahapan kesedihan terkait kematian yang dikenal dengan “model Kubler-Ross”.

Lima tahapan ini antara lain adalah: penyangkalan dan pengasingan diri (denial), kemarahan (anger), menawar (bargaining), kemurungan (depression), dan menerima (acceptance) terhadap kematian.

Umumnya, seseorang akan mengalami sebagian besar dari tahapan ini manakala berhadapan dengan ajalnya yang kian mendekat. Orang tersebut awalnya menolak kenyataan bahwa dia akan segera meninggal. Seiring waktu, perasaan menolak ini berkembang menjadi rasa marah entah pada dirinya sendiri atau pada orang lain. Saat rasa marah ini mereda, dia berusaha menawar terhadap kematiannya. Menawar dalam arti berusaha membujuk agar kematiannya bisa diperlambat.

Baca juga:  Politik Ukhuwah Islamiyah: Satu Lagi Tugas Menteri Agama

Ini selaras dengan perasaan selanjutnya yang muncul, yakni rasa murung dan sedih karena harus berpisah dengan kehidupan. Pada ujungnya, di tahapan terakhir orang tersebut menerima fakta kematian yang kian akrab dengannya. Saat sudah menginjak tahapan ini, orang itu sebenarnya telah memudahkan dirinya sendiri dalam menghadapi kematian. Namun, sayangnya tidak semua orang melalui tahapan-tahapan ini secara sempurna.

Kubler-Ross hanya berbicara tentang bagaimana orang berusaha memperlakukan orang-orang terdekatnya yang akan meninggal. Hal ini bisa dipahami karena Kubler-Ross mengembangkan teorinya dari aktivitasnya merawat pasien terminal (pasien yang divonis tak bisa disembuhkan lagi dan hanya menunggu datangnya maut). Bagaimana dengan orang yang divonis mati tapi ternyata hidup kembali? Yakni, bagaimana dengan orang-orang yang mengalami mati suri?

Adalah Raymond Moody, seorang filsuf, dokter, psikolog, dan penulis, yang berusaha menjawab pertanyaan menggelitik ini. Dia bergerak lebih jauh dengan meneliti dan mengangkat pengalaman orang-orang yang menghampiri ajal (NDE) dan keluar tubuh (OBE).

Moody mewawancarai seratus lima puluhan orang yang sukarela berbicara kepadanya tentang pengalaman personal mereka. Proses ini memakan waktu yang cukup panjang, sekira delapan tahun. Hasil penelitiannya ini diangkatnya dalam buku Life After Life (1975). Sebuah karya yang memiliki efek luar biasa. Perlu dicatat, di Indonesia sendiri, buku Moody ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh tiga penerbit yang berbeda.

Baca juga:  Menghampiri Kematian (2): Pengalaman Mati Suri Seorang Muslim dan Ahli Syaraf Harvard

Secara garis besar, uraian Moody tentang fenomena menghampiri ajal atawa NDE ini memiliki 16 elemen berikut:

  1. Waktu melaju atau melambat;
  2. Proses-proses pikiran melaju;
  3. Kembalinya kilasan-kilasan kehidupan dari masa lalu;
  4. Wawasan atau pemahaman yang langsung;
  5. Perasaan damai atau kesenangan;
  6. Perasaan gembira atau sukaria;
  7. Perasaan harmoni atau menyatu dengan semesta;
  8. Berhadapan dengan cahaya yang terang;
  9. Indera mencerap lebih kuat;
  10. Kesadaran tentang hal-hal di tempat lain, seakan-akan dengan persepsi ekstra-inderawi (Extra Sensory Perception);
  11. Mengalami kilasan dari masa depan;
  12. Perasaan terpisah dari jasad;
  13. Mengalami dunia lain yang tidak lazim;
  14. Menjumpai wujud atau kehadiran mistis, atau mendengar suara yang sukar dilukiskan;
  15. Melihat ruh-ruh orang yang sudah meninggal atau orang suci;
  16. Tiba pada perbatasan, atau titik tanpa kembali.

 

Pengaruh publikasi Moody memunculkan maraknya near-death studies (studi menghampiri ajal) yang lantas didapuk oleh psikologi dan psikiatri yang lantas memasukkan studi fisiologi, fenomenologi, dan efek pasca-pengalaman menjelang ajal (NDE). Hal ini tidak terlepas dari prakarsa Moody belakangan yang mendirikan International Association for Near-death Studies (IANDS), asosiasi internasional untuk studi menjelang ajal, dan Journal of Near-death Studies. IANDS memiliki situs di dunia maya dengan nama www.near-death.com.

Moody menganggap seluruh fenomena NDE yang diteliti olehnya punya kemiripan mencolok.  Orang-orang dengan berbagai latar belakang keagamaan Kristiani, Yahudi, bahkan Ateis, berbagi elemen-elemen NDE yang nyaris serupa. Atas dasar keserupaan itulah, Moody menarik induksi tentang pengalaman manusia menjelang ajal. Pertanyaannya kemudian, apakah di dalam Islam, NDE seturut pandangan Moody juga terjadi?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top