Kota Yogyakarta pernah berpredikat sebagai kota sepeda. Ada masa ketika jalanan Yogyakarta dipenuhi oleh sepeda, khususnya sepeda onthel. Pada masa itu, sepeda dimiliki oleh pelbagai kalangan, mulai dari priayi hingga rakyat biasa. Pengguna sepeda pun menorehkan kesan istimewa bagi Yogyakarta.
Buku klasik sosiologi karangan Selo Soemardjan berjudul ”Perubahan Sosial di Yogyakarta” ikut memperkuat hal itu. Sampul buku yang ditulis oleh asisten pribadi Sultan Hamengkubuwono IX tersebut memotret seorang priayi tengah bersepeda onthel. Di belakang priayi yang mengenakan baju beskap itu, terdapat rombongan pesepeda yang mengikuti. Judul dan sampul buku seakan mengamini bahwa keberadaan sepeda ikut mempengaruhi perubahan sosial di Yogyakarta.
Sampul buku juga menggerakkan imajinasi ke jalanan Yogyakarta di masa 1950-an. Ingatan terkait jalanan Yogyakarta itu memantulkan rekaman film neo-realisme Italia, ”Bicycle Thieves” gubahan Vittorio De Sica. Film itu menceritakan sepeda sebagai modal kerja dan pertaruhan martabat seorang pekerja di Italia pada babak akhir 1940-an. Bahasa visual film menggiring penonton melihat denyut kehidupan di ruang kota Roma lewat lewat hilir mudik pesepeda.
Pada babak awal kemerdekaan Indonesia, para pengguna sepeda onthel di Yogyakarta terkesan istimewa karena hanya segelintir orang yang memiliki, termasuk bangsawan keraton. Sepeda onthel juga menjadi kesukaan para bangsawan berkeliling kota karena didesain untuk posisi badan lebih tegak. Karena itu, kayuhan terkondisi untuk pelan, sehingga berkeliling kota jadi lebih nyaman.
Lambat laun, sepeda akhirnya merakyat seiring dengan berjalannya modernisasi di Yogyakarta. Pelbagai lapisan masyarakat mulai menggunakan sepeda untuk mobilitas sehari-hari. Bahkan pada 1970-an, ketika kendaraan bermotor mulai mengekpansi jalan di Indonesia, sepeda masih menjadi primadona bagi warga Yogyakarta. Majalah Tempo edisi 3 Maret 1973 menuliskan bahwa ada ratusan sepeda yang melintas di tengah kota Yogyakarta. Hal itu sejalan dengan denyut kehidupan di sana yang terasa serba melambat.
”Perasaan terhadap waktu di sini agak asing buat orang jang biasa terburu-buru di Djakarta….Hidup berlangsung dalam suasana klenengan. Orang dengan sabar menunggu bila palang pintu kereta api Lempujangan atau Tugu melintang menghalangi djalan, mentjegah beratus-ratus sepeda melintas.”
Tulisan itu tampak mengesankan adanya gegar budaya yang dialami oleh penulis. Selama di Jakarta mungkin ia terbiasa mendengar riuh rendah kendaraan bermotor. Tiba di Yogyakarta ia mendapati rutinitas bisa berjalan dengan ritme lamban. Sekian orang yang penat oleh kecepatan pun terpana dengan kelambanan itu dan menyebutnya sebagai eksotisme.
Sepeda dan kelambanan mobilitas di Yogyakarta juga tercermin dalam peribahasa Jawa angon angen-angen lumantar angin. Arti peribahasa itu kurang lebih adalah menyatunya tarikan nafas dan pengendalian hawa nafsu. Peribahasa itu mengartikan pentingnya keselarasan antara tubuh, jiwa, dan pikiran. Kayuhan sepeda merekam semua aspek itu. Upaya untuk terus mengayuh, seimbang, dan menyusuri jalanan, akan mengantar seseorang tiba di tujuan.
Keselarasan antara mobilitas sepeda dan kebermaknaan hidup di Yogyakarta pernah dituturkan oleh penyair Iman Budhi Santosa dalam puisinya berjudul ”Orang-Orang Sepeda Bantul-Yogya” (1997). Iman menulis, ”Pagi paling hanya membekal berani/sesekali pena atau gergaji/kadang, malah cukup dengan otot lengan/dan sepuluh jari (bersama lecutan cemeti)/berangkat menaklukan matahari/Tapi, mereka setia, mengayuh nasib/dengan mata terbuka, sabar melata/mencari celah dan remah-remah kota/dekat millenium ketiga.”
Puisi itu menggambarkan suatu laku bersepeda seorang warga yang mencari nafkah di kota. Adegan puisi memotret refleksi gerak badan dan suasana saat perjalanan mengayuh sepeda. Sepenggal puisi itu tampak ingin mengisyaratkan sebuah daya hidup pada manusia dan sepeda di Yogyakarta. Sepeda bukan hanya soal benda. Ia melebur pada etos, ritus dan penghayatan diri manusia.
Hal senada terungkap dalam Laporan Khusus Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi Juli 2004 berjudul ”Jogja, Never Ending Onthel”. Laporan itu mengutarakan bahwa pengguna sepeda onthel di Yogyakarta memberi kesan lamban di tengah deru kendaraan motor lainnya.
Namun demikian, masih ada sekian warga yang mengandalkan onthel untuk bepergian. ”Di jalan, onthel seperti David yang ringkih harus berebut jalan dengan bus yang perkasa laiknya Goliath. Onthel biasanya akan terus menerus disalip. Tak mungkin onthel mengejar kendaraan bermotor. Tapi, ketika bus harus menepu, pengayuh onthel pun berkesempatan untuk menyalip si Goliath itu.”
Pesepeda dalam laporan itu terumpamakan seperti David yang kecil, ringkih, dan diprediksi akan kalah oleh semua orang. Jalanan Yogyakarta menjadi pertarungan antara yang besar dan kecil. Yang kecil akan meraih kemenangan saat bertarung dengan cerdas. Demikian pula dengan sepeda. Lantas, siasat sepeda bertahan di jalan tertulis dalam laporan itu, ”Ketika diperingatkan polisi untuk tidak menerabas lampu merah, mereka akan mengangguk…Tapi esoknya, ketika kesempatan itu datang, tetap saja itu diulangi: lampu merah, cari selah, lantas jalan terus.”
Sementara itu, grup musik asal Yogyakarta, Olski pernah menulis lagu berjudul ”Sepeda Senja”. Tertulis dalam lirik lagu itu, ”Menanti datang senja/Ayolah bersepeda/Tinggalkan bising kota/Bersepeda di desa/Jangan sendiri saja/Ajak kawan semua.” Lirik lagu mempersuasi orang untuk bersepeda dan menikmati suasana. Tetapi sayangnya bukan di kota, melainkan di desa. Bahkan lirik lagu menyebut, ”Tinggalkan bising kota”. Tampaknya punggawa grup sadar, kota tidak lagi ramah sepeda. Sepeda lebih layak di desa saja.
Lirik lagu berikutnya mendendangkan, ”Ayo kita bersepeda/Sambil menikmati senja/Jangan kebut-kebutan/Hati-hati di jalan dan pelan-pelan/” Lirik lagu mengamini sepeda itu untuk ritme lamban. Kebut-kebutan akan janggal buat pesepeda. Bersepeda itu demi menikmati suasana, pemandangan, dan panorama. Sepeda hari ini lebih tepat untuk menanti datang senja di desa saja.