Sedang Membaca
Fakta dan Khayal Tuanku Rao
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Fakta dan Khayal Tuanku Rao

Tuanku Rao. Demikian ia dikenang. Sejarahnya melibatkan dua etnis besar Sumatra, Batak, dan Minangkabau. Ia diperdebatkan, seperti halnya perdebatan yang tak selesai tentang Perang Paderi (1803-1837). Ia diperdebatkan lantaran andilnya yang cukup besar dalam peristiwa itu, ketika rakyat Indonesia berusaha keluar dari jajahan Belanda, di Sumatra sendiri tengah terjadi perang saudara.

Perdebatan tersebut pernah begitu sengit terjadi antara dua tokoh karib yang menulis versi sejarah masing-masing. Mangaraja Onggang Parlindungan pada tahun 1964 dengan judul Tuanku Rao (Penerbit Tandjung Harapan). Dalam rentang waktu yang lama, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) melayangkan sanggahan-sanggahannya yang lalu dikumpulkan dalam satu buku utuh berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Terbit pertama kali pada 1974, karangan Buya Hamka mencoba memberikan data-data yang akurat seputar Tuanku Rao dan hubungannya dengan Perang Paderi. Berbeda dengan karangan Parlindungan yang hanya mengambil dari satu sumber (karangan kakek beliau keturunan Tuanku Lelo, salah satu tokoh dalam Perang Paderi), Buya Hamka memadukan sumber-sumber berbahasa Arab, Melayu dan Belanda.

Hamka menuturkan, pertama kali membaca buku Tuanku Rao kiriman muridnya Sofjan Tandjung semasa masih dalam penjara. Buku yang “tebal, istimewa dan menarik”  itu ditelaahnya dengan seksama. Lantas, setelah keluar dari penjara di tahun 1966, ia secara berkala menulis sanggahan-sanggahan terhadap buku tersebut di harian Haluan antara tahun 1969 dan 1970. Bersama beberapa tulisan lepas lainnya, begitulah Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao diterbitkan.

Baca juga:   Prajurit  Estri Mangkunegaran  

Tulisan-tulisan Hamka dimaksudkan untuk membantah berbagai keterangan MO Parlindungan berkenaan dengan sejarah Islam di Pulau Sumatera, terutama yang bersangkut paut dengan Perang Paderi. Menurutnya, data-data yang dituliskan MO Parlindungan, setalah ia baca berbulan-bulan, berkesimpulan “80 persen dari isi buku itu tidak benar, sisanya meragukan.”

Bagi Hamka, fokus utama buku MO Parlindungan bukanlah tentang Tuanku Rao. Buku itu sangatlah sedikit menjelaskan tentang Tuanku Rao. Datanya dipertanyakan. Sebab, hampir sebagian besar karangan-karangan pada masa itu berbahasa Arab dan belum ada penerjemahan ke dalam Bahasa Melayu. Menurut Hamka yang tahu betul sosok Parlindungan, ia tak paham Bahasa Arab (hal. 59 dan 75). Sehingga, buku tersebut, bagi Hamka, layaknya dongeng 1001 Malam (hal. 100); Parlindungan tidak lain adalah tukang kaba, tukang dongeng (hal. 108).

Mengenai asal-usul, Hamka membantah penuturan Parlindungan yang tak berdalil bahwa Tuanku Rao berasal dari Bakkara, Batak. Mengutip J.B. Neumann yang menerima dari Residen T.J. Willer, Hamka bersikukuh bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi (hal. 239). Setali dengan pendapat Asrul Sani (hal. 240).

Sanggahan utama Hamka adalah sekitar Perang Paderi. Secara mendalam, Hamka meluruskan pandangan-pandangan Parlindungan di dalam 16 bab. Selain fakta-fakta sejarah, Hamka juga fokus pada nama-nama yang dituturkan Parlindungan.

Baca juga:  Kemerdekaan Bangsa Indonesia Berkiblat pada Peristiwa Hijrah Nabi saw

Bagi Hamka, adalah sebuah dongeng belaka ketika Tuanku Tambusi bertemu dengan Raja Saud yang sedang dalam masa pengasingan di Hadramaut; lantas ia diwarisi pedang kerajaan (Bab III). Ali Alamsyah, yang dikatakan Parlindungan meminta bantuan Inggris untuk menduduki Andalas yang “berpaham mazhab Hanbali dan musuh terbesar Inggris.”

Dari penelusuran Hamka, Ali Alamsyah tidak pernah ada dalam sejarah Sumatera (Bab VI). Begitu juga dengan Syaikh Burhanuddin dari Aceh (Bab VII). Parlindungan juga melakukan kesalahan yang fatal ketika merunut silsilah keluarga Nabi Muhammad yang berdiam di Sumatera (Bab X).

Sementara tentang pertarungan aliran keagamaan, sangat janggal bagi Hamka ketika Parlindungan mengatakan bahwa mazhab Syiah memiliki pengikut yang besar di Minangkabau, dan bahwa masyarakat-masyarakat pedesaan yang tak buta huruf bermazhab Syiah. Bagi Hamka, sesuai catatan Belanda, Syiah memang pernah ada bahkan sebelum penyebaran paham Syafi’i di Minangkabau, namun sedikit. Sementara masyarakat buta huruf di pedesaan bukan Syiah, tetapi tidak bermazhab (Bab V).

Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao sedikit banyak membuka cakrawala sejarah tentang Tuan Rao dan Perang Paderi secara umum. Di sisi lain, tentu, seperti kata Nietzsche, “Tak ada yang fakta, yang ada hanyalah tafsir.” Demikianlah kita perlu terus menelusuri sejarah demi tafsir-tafsir yang sesuai dengan konteks kekinian. Bukan hanya menerbitkan ulang yang telah ada.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
6
Senang
4
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top