Miftah, seorang pendakwah agama yang kemudian diangkat menjadi utusan khusus Presiden Prabowo, akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Momentumnya hadir ketika ia diduga menghina dan mengumpat seorang penjual teh dalam sebuah acara keagamaan yang viral di media sosial.
Secara konvensional, hal ini tidak etis disampaikan di ruang publik, terlebih dalam konteks sosial keagamaan. Terlebih dengan kedudukannya sebagai orang yang dihormati dalam bidang keagamaan sekaligus mempunyai kedudukan dalam dunia politik di negara multikultural yang memiliki pengalaman panjang mengenai isu SARA yang kerap konfliktual ini.
Persoalan ini melahirkan diskusi panjang setelah memunculkan lebih banyak video di waktu sebelumnya ketika Miftah diduga juga melontarkan diksi dalam humor yang dianggap melecehkan banyak pihak, terutama perempuan. Publik meradang, opini masyarakat terbentuk hingga membuat Miftah mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Humor
Sebagai bagian dari kehidupan manusia, humor memang telah ada selama berabad-abad. Khoirul Maqin (2019) mengutip McGraw & Warner (2014) menyebut “Plato dan Aristoteles merenungkan makna komedi sambil meletakkan dasar-dasar filsafat Barat. Darwin mencari benih tawa dalam tangisan gembira simpanse yang menggelitik. Freud mencari motivasi yang mendasari lelucon di celah alam bawah sadar kita.”
Sebagai respon instingtif manusia, humor lebih dari sekadar tarikan fisiologis otot wajah dalam tawa. Humor dapat digunakan dalam berbagai cara dan untuk berbagai tujuan, yang bahkan mungkin bertentangan, tergantung pada tujuan seseorang. Seperti komedi yang mengolok-olok tubuh atau kedunguan disengaja. Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Hobbes yang menyebut bahwa humor jadi mengolok-olok yang lemah dan menonjolkan superioritas (Maqin, 2019).
Humor semacam ini yang banyak muncul di sekitar kita, dan justru menjadi kesenangan (sebagian besar) banyak orang. Hal ini, sedikit banyak dikarenakan, dan pada akhirnya juga membentuk, selera estetis masyarakat kita.
Nurrochman (2018) menyitir pandangan Bourdieu, selera estetis pada dasarnya merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dalam ruang sejarah yang konkret. Apa yang menurut orang pantas dibaca, dilihat atau diapresiasi, tidak semata merujuk pada rasionalitas murni alias tanpa kepentingan. Selera, dibentuk oleh latar belakang pendidikan, tingkat ekonomi dan kesadaran sosial seseorang.
Lebih lanjut dikatakan, di masyarakat yang tingkat melek pendidikannya rendah, ditambah tingkat kesejahteraan ekonominya buruk, jenis komedi yang berkembang pun umumnya tidak variatif alias sewarna. Model lawakan slaptick yang tidak butuh banyak berpikir untuk bisa tertawa kemudian menjadi primadona. Saling dorong hingga jatuh, melumuri wajah dengan tepung, menggunakan kondisi tubuh, logat atau dialek sebagai bahan yang lucu, pantas ditertawakan dan menghibur. Hal inilah yang terjadi dalam konteks Indonesia.
Tugas
Masalahnya, sebagai agamawan, Miftah mempunyai tugas utama menyampaikan pesan moral yang berlandaskan etika agama. Islam jelas menekankan pentingnya husnudzon (prasangka baik) dan menjaga lisan dari kata-kata yang menyakitkan. Dalam etika agama, seorang pemuka agama dituntut memiliki adab dan akhlak yang bisa menjadi teladan moral, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Umpatan dan penghinaan, meskipun dalam humor ataupun dalam konteks tertentu lainnya, dapat melanggar prinsip ini.
Lebih luas, dalam konteks dakwah di negara ini, jika tujuan Miftah adalah mendorong multikulturalisme, maka ia jelas perlu menggunakan pendekatan yang lebih persuasif dan memperhatikan kepekaan emosi serta sensitivitas audiensnya. Dan bukan olokan, cemoohan apalagi umpatan bagi siapapun itu. Terlebih sebagai utusan khusus Presiden, Miftah mempunyai tanggung jawab simbolik sebagai representasi negara dalam memajukan nilai-nilai kebangsaan, seperti multikulturalisme dan keadilan sosial. Tindakan yang dinilai mencederai martabat rakyat jelata berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka.
Seorang tokoh politik yang hendak melontarkan guyonan semestinya tidak hanya mumpuni dalam menciptakan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor, juga paham teori-teori humor dari perspektif psikologi, sosiologi, antropologi, taksonomi, sampai politik. Humor itu serius karena ia juga mengandung proses penciptaan karya, pesan moral yang ingin disampaikan, dan kedudukannya yang sejajar dengan seni (sastra dan teater) (Tri Agus Susanto, 2020). Hal ini memproyeksikan kepekaan, kedewasaan dan kecerdasan politik seseorang.
Filsafat politik juga mengajarkan bahwa kepemimpinan tidak hanya melibatkan kekuasaan tetapi juga tanggung jawab moral terhadap rakyat, terutama kelompok marjinal. Jika ucapan atau tindakan seorang pemimpin tidak menghormati martabat rakyat, ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjadikan rakyat sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan.
Ucapan atau tindakan yang menghina rakyat bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menuntut penghormatan terhadap martabat manusia. Juga, yang dilakukan Miftah membuktikan ketimpangan dalam cara memperlakukan rakyat dan kelompok elit menjadi kritik mendasar terhadap praktik keadilan sosial yang seharusnya diterapkan secara merata. Kesemuanya itu dilakukan dengan metode yang meminimalkan kontaminasi sosial.
Media Sosial
Dengan begitu banyaknya seseorang yang bukan siapa-siapa tapi bisa menjadi “seseorang” di masa di mana media sosial menjadi ujung tombak komunikasi dan interaksi ini, maka Miftah (barangkali) adalah kita.
Miftah menggunakan media sosial sebagai platform utama untuk menyampaikan pandangan agama yang inklusif, progresif, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Melalui media sosial, Miftah membangun narasi yang menyentuh hati masyarakat, terutama generasi muda yang mencari pemahaman agama yang lebih kontekstual. Tidak lagi terbatas pada mimbar fisik, media sosial memberikan panggung global di mana ia dapat menjangkau audiens yang jauh lebih luas, termasuk kemudian menjadikannya bagian dari politik pemerintahan.
Kisah Miftah menjelaskan pelajaran bahwa teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Media sosial memang menyediakan memberikan panggung, tetapi substansi tetap menjadi inti. Keberhasilan seseorang tidak hanya diukur dari popularitas, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat. Pengaruh besar akan diikuti pula dengan tanggung jawab besar.
Seorang tokoh harus mampu menjaga integritas moral dan sosialnya di tengah sorotan publik, terutama dalam menjaga keseimbangan antara popularitas, nilai, dan tanggung jawab. Di era media sosial yang serba cepat, kisah seperti Miftah adalah pengingat bahwa keberhasilan sejati bukan hanya tentang menjadi dikenal, tetapi juga tentang memberikan dampak yang bermakna bagi masyarakat.
Karena Miftah bukanlah komedian, komika yang memancing tawa pendengarnya saat open mic, tapi dengan guyonan yang slapstick, banal, tidak mencerdaskan bahkan menyinggung perasaan. Seorang tokoh masyarakat adalah mereka yang membuat pendengarnya tertawa bahagia dengan pengetahuan dan kebahagiaan yang kontekstual, aplikatif dan berguna-bermanfaat bagi semua.