Sebuah replika kotak cantik nan menawan terlihat apik di salah satu kaca eksibisi museum Madinat Zahra. Museum ini tak kurang dari lima kilometer jaraknya dari situs utama istana yang masyhur atas kemegahan dan kesempurnaan-nya itu. Sebelum melangkah lebih jauh lagi ke atas bukit tandus dimana puing-puing istana Zahra berdiri, saya harus berhenti sejenak untuk melihat puluhan artefak-artefak abad 9 yang ditemukan di dalam reruntuhan istana Madinat Zahra.
Perhatian saya tertuju pada replika kotak berwarna emas dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Tertulis di bawahnya, “Replica of Little Box for Wallada”. Replika yang asli tersimpan di el Instituto Valencia de Don Juan. Nama Wallada kian menyeruak, mengingatkan saya akan sebuah kisah asmara dan percintaan sepasang kekasih yang juga masyhur dalam kisah juga legenda masyarakat Andalusia. Ia, mengingatkan saya akan gelora cinta Wallada kepada Ibnu Zaydun yang terbungkus apik dalam sya’ir-sya’ir klasik yang salah satunya dicatat oleh Abu Al-Faraj Al-Isbahani dalam nomenklaturnya Kitab Al- Aghani dan Kitab Al-Ima wa Al-Sawa’ir (Book of Slave Women Poets).
Aku, demi Tuhan, layak untuk posisi yang begitu tinggi
Aku berjalan kearahku, Aku melangkah dengan bangga
Aku relakan kekasihku menikmati pipiku
Dan dia yang begitu menginginkan ciumanku
Dengan senang hati kan kuserahkan
Petikan sya’ir diatas ditulis oleh seorang putri kenamaan Andalusia, Wallada Bint Al Mustakfi atau Wallada Al Marwaniyah. Ia dikenal sebagai seorang penyair kenamaan Cordoba, sekaligus putri seorang Khalifah al-Mustakfi Billah. Kemasyhuran-nya dikenal hingga seantero Andalusia. Tak hanya perangainya yang rupawan, kepiawaian dan kelihaian Wallada dalam menciptakan dan melanturkan sya’ir sanggup menyihir siapapun yang ada di hadapan-nya.
Sederetan karya sastra Wallada tersimpan dalam beberapa literatur Arab kenamaan, salah satunya seperti yang ditulis oleh Ibnu Bassam dalam Kitab Al-Dakhira. Dalam Diwan (antologi) Wallada, ada sekitar sepuluh sya’ir yang dapat terkumpul dan selamat hingga saat ini. Kesemuanya punya cerita. Tentang kekasih, patah hati, kebanggaan atas tubuh dan dirinya, ketidaksetiaan, hasrat cinta, dan kebebasan.
Beberapa syairnya juga dianggap mendobrak tatanan sosial bagi perempuan Muslim saat itu, karena ia bangga atas tubuhnya, dirinya, juga pikirannya. Wallada dinilai mampu memerdekakan dirinya dari segala bayang-bayang patriarkh atas tubuhnya, juga pikirannya berdasarkan syair yang ia tulis. Pun, perangainya di publik. Kisah cinta yang rumit nan romantis dengan Ibnu Zaydun melegenda bahkan hingga saat ini. Sya’ir-syair Wallada dianggap cukup mampu melawan stigma perempuan Muslim saat itu, apalagi dia merupakan seorang putri khalifah Cordoba.
Petikan sya’ir lainnya yang penuh sarkastik dan vulgar ditujukan kepada Ibn Zaydun. Wallada menyebutnya sebagai pria berwajah enam atau musaddas, juga memanggilnya sebagai seorang homosexual, seorang yang lemah, pencuri dan tidak setia.
Syair ini lahir bukan tanpa sebab. Sajak-sajak Wallada yang penuh kebencian kepada Ibnu Zaydun dituliskan karena Ibnu Zaydun memiliki hubungan dengan budak wanita Wallada, bernama ‘Utba, yang dikenal pandai bernyanyi. Terlepas dari syairnya yang sarkastik, ia tetaplah mencintai Ibnu Zaydun sepenuh hati, seumur hidup. Bahkan ia rela untuk tidak menikah sampai di akhir umurnya. Begitu juga, Ibnu Zaydun.
“Your nickname is musaddas or the man with six faces.
It is a name which never will leave you, even when life leaves you.
You are a homosexual, a weak person, a whoremonger, an insignificant person, a cuckold and a thief.”
“Because of his love for the rods in the trousers, Ibn Zaydun, in spite of his excellence.
If he would see a penis in a palm tree, he would belong to the birds called ababil.”
***
From Al-Zahra I remember you with passion
The horizon is clear, the earth’s face serene
The breeze grows faint with the coming of dawn
It seems to pity me and lingers full of tenderness
In times gone by we demanded of each other
Payments of pure love and were happy as colts running free in a pasture
But now I am the only one who can boast of being loyal
You left me, and I stay here, still sad, still loving you
***
Maria Segol, seorang peneliti karya sastra perempuan Arab abad pertengahan, menganggap puisi-puisi Wallada merefleksikan pengalaman dalam kehidupan pribadinya, juga kondisi perempuan pada umumnya saat itu. Ia mengekspresikan laku bebasnya sebagai individu yang merdeka, peran sosial, dan juga posisinya dalam ruang publik. Dengan kata lain, kita bisa mendengarkan suaranya sendiri, dalam berbagai hal.
Bahkan, dalam beberapa catatan sejarah, Wallada kerap menanggalkan kerudungnya ketika bepergian di tempat ramai. Hal ini dianggap bertentangan dengan norma sosial agama ketika itu. Beruntung, ia hidup di bumi Andalusia yang terkenal akan pluralitas masyarakatnya, yang jauh berbeda dengan kondisi kekhalifahan lain khususnya di semenanjung Arabia. Ia bangga atas warna kulitnya yang cerah, mata biru, hingga rambut pirang yang menjuntai indah dan mampu menggoda siapapun yang melihatnya. Ia, adalah pujaan bagi lelaki Cordoba.
Syair dengan genre romansa ini dianggap penting ketika itu, terlebih penulisnya adalah seorang perempuan. Artinya, kekuasaan dan kendali atas tubuh dan diri sepenuhnya berada di tangan sang penyair, Wallada. Hal ini juga didukung dengan kekayaan literatur, filsafat serta ketajaman argumen yang dikuasai Wallada.
Kisah romansa antara Wallada dan Ibnu Zaydun saat ini diabadikan dalam bentuk patung tangan yang sedang berjabat erat di sebuah Plaza El Campo Santo de los Martires, tepat di jantung kota Cordoba. Masyarakat Andalusia menyebutnya sebagai ‘The Lovers”.