Sedang Membaca
Syafaat Para Syuhada
Avatar
Penulis Kolom

Nama lengkapnya M. Mario Hikmat Anshari, almnus FKM UNHAS

Syafaat Para Syuhada

Kematian itu hanya stasiun. Bukan akhir lawatan. Hanya tempat persingghan. Orang yang mati tak niscaya lenyap. Manusia yang mati syahid umpama, waima jasadnya tertimbun tanah, sesungguhnya tetap hidup. Hal ini diyakini beberapa para penganut agama samawi, termasuk Islam.

Kepercayaan masyarakat itu, tidak berdasar imaji kosong atau kisah-kisah mitos yang tak jelas alas pikirnya. Masyarakat muslim bersandar pada kitab suci. Alquran surah al-Baqaroh 154 dan Ali Imran 169 dijadikan pijakan. Tuhan suatu kali berfirman:

“Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Dalam ayat tersebut, orang-orang yang gugur di jalan Allah itu berjihad. Namun, maksud jihad di sini tidak sempit. Ia boleh bermakna melawan hawa nafsu dan tak melulu perang. Jihad yang oleh Rasulullah, dianggap lebih sukar dan besar daripada sekadar turun di medan pertempuran. Dan mereka yang berjihad itu syahid dan tetap “hidup”.

Ganjaran syahid hanya didapat oleh orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri dengan Allah. Para syuhada itu kekasih Tuhan. Mereka dekat. Mereka berkomunikasi dengan hangat. Keakraban berbuah berkah. Rajin bermesraan dengan Tuhan mampu menjadikan mereka sebagai perantara bagi diijabahnya doa. Namun, mereka telah beranjak dari penatnya aktivitas di dunia.

Di Nusantara, dalam catatan para sejarawan, tradisi berperantara pada almarhum tokoh agama itu populer sejak awal masuknya Islam. Kebiasaan masyarakat melakukan ziarah, tawasul, tahlilan dan semacamanya, bukan sebentuk laku syirik.

Para wali, atau ulama, atau kekasih Tuhan, tidak disembah dan dituhankan. Akan tetapi, karena para tokoh itu erat dengan Allah dan Rasulnya, masyarakat menjadikan mereka, yang meski sudah hidup di alam berbeda, sebagai penghubung agar doanya diterima.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (14): Debat Ayat-Ayat Mutasyabihat

Sekitar abad 13, syair pujian berkisah kehidupan Nabi Muhammad semisal Burdah karya al-Bushri, begitu diminati masyarakat di Nusantara.

Begitu pula, teks-teks ihwal kelahiran Nabi anggitan Ibnu al-Dayba’I (1461-1537) dan Ja’far al-Barzanji (1690-1764). Tidak sedikit orang-orang meyakini sang Nabi akan turut hadir memberi karunia, di tempat saat teks-teks itu dibacakan. Dari pemahaman itu, muncul spirit yang kudus. Juga semacam pengalaman mistis, mungkin serupa ekstase, kala para pendengar ikut hanyut melantunkan syair-syair pujian.

Di Aceh, pada pertengahan era 1500-an, ketika kolonial saling unjuk kekuatan, ada satu kebiasaan orang-orang di Kerajaan Samudera Pasai sesaat sebelum berperang menghadapi serangan Portugis. Pasukan kerajaan meminta dibacakan Hikayat Muhammad Hanafiyya, kisah putra Ali bin Abu Thalib yang tangguh dalam berperang dan syahid.

Pasukan itu merasa ada spirit lebih besar setelah menyimak Hikayat Muhammad Hanafiyya. Keberanian jadi bertambah. Kekuatan berlipat ganda. Mereka percaya, mesti tak kasat mata, berkah dan syafaat sang tokoh turut eksis saat pertempuran melawan penjajah. Dengan begitu, daya juang prajurit perang pun terpantik makin menyala.

Syafaat para Nabi, wali, atau para syuhada, bisa muncul sebab sanggupnya mereka menyerap cahaya mulia ilahiah. Kecintaan pada sang Khalik dan Nabi Muhammad, kesabaran melakukan sunnah dan zikir, lalu kelapangan akhlak, membuat kesucian tersebar pada diri mereka. Argumentasi itu terlacak di kitab Majmua’ah Risalah al-Ghazali anggitan Imam Ghazali.

Baca juga:  Ngalap Berkah: Orang Madura dan “Sanad” Mobil Bekas

Kontroversi karamah orang-orang suci yang telah beranjak dari dunia fisis, yang sempat tak bisa dipercayai oleh kalangan masyarakat awam, dijelaskan Al-Ghazali dengan retorika nan rapi.

Ia membeberkan jika ada aspek non-material dari semesta yang sulit terjamah filsafat dan logika ilmiah. Jernihnya pemahaman tentang berkah para syuhada, kata al-Ghazali, selalu terhijabi oleh kedangkalan pikiran dan miskinnya pengalaman ilahiah. Jika semuanya mampu diterangkan dengan akal sehat, keberimanan jadi tak lagi memancarkan pesona.

Semua orang memang akan mati. Tetapi, tak semuanya bisa memberi syafaat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top