Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang melimpah dengan beragam pilihan cita rasa. Salah satunya adalah cita rasa pedas yang banyak dijumpai di pelbagai hidangan khas daerah, dari Sabang sampai Merauke. Sentuhan rasa pedas itu sendiri berasal dari penggunakaan cabai, lada, atau rempah khas lainnya.
Baru-baru ini (1/11/2022), CNN merilis daftar 20 kuliner pedas terbaik di dunia, dan dua di antaranya yang masuk ke dalam daftar tersebut berasal dari Indonesia, yaitu rendang sapi khas Minang dan ayam betutu khas Bali—keduanya memang telah lama diakui oleh dunia. Selain dari Indonesia, dalam daftar tersebut juga terdapat beragam kuliner dari banyak negara; seperti Nigeria, China, Thailand, Jamaika, Amerika Serikat, Meksiko, dan Korea Selatan.
Masuknya dua kuliner Indonesia tersebut semakin membuktikan posisi Indonesia yang memang sangat diperhitungkan di kancah perkulineran dunia. Rendang, masakan khas Minang, bahkan secara khusus pernah dinobatkan sebagai masakan terlezat dunia (The word’s most delectable food), juga versi CNN.
Ayam betutu, masakan khas Bali, juga sangat istimewa. Mendiang Bondan Winarno memasukkan kuliner khas Bali itu dalam daftar 100 mak nyus makanan tradisional Indonesia dalam bukunya dengan judul yang sama tahun 2013. Hanya saja, Bondan Winarno lebih memilih bebek betutu ketimbang ayam betutu.
Bahkan dalam bukunya yang lain, yang berjudul 100 Mak Nyus Bali (2015), Bondan Winarno menyatakan bahwa dari perspektif kuliner halal, ia menominasikan bebek betutu sebagai ikon kuliner andalan Bali. Cara masaknya yang unik, serta cita rasanya yang lezat, membuatnya memenuhi syarat untuk menjadi suguhan andalan kebanggaan Pulau Dewata.
Be Tutu dalam Khazanah Kuliner Bali
Dalam khazanah kuliner Bali, nama ayam betutu atau bebek betutu sebenarnya cukup disebut betutu atau be tutu saja. Disebut ayam betutu atau bebek betutu karena merujuk pada jenis protein hewani yang dipilih, ayam atau bebek. Secara harfiah, betutu berasal dari kata be dan tunu. Be artinya daging dan tunu (tutu) artinya bakar, atau dibakar menggunakan bara api.
Nanik Mirna Agung dalam buku Pawon Bali, 60 Resep Masakan Khas Bali Pilihan (2010) memasukkan be tutu (dengan penulisan be dan tutu dipisah) sebagai salah satu masakan khas Bali. Ia menyebutkan, be tutu adalah makanan yang sangat terkenal di Bali hingga mancanegara. Harganya terjangkau, kecuali bila masakan ini dibuat di hotel. Be tutu bisa terbuat dari ayam atau bebek. Sejak dulu, be tutu yang terkenal akan kenikmatannya berasal dari Ubud dan Peliatan, Kabupaten Gianyar.
Be tutu dibuat benar-benar secara tradisional. Ayam yang telah dibumbui dimasukkan ke dalam bara sekam padi berjam-jam, sehingga dagingnya terlepas dari tulangnya. Di Puri Gianyar, Bali, dahulu pembuatan be tutu berlangsung 3 hari.
Ayam atau bebek yang telah dibumbui, dibungkus daun pelepah pohon pinang. Kemudian dimasukkan ke dalam tanah dan di atas tanah diberi sekam. Be tutu dibiarkan dalam sekam selama 3 hari. Untuk mendapatkan be tutu yang bagus dan empuk, direkomendasikan memakai ayam atau bebek yang baru beranjak dewasa.
Masakan betutu versi Gianyar ini memang dianggap sebagai yang paling mainstream, paling lezat dan enak. Karena selain proses pembuatannya lebih sulit, juga bumbunya lebih komplet. Bumbu yang melumuri ayam atau bebek dalam betutu disebut bumbu genap besar.
Dalam tradisi kuliner Bali memang mengenal jenis-jenis bumbu, meliput:i bumbu genap besar, bumbu genap kecil, wewangen, dan bumbu kele 1. Bumbu yang digunakan untuk bahan membuat betutu adalah bumbu genap besar. Bumbu genap besar sendiri merupakan campuran dari bumbu genap kecil ditambah dengan bumbu wewangen.
Bumbunya meliputi: kunyit, laos, jahe, kencur, cabai merah besar, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, kemiri, terasi, merica hitam, tabia bun, garam, daun salam, dan minyak kelapa. Cara membuatnya, bumbu-bumbu ini dihaluskan dan ditambahkan dengan bumbu wewangen, tumis hingga matang.
Untuk membuat bumbu wewangen sendiri menggunakan bahan meliputi: merica hitam, merica putih, cengkeh, pala, tabia bun, ketumbar, kemiri, menyan, jangu, bangle, dan kulit jeruk purut. Cara membuatnya, semua bahan diulek halus, kemudian ditumis hingga aromanya keluar.
Bumbu yang sangat beragam dan kompleks itu, logis bila menghasilkan masakan ayam/bebek betutu yang tidak saja sangat lezat, namun juga menguarkan aroma yang sangat khas.
Hanya saja, menurut Bondan Winarno (2013), sekarang sudah semakin sedikit orang yang masih membuat ayam/bebek betutu dengan cara ditimbun di dalam bara sekam padi. Banyak pula yang tidak lagi menggunakan upih—pelepah pinang, tetapi membungkusnya dengan aluminium foil, dan memasaknya di dalam oven. Hasilnya adalah ayam/bebek betutu yang empuk dan harum, namun tidak memunculkan aroma asap yang membuat ayam/bebek betutu sangat khas.
Masih menurut Bondan Winarno, selain betutu versi Gianyar, juga populer betutu versi Gilimanuk yang lebih sederhana pembuatannya namun rasanya sangat pedas. Betutu ini juga lazim disebut Betutu Lalah alias betutu pedas. Beberapa tahun belakangan juga muncul versi betutu baru yang disebut Betutu Liku dari Denpasar. Betutu versi ini adalah betutu kreasi baru dengan bumbu-bumbu mirip Gianyar, tetapi lebih sederhana bumbu maupun pembuatannya.
Melacak Ayam dan Bebek dalam Tradisi Kuliner Bali
Dalam konteks budaya Bali, makanan secara khusus tidak dapat dipisahkan dengan ritual keagamaan. Bagi masyarakat Hindu Bali, makanan adalah elemen penghubung antara manusia dan para dewa. Berbagai jenis makanan tidak terlepas fungsinya sebagai hidangan dan persembahan.
Kruger (2014) bahkan membagi fungsi makanan menurut kepercayaan Hindu sebagai kebutuhan dasar manusia, persembahan kepada dewa dan kala, dan komponen penting dalam setiap ritual keagamaan. Kruger menjelaskannya sebagai berikut:
“Tounderstand Bali’s cuisine, one must apppreciate the tripartite role of the food as vitas human sustenance, sacrificial offering to both respect Gods and appease to demons, and essential ritual component of Bali Hindu religious ceremonies.”
Penggunakan ayam dan bebek untuk betutu juga tidak bisa dilepaskan dari konteks historis olahan kuliner Bali yang berbahan dasar unggas, baik sebagai hidanngan maupun persembahan. I Nyoman Darma Putra, dkk dalam buku berjudul Wisata Gastronomi Ubud-Gianyar (2018) menyebutkan, sejarah ayam dan bebek atau unggas sebagai hidangan telah dikenal sejak zaman Kerajaan Bali Kuno. Jenis unggas ini telah menjadi salah satu komoditi yang dipasarkan pada masa itu.
Dalam prasasti Serai AII IV.1 disebutkan, para pejabat kerajaan yang sedang berkunjung diberikan hidangan ayam. Hal ini menunjukkan pada masa Kerajaan Bali Kuno bahkan ayam menjadi hidangan berharga yang diberikan kepada para pejabat kerajaan.
Selain sebagai sajian kuliner, ayam dan bebek juga menjadi sajian penting dalam upacara keagamaan di Bali. Dalam Lontar Darma Caruban disebutkan bahwa ayam atau bebek betutu yang digunakan dalam sarana upacara merupakaan wujud permohonan kesucian dan dharma ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Betutu yang diolah dari ayam atau bebek yang telah dibersihkan dan diberi bumbu, kemudian kepalanya dimasukkan ke dalam rongga perut, kedua kakinya ditekuk ke arah perut dan ditutup oleh sayapnya baru diikat, untuk kemudian direbus atau dipanggang. Bentuk ayam/bebek betutu yang telah diikat ini terlihat seperti sikap Sang Hyang Ganapati yang sedang beryoga. Bentuk ayam/bebek betutu inilah yang memberikan makna atau simbol dari dharma atau kesucian.
Berbeda halnya dengan olahan betutu, daging unggas yang dipanggang memiliki makna yang berbeda sebagai sarana upacara. Dengan bentuk dipanggang, di mana kaki ayam atau bebek memiliki posisi kaki yang mengangkang yang diilustrasikan sebagai Dewi Dhurga, sehingga sarana upacara dengan olahan unggas yang dipanggang memiliki makna permohonan akan kesidian (kepintaran) dan kesaktian ke hadapan Sanng Hyang Widhi.
Dari sajian upacara, kini ayam dan bebek betutu telah menjadi hidangan yang memperkaya khazanah kuliner khas Bali dan menjadi salah satu andalan destinasi wisata kuliner Bali, khususnya di wilayah Ubud dan sekitarnya.