Bencana kebakaran hutan baru-baru ini mungkin memunculkan rasa penasaran sebagian orang. Bagaimana Islam memandang fenomena kebakaran hutan tersebut? Lebih jauh ada pertanyaan, ppakah Islam memerintahkan misalnya, menetapkan wilayah cagar alam, konservasi hutan misalnya?
Tentunya, jawaban dari pertanyaan ini dapat sedikit banyak berpengaruh pada tindak lanjut dari keprihatinan penduduk Indonesia, atas bencana kebakaran tersebut. Terutama bagi umat muslim.
Fachruddin M. Mangun Wijaya dalam buku berjudul Konservasi Alam Dalam Islam melakukan penggalian tentang khazanah konservasi alam dalam Islam. Hasilnya, ia menemukan fakta tentang Hima’, yaitu sebuah istilah yang beliau definisikan sebagai kawasan yang khusus dilindungi guna melestarikan kehidupan liar serta hutan. Fachruddin menyatakan:
“Hima’ adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah (imam negara atau khalifah) atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar serta hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Nabi melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestariannya. (Fachruddin, 2005)”
Menurut Fachruddin, kepemilikan hima’ adalah kepemilikan umum, bukan pribadi. Hal ini ditunjukkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ
“Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan rasul-nya.”
Dalam hadis lain, Nabi suatu kali pernah mendaki sebuah gunung di sekitar Madinah dan bersabda: “Ini adalah lahan yang aku lindungi” sembari memberi isyarat ke lembah. Fachruddin mengutip Dutton, lahan yang dilindungi Nabi seluas 2049 ha, dan digunakan untuk tempat kuda-kuda perang kaum Muhajirin serta Anshar.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari; Syarah Sahih Bukhari mengungkapkan bahwa Hima’ dahulu kala berasal dari tradisi pemimpin Arab yang membawa anjing mereka, kemudian menganggap tanah sejauh gonggongan anjing tersebut sebagai tanah khusus milik mereka. Rupanya tradisi tersebut kemudian diakomodir dalam ajaran Islam.
Islam kemudian mengalihkan tradisi hima’ dari kepemilikan pribadi ke pemilikan umum dan mengalihkan penggunaanya kepada kepentingan umum sesuai arahan dari seorang pemimpin. Selain oleh Nabi Muhammad, khazanah hima’ juga dapat ditemukan di zaman para khalifah setelah beliau. Hima’ salah satunya dipergunakan untuk mengelolaan hewan yang berstatus harta sedekah.
Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah dinyatakan bahwa fikih Islam mendefinisikan bahwa hima’ adalah seorang pemimpin membatasi akses pada suatu tempat, yang tidak menyebakan masyarakat memperoleh kesulitan, demi kepentingan umum seperti pengelolaan harta sedekah maupun kuda yang dipergunakan untuk kendaraan. Berdasar fakta bagaimana para khalifah setelah Nabi juga menetapkan kawasan tertentu sebagai hima’, mayoritas ulama menyatakan bahwa pemimpin selain Nabi Muhammad pun bisa menetapkan suatu tempat sebagai hima’.
Hima’ dapat diputuskan berdasarkan beberapa syarat: 1) Diputuskan seorang pemimpin atau penggantinya; 2) Digunakan untuk kemaslahatan umum; 3) Kawasan yang dijadikan hima’ bukan milik perseorangan; 4) Tidak berdampak penyempitan lahan pada masyarakat. Fikih juga mengatur bahwa pemanfaatan kawasan hima’ secara ilegal oleh individual dapat mengakibatkan ia memperoleh hukuman.
Apa yang disimpulkan oleh Fachruddin dalam bukunya merupakan pengembangan dari konsep Hima’ dalam Islam. Memang benar khazanah kitab klasik berbicara tentang hima’ hanya seputar semacam sebagai pengelolaan hewan berstatus harta shadaqah. Namun, prinsip kemaslahatan tentunya dapat memperlebar kebutuhan penunjukkan pemerintah atas suatu kawasan sebagai hima’, berdasar pertimbangan yang mungkin tidak terpikirkan di zaman lampau, seperti pelestarian hewan langka, kebutuhan oksigen, dan semacamnya.