Jeff Bezos bosan bila cuma pelesiran di muka Bumi. Ia memilih piknik jauh. Dunia mendengar sesumbar Jeff Bezos piknik dengan duit berlimpahan agar bisa meninggalkan Bumi. Piknik paling “membahagiakan” bagi orang-orang ingin takjub. Jeff Bezos itu turis agung. Dulu, kita mengenali mula-mula sebagai pedagang buku. Ia tentu bukan pedagang buku seperti di Pasar Senen, Kwitang, Blog M, Pasar Johar, Gladag, dan sekian tempat penjualan buku bekas di Indonesia. Ia pun berbeda dari Haji Masagung pernah membesarkan toko buku Gunung Agung.
Pada 1995, Jeff Bezos dan Kaphan membuat pengumuman sudah mengandung kesombongan. Dua tokoh itu “mengirimkan tautan ke situs web beta mereka kepada sejumlah teman, anggota keluarga, dan bekas teman kerja.” Kerja membutuhkan berani tanpa malu. Pengumuman di situ: “Sejuta judul, dengan harga yang selalu murah.” Orang-orang tak menduga cepat bila situs itu membuat sejarah besar dalam perniagaan buku di dunia.
Kita simak penjelasan dalam buku berjudul The Everything Store: Jeff Bezos dan Era Amazon (2015) garapan Brad Stone : “Situs itu tampaknya tidak menarik bagi orang-orang yang telah terbiasa menjelajah rak-rak buku baik di toko-toko buku maupun perpustakaan.” Hari-hari berganti, mereka ingin dagangan buku laku. Masalah demi masalah bermunculan agar perniagaan buku tak memalukan. Keraguan terjawab. Ulah itu memastikan perubahan perilaku pembeli buku di dunia. Mereka tak perlu ke kios buku atau toko buku. Jeff Bezos pun tak selesai sebagai pedagang buku. Ia terus melaju dalam meraup uang di dunia. Kita terpana saja.
Sultan Khan dalam buku berjudul Saudagar Buku dari Kabul (2005) susunan Asne Seirstad tak pernah bertemu dan berdebat dengan Jeff Bezos. Di Kabul, ia memilih menjadi saudagar buku dengan keberanian. Heorisme tak pernah terpikirkan Jeff Bezos. Orang-orang di Amerika Serikat dan Eropa mengetahui Afghanistan adalah perang. Mereka mungkin meremehkan negara itu memiliki para pembaca buku. Nasib pembaca dipengaruhi heroisme para pedagang buku. Saudagar bernama Sultan Khan menjadi orang menggerakkan sejarah meski tak sekolosal Jeff Bezos dengan Amazon.
Asne Seirstad bercerita kegandrungan saudagar buku. Sultan Khan rajin bepergian untuk berbelanja buku, memenuhi keinginan para pembaca di Kabul. Kita simak: “Lagi-lagi, pasar buku di Teheran-lah yang memikat hatinya. Anak lelaki desa merambah dunia buku di kota metropolitan negeri Persia, dalam lautan buku baru dan bekas, buku antik dan modern, dan menemukan buku-buku yang sama sekali tak pernah diimpikannya.” Ia bertemu para pedagang: bercakap dan bermain harga. Perniagaan itu mungkin dihangatkan dengan minum kopi, merokok, dan tertawa. Cara itu berbeda dari bisnis Jeffe Bezos.
Sultan Khan mengerti buku bisa mengubah sejarah Kabul (Afghanistan) setelah merana akibat sengketa kekuasaan. Ia berharapan orang-orang membaca buku ketimbang sibuk dengan peluru. “Dia membeli berpeti-peti buku puisi Persia, buku seni, buku sejarah, dan – untuk kepentingan bisnisnya – buku ajar teknik,” tulis Asne Seirstad. Lelaki itu membuat sumpah sebagai pedagang buku. Ia sadar peluru belum habis di Kabul. Peluru untuk kematian. Kita boleh mengagumi Sultan Khan ketimbang Jeffe Bezos. Di sana, ia mengerti mati gara-gara perniagaan buku.
Pengisahan mengesankan: “Setelah pulang ke Kabul, dia membuka toko bukunya yang pertama yang masih kecil, di antara kios saudagar rempah-rempah dan penjual kebab di pusat kota.” Sultan Khan memulai berdagang buku pada 1971 saat Afghanistan “masih sempoyongan antara kehidupan modern dan tradisi.” Masa lalu itu terindukan saat Kabul terberitakan sering peluru ketimbang buku. Pada 2021, kita terlalu sulit mendapatkan berita-berita toko buku di Kabul. Di Indonesia saja, berita sering buruk dan sial untuk toko buku: kecil dan besar. Begitu.