Percaya atau tidak, terdapat pengalaman (bisa jadi positif atau negatif) bagi seorang yang entah ia orang biasa, akademisi, bahkan sekelas ulama, jika menolak hingga mengutuk-benci hingga disertai semacam sumpah serapah kepada doktrin tasawuf atau tokoh sufi, akan memperoleh “karma”.
Itulah sebabnya, sebagai bagian dari dinamika hidup, tentu, setiap individu boleh menyatakan setuju atau sebaliknya terhadap suatu perkara, tetapi jangan berlebihan. Kanjeng Nabi Muhammad Saw jauh-jauh hari telah mengingatkan dalam sabdanya,
“Cintailah orang yang kamu cintai itu sedang-sedang saja (haunaman), karena mungkin suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu benci.
Dan bencilah kepada orang yang kamu benci itu sedang-sedang saja, karena suatu saat akan menjadi orang yang kamu cintai” (HR. Tirmidzi).
Berikut ini saya kemukakan beberapa pengalaman seseorang yang sejalan dengan isyarat hadis di atas. Terjadi di dunia tasawuf. Yaitu seorang ulama dan kalangan cerdik pintar, yang semula menjadi pengkritik keras terhadap doktrin kaum sufi, tiba-tiba berbalik arah sebagai pengkaji tasawuf dalam arti positif, bahkan di antara mereka berakhir dengan “taubat sufistik”. Inilah yang saya sebut sebagai “karma sufi”.
Akibat karma sufi
Pertama, dialami oleh Ibnu Taymiyah, ulama tersohor yang seringkali dirujuk menjadi imam mazhab kalangan Wahabi dan kelompok-kelompok Islam lain yang sependapat dengannya.
Di salah satu karyanya yang terkenal, Majmu’at al-Rasa’il wa al-Masa’il, Ibnu Taymiyyah menarik kesimpulan tegas kalau wahdatul wujud adalah penyamaan antara Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “panteisme”.
Namun menurut penilaian Kautsar Azhari Noer (1995), pandangan Ibnu Taymiyyah tersebut sebenarnya jauh dari apa yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi sebagai penganut ajaran wahdatul wujud.
Ibnu Taymiyyah melihat hanya aspek tasybih (kemiripan) dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Ia tidak melihat pada aspek tanzih (ketakdapatdibandingkan) dalam ajaran yang sama. Padahal kedua aspek ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn ‘Arabi, sebagaimana konsep al-batin (Yang Tak Tampak) dan al-dzahir (Yang Tampak).
Karena itu, Ibnu Taymiyyah-lah yang menjadi sumber perusak konsep wahdatul wujud.
Tidak hanya terhadap bangunan struktur pemikiran Ibn ‘Arabi, Ibn Taymiyyah juga menyerang kaum sufi lain yang gagasan-gagasannya sejalan dengan Ibn ‘Arabi, seperti al-Hallaj dengan ungkapannya yang terkenal “Ana al-Haqq”.
Lalu, di manakah unsur karma itu? Ibnu Taymiyah menurut sumber tertentu dikatakan, saat jelang ajal menjemput, ia sempat mengungkapkan kata-kata yang sama dengan ungkapan al-Hallaj, Ana al-Haqq, bukan kalimat la ila ha illallah, sebagimana yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Kedua, HAMKA, tokoh penting di Indonesia dari kalangan Islam modernis. Menurut Sri Mulyati, dosen tasawuf di UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan bahwa Buya HAMKA, di usia senja, ternyata mengikuti tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah dengan berbaiat kepada Abah Anom di pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Memang, ada sebagian kalangan yang meragukan, dan menolak kebenaran tersebut.
“Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian orang Muhammadiyah yang tidak percaya,” kata Sri Mulyati sebagaimana dikutip NU Online (15 Juni 2009).
Mantan Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, HAMKA sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah “Hamka”, tetapi “Hampa”. Bahkan, Ibn Taymiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya antitarekat, ternyata juga secara pribadi mengikuti tarekat.
Ketiga, Yunasril Ali, seorang dosen dan akademisi pengkaji tasawuf. Pada mulanya Yunasril sangat anti terhadap tasawuf yang bercorak falsafi, wujudiyah, terutama dari arah pemikiran Ibn ‘Arabi. Karena menurut Yunasril, ajaran-ajaran sufi telah keluar jauh dari tauhid.
Ia mengakui, konstruk pemikirannya itu dipengaruhi oleh mainstream pendapat ulama seperti Ibnu Taymiyyah yang memang sejak awal menentang ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi.
Atas ketidaksepakatannya itu, lantas Yunasril pernah menulis sebuah buku tudingan negatif terhadap tasawuf, yaitu Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat (1984). Namun setelah menerbitkan buku ini, terbersit dalam hati Yunasril untuk memeriksa dan mengecek kebenaran “pendapat miring” tentang tradisi sufisme sebagaimana ia peroleh dari pendapat-pendapat ulama yang “benci” terhadap ajaran sufi.
Sejak itulah, kesan negatif Yunasril berubah seribu persen berganti positif. Setelah membuka dan membaca secara langsung pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi, ia menangkap kesan berbeda dari apa yang ia anggap selama ini.
Apalagi, studi tentang pemikiran Ibn ‘Arabi bersamaan dengan gelar doktor dalam bidang tasawuf yang ia raih di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan dengan judul Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili (1997).
Alhasil, Yunasril Ali pada akhirnya hingga sekarang justru menjadi pembela terhadap pendapat-pendapat para sufi, seperti terlihat pada buku berjudul Jalan Kearifan Sufi, Tasawuf sebagai Terapi Derita Manusia (2002). (atk)