Sedang Membaca
Mengenal Ulama Perempuan Madura: Dari Nyai Aqidah Usymuni hingga Nyai Muthmainnah
Moh. Rivaldi Abdul
Penulis Kolom

Penulis adalah Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo, sekarang Mahasiswa Pasca (S2) Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Ulama Perempuan Madura: Dari Nyai Aqidah Usymuni hingga Nyai Muthmainnah

Ulama Perempuan

Pernah seorang teman bertanya pada saya perihal: “Kenapa tak ada nabi yang perempuan?”

Saya pun merespon pertanyaan itu dengan berkata, “Ya, ‘mungkin’ saja dari ribuan nabi, yang hari ini hanya segelintir nama-namanya diketahui, memang tidak ada perempuan. Tapi, bukan berarti perempuan tak bisa menjadi pewaris nabi, yaitu ulama–al-‘ulama waratsatul anbiya’. Dan, daripada menghabiskan daya hanya untuk beban pikiran kenapa tak ada perempuan nabi, padahal jaman kenabian sudah lewat, alangkah baiknya perempuan memanfaatkan potensi untuk turut menjadi pewaris nabi.”

Dalam Islam, perempuan tentu memiliki peluang untuk menjadi seorang ulama. Sebab, Islam memberi kesempatan belajar yang sama baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Memang, kalau menelik sejarah, agaknya tidak banyak nama-nama perempuan ulama. Namun, bukan berarti perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan sedikit. Banyak, hanya saja belum terdokumentasikan dengan baik.

Di Nusantara, sejatinya sejak dulu telah banyak perempuan ulama. Hasanatul Jannah dalam bukunya Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender, melakukan upaya untuk turut mendokumentasikan kiprah ulama perempuan Nusantara, dalam hal ini adalah nyai-nyai Madura.

Dalam strata sosial keagamaan di Madura, nyai berada di lapisan teratas bersanding dengan kiai. Sehingga, nyai sangat dihormati, menjadi prioritas yang dijaga keamanannya dan juga dilindungi oleh masyarakat Madura. Mereka menjadi pusat pengetahuan agama, moral, dan teladan masyarakat, terutama bagi perempuan.

Nyai yang dimaksud bukan berdasarkan term di masa kolonialisme dan VOC, yaitu nyai merupakan gundik. Melainkan, nyai dari pemahaman masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, Sunda, dan Madura, di mana gelar nyai adalah untuk tokoh agama perempuan yang punya kiprah dalam masyarakat, istri kiai, atau anak keturunan kiai.

Dan, dalam term nyai sebagai ulama, tidak sembarang perempuan bisa menyandang gelar ini. Sebab, nyai merupakan perempuan mulia yang punya tanggung jawab besar sebagai ulama perempuan dan menjadi sosok teladan di masyarakatnya.

Para nyai Madura mendapatkan pendidikan di pesantren tradisional, sehingga mereka memiliki kapasitas ilmu agama yang sangat mumpuni serta menguasai kitab-kitab turats (kitab klasik/kitab kuning). Selain itu, gaya hidup mereka juga tidak glamor, mencerminkan citra seorang nyai yang merupakan perempuan ulama. Nyai Madura menggunakan pakaian yang menutupi tubuhnya sebagaimana ketentuan syariat Islam.

Hasanatul Jannah menjelaskan, “Sorong bini’ (sarung batik tulis asli Madura) dan kerudung panjang menjadi andalan identitas kostum nyai Madura zaman dahulu. Namun, saat ini sarong bini’ sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh nyai kekinian karena perkembangan dunia fashion yang juga memengaruhi Madura. Akhirnya, banyak nyai Madura beralih pada gamis syar’i, walaupun tidak secara keseluruhan–karena masih ada sebagian nyai Madura yang hingga kini masih konsisten dengan sarong bini’.

Baca juga:  Mengaji Ibnu ‘Arabi dengan Kepala Dingin

Sebagai ulama perempuan Madura, para nyai memainkan peran dalam memajukan atau membina masyarakat muslim Madura. Mereka menjadi pembela bagi perempuan-perempuan Madura.

Penelitian Hasanatul Jannah dalam bukunya Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender, berfokus pada kiprah empat orang nyai Madura, yaitu Nyai Aqidah Usymuni dari Sumenep, Nyai Khairiyyah dari Pamekasan, Nyai Syifak Thabroni dari Sampang, dan Nyai Muthmainnah dari Bangkalan. Keempat nyai ini merupakan ulama perempuan yang sangat berpengaruh dalam masyarakatnya, dan juga mengasuh pondok pesantren.

Nyai Aqidah Usymuni

Nyai Aqidah Usymuni senantiasa terdorong untuk memberdayakan perempuan. Beliau merupakan pembela perempuan, agar jangan sampai perempuan dikebiri haknya. Dirinya berjuang melalui organisasi keagamaan dan jalur pesantren.

Nyai Aqidah adalah anak dari Kiai Usymuni dan Nyai Khadijah. Dua ulama ini sangat dihormati di Sumenep, sebab mereka merupakan pendiri NU dan Muslimat di kabupaten ini. Sehingga, bagi masyarakat Sumenep, Nyai Aqidah sudah dikenal sebagai keturunan dari ulama pejuang agama dan negara. Hal ini menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap privilage-nya, karena dalam masyarakat Madura, selain penguasaan ilmu agama, aspek geneologis juga merupakan hal penting terhadap pengaruh seorang ulama.

Salah satu hal yang amat menarik dari sosok Nyai Aqidah adalah dirinya merupakan pendiri Pondok Pesantren Aqidah Usymuni. Sebagaimana dijelaskan Hasanatul Jannah, “…apa yang dilakukan oleh Nyai Aqidah dapat dikatakan sudah keluar dari mainstream karena pada umumnya nama pondok pesantren cenderung dilekatkan pada nama kiai sebagai suami, ayah maupun kakek. Bahkan di Kabupaten Sumenep, Nyai Aqidah merupakan satu-satunya perempuan yang mendirikan, memimpin dan mengelola pesantren.”

Nyai Aqidah ikut membantu meringankan beban masyarakat miskin di Madura, khususnya Sumenep, dalam menyekolahkan putra-putrinya. Beliau bahkan sampai berjalan ke berbagai pelosok mencari anak-anak miskin yang tidak sekolah, dan memberi pendidikan gratis kepada mereka di Pondok Pesantren Aqidah Usymuni.

Selain itu, dengan gerakan pesantren, beliau juga melawan praktek nikah dini secara paksa di Madura. Sebab, Nyai Aqidah memberi syarat bahwa binderi (santri putri) dan bindera (santri putra) yang sekolah di pesantrennya tidak boleh nikah dini. Aturan ini harus disetujui oleh para orang tua atau wali santri.

Lewat pesantrennya, Nyai Aqidah menjadi ulama perempuan Madura yang bergerak memajukan masyarakat, khususnya perempuan.

Nyai Syifak Thabroni

Sejak kecil Nyai Syifak Thabroni memiliki hasrat besar dalam mendalami agama. Beliau merupakan putri dari Kiai Thabroni dengan Nyai Huzaimah, yang adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Mutaallimin Bangkalan.

Baca juga:  Toko Buku dan Masa Lalu

Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal, namun keilmuan agama Islam Nyai Syifak sangat luar biasa mumpuni. Sejak kecil dirinya sudah belajar agama, mendalami kitab-kitab turats, dari ayahnya. Bagi Nyai Syifak, tiada hari tanpa membaca dan mengkaji kitab-kitab agama. Hasrat belajarnya didukung dengan suasana lingkungan pesantren tempat beliau dibesarkan. Tak heran jika Nyai Syifak menjadi sosok perempuan dengan kapasitas keilmuan yang amat mendalam dan sangat dihormati masyarakat Madura.

Setelah menikah, Nyai Syifak hijrah dari Bangkalan ke Sampang mengikuti suaminya. Beliau sangat aktif berdakwah di masyarakat Sampang, dan juga bahkan luar Madura.

Nyai Syifak berdakwah secara kultural. Sehingga, masyarakat pun semakin bisa menerima ajakannya, sebab orang-orang Madura punya pandangan kalau ber-Islam dan melestarikan tradisi asli dapat berjalan bersamaan.

Dalam berdakwah, Nyai Syifak tidak mau menerima bayaran, bahkan dirinya juga tidak suka disuguhkan hidangan berlebihan. Itu merupakan bentuk kehati-hatian Nyai Syifak dalam menjaga niat ikhlasnya.

Selain bergerak dalam dakwah di masyarakat, Nyai Syifak juga mengasuh pondok pesantren. Banyak ibu-ibu yang mengaji padanya. Mereka meski sudah berumur masih memiliki semangat besar untuk belajar pada Nyai Syifak.

Dengan dakwah kulturalnya dan juga sebagai pengasuh pondok pesantren, Nyai Syifak menjadi ulama perempuan yang mampu menggerakkan kesadaran beragama di Madura, khususnya Sampang. Beliau merupakan figur perempuan yang strategis dalam pengembangan dakwah Islam di tingkat lokal.

Nyai Muthmainnah

Nyai Muthmainnah dikenal sebagai nyai keramat. Beliau sangat dihormati di Madura, khususnya Bangkalan. Hal ini tidak lepas dari faktor geneologis, yang mana Nyai Muth merupakan keturunan Kiai Kholil Bangkalan. Ayah Nyai Muth, Kiai Abdullah Schal, adalah cicit Kiai Kholil serta menjadi pengasuh generasi keempat Pondok Pesantren Syaikhona Kholil. Ibunya, Nyai Sumtin, berasal dari Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang.

Sekarang, Nyai Muth menjadi pengasuh Pondok Putri Pesantren Syaikhona Kholil. Pesantren Syaikhona Kholil didirikan oleh Kiai Kholil Bangkalan. Beliau adalah ulama besar yang amat berpengaruh tidak hanya di Madura, bahkan sampai Jawa dan pelosok Nusantara lainnya. Beliau diyakini sebagai wali Allah yang punya keramat (karamah). Ada banyak ulama tersohor Nusantara yang merupakan muridnya, misalnya Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah.

Keilmuan yang sangat mumpuni, dermawan, suka membantu masyarakat, berkarisma, dan punya banyak dedikasi, ditambah faktor geneologis dari ulama besar, tak heran kalau Nyai Muth menjadi ulama perempuan yang begitu berpengaruh di masyarakat.

Nyai Muth tidak hanya membekali santri dan alumni dengan ilmu keagamaan, melainkan juga mengajari mereka skill membatik, produksi minuman kemasan, bordir, dan lainnya. Sehingga, mereka semakin berdaya di masyarakat. Namun, demikian, beliau tidak suka murid-muridnya menomorduakan ilmu agama. Nyai Muth merupakan ulama perempuan yang senantiasa membantu perempuan agar bisa sukses.

Baca juga:  Membaca tanpa Tuntutan

Nyai Khairiyyah

Nyai Khairiyyah bersama suaminya merintis sebuah pondok pesantren di Pamekasan. Sekarang, pondok pesantrennya mengasuh kurang lebih 750 santri. Hasanatul Jannah menjelaskan bahwa, “Hal utama yang diajarkan Nyai Khairiyyah pada santri dan masyarakat adalah tentang praktik-praktik beragama dan kultur Madura, yang disebut tengka (tradisi dan hukum adat Madura).” Sehingga, dalam hal ini, Nyai Khairiyyah disebut sebagai nyai penjaga tengka.

Nyai Khairiyyah berusaha mengendalikan kebiasaan masyarakat yang cenderung suka berlebihan menjalankan tradisi, sehingga malah membebani diri sendiri. Beliau sebisa mungkin mendampingi masyarakat melakukan tengka, agar tidak dimewah-mewahkan serta tidak mubazir dalam hal makanan dan lainnya. Baginya, tradisi tengka adalah warisan budaya yang harus dijaga kebaikannya. Namun, tentu dalam pelaksanaannya diupayakan untuk tidak membebani masyarakat.

Selain pendampingan berupa ceramah dan keteladanan, Nyai Khairiyyah juga melakukan gerakan yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Misalnya, arisan barang mingguan bagi jamaahnya, sehingga mereka bisa punya perkakas rumah tangga dan tidak terjebak dalam kredit rentenir. Memberi bantuan modal tanpa bunga pada para petani. Membagikan sembako. Dan, mengajarkan kerajinan bordir.

Nyai Khairiyyah merupakan ulama perempuan yang tidak hanya menjaga tradisi keagamaan Madura, namun juga memberdayakan masyarakat. Sehingga, kiprahnya semakin memajukan taraf hidup rakyat, khususnya perempuan Madura.

Jaringan Nyai Madura

Keempat nyai Madura di atas merupakan nyai rejheh yang mengelola pondok pesantren. Dalam hierarki nyai-nyai Madura (perempuan ulama Madura) terdapat tiga tingkatan nyai. Yaitu, nyai rejheh (nyai besar), nyai tengnga (nyai pertengahan), dan nyai langgheren (nyai kecil).

Santri perempuannya nyai rejheh menyebar ke berbagai pelosok Madura, sehingga nantinya sebagian mereka menjadi nyai tengnga maupun nyai langgheren. Mereka meneruskan ajaran dan spirit nyainya dalam kehidupan masyarakat Madura.

Misalnya, sebagaimana dijelaskan Hasanatul Jannah, “Santri-santri Pesantren Syaikhona Kholil (di mana Nyai Muth salah satu pengasuhnya), selepas nyantri alias sudah lulus, kembali pulang ke masyarakat. Sebagian mereka mendirikan pesantren di wilayahnya masing-masing, mereka juga menjadi kiai dan nyai di kampungnya. Dari situlah jaringan keulamaan Nyai Muth menyebar….”

Terbentuknya jaringan keulamaan nyai-nyai Madura tentu semakin menguatkan pengaruh mereka dalam setting sosial Madura. Sehingga, kiprah nyai, sebagai ulama perempuan Madura, tidak bisa dianggap remeh dalam masyarakat, khususnya perempuan Madura.

Judul Buku: Ulama Perempuan Madura: Otoritas dan Relasi Gender

Penulis: Hasanatul Jannah

Penerbit: IRCiSoD

Cet.: Pertama (Oktober 2020)

Tebal: 344 Halaman

ISBN: 978-623-7378-83-9

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top