Sedang Membaca
Di Balik Cadar Ada Radikalisme?
Muhammad Syafi'i
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Lingkar Studi Agama dan Filsafat Yogyakarta

Di Balik Cadar Ada Radikalisme?

Pada akhir Februari 2018 beredar surat pengumuman Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang rencana kegiatan pembinaan bagi mahasiswi yang memakai cadar. Pengumuman itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, terutama media sosial. Hampir semua grup whatsapp di ponsel saya memuat foto surat pengumuman tersebut, tentu saja diiringi dengan komentar pro dan kontra.

Cadar di Indonesia telah lama menjadi hal yang kontroversial, terutama bagi umat Islam. Di Indonesia yang multikultur, pemakaian cadar sangat paradoksal. Ada yang menganjurkan, ada yang mewajibkan. Ada pula yang menentang dan menilai cadar adalah bagian dari budaya Arab, bukan budaya Islam. Lebih-lebih cadar dianggap tidak sesuai dengan konteks beragama Islam Indonesia yang moderat dan menyulitkan proses interaksi sosial dalam masyarakat.

Dengan beredarnya pengumuman pembinaan mahasiswi bercadar, berbagai kontroversi dan perbedaan pandangan muncul dari luar maupun dalam kampus sendiri. Beberapa media bahkan mengklaim UIN SUKA telah melakukan pelarangan terhadap mahasiswi yang bercadar. Patut dipertanyakan sesungguhnya mengapa seorang rektor kampus islam mengambil kebijakan tersebut?

Di tengah arus informasi yang datang bergelombang, kita disuguhi informasi yang sangat mudah diakses dan bahkan seringkali menjadi trending topic, sialnya kita mudah begitu saja percaya. Dalam hal ini semestinya kita bisa melihat persoalan secara jernih, apa gerangan yang sedang kita permasalahkan, apakah itu substansi atau hal-hal yang masih melingkupi sekitar masalah tersebut? Beberapa tokoh melihat kebijakan ini sebagai sebuah larangan yang kemudian dianggap tidak memberi kebebasan bagi mahasiswa dalam menjalankannya haknya.

Baca juga:  Gus Baha dan Pentingnya Husnuzzan kepada Ulama
Surat pembinaan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bercadar (detikcom)
Surat pembinaan mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang bercadar (detikcom)

Mari kita lihat lagi, apa yang tampak di beberapa media. Kalimat yang mengatakan bahwa UIN SUKA melakukan pelarangan terhadap mahasiswinya yang bercadar itu tidak ada. Redaksionalnya tidak seperti itu. Kita tahu bahwa pengumuman yang beredar adalah tentang pembinaan terhadap mahasiswi yang bercadar, bukan pelarangan. Akan tetapi pemberitaan yang telah dibubuhi framing media tampaknya sudah telanjur bias. Redaksional “pelintiran” niscaya bisa membuat gejolak di masyarakat.

Membina bukan melarang

Pelarangan berbeda dengan pembinaan. Membina berarti memberikan wawasan secara face-to-face (dalam konteks kekinian bisa online maupun offline) dengan cara yang baik-baik serta mengarahkan sesuai koridor, situasi, dan kondisi dalam waktu tertentu. Ini berarti ada dialog, diskusi, dan sikap saling terbuka untuk mencoba saling mengerti dan memahami satu sama lain. Pembinaan berarti upaya dalam rangka meluruskan pandangan (jika dirasa ada yang bengkok) atau menanyai untuk memahami.

Meskipun begitu, penggunaan kata pembinaan memang terkesan diskriminatif. Ada dikotomi antara mereka yang tidak dibina dengan mereka yang dibina. Mereka yang dibina adalah mereka yang belum benar dan yang tidak dibina adalah yang sudah benar. Apakah para mahasiswi yang bercadar adalah orang-orang yang menyimpang dan belum berada di jalan yang lurus? Ibarat seorang pecandu rokok, “para pecandu rokok akan diberikan pembinaan”. Persoalannya, rokok adalah sesuatu yang masih bersifat relatif secara sosiologis, begitu juga cadar. Lantas mengapa dilakukan pembinaan?

Baca juga:  Meneroka Kejatuhan dan Hati karya S. Rukiah

Terkait dengan data yang lebih akurat dan jelas tentang alasannya, bukan ranah saya untuk menguliknya. Namun, seorang rektor dengan berbagai pengalaman keberagamaan di berbagai negara, riset-riset yang ia hasilkan, dan wawasan literaturnya, saya tidak gegabah menuduh atau apriori. Seorang Yudian Wahyudi, yang juga berstatus sebagai Presiden Asosiasi Universitas Islam se-Asia, rasanya tidak mungkin membuat redaksi “pembinaan” tanpa pertimbangan yang mendalam dan fundamental.

Yudian juga menyinggung adanya gerakan yang mencoba melakukan penyusupan ideologi radikal yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, semisal HTI. Tampaknya dari sinilah kita bisa melihat alasan terhadap penggunaan kata “pembinaan” tersebut. Setahu saya, baru-baru ini civitas akademika Pascasarjana UIN Suka telah melakukan sejumlah riset di beberapa kota di Indonesia terkait dengan literatur keislaman yang dikonsumsi oleh generasi milenial, sejumlah fakta mencengangkan ditemukan.

Literatur keislaman yang banyak dikonsumsi rata-rata memiliki afiliasi dengan kelompok Islam transnasional (istilah populer untuk menyebut gerakan Islam dari Timur Tengah), isinya pun secara halus mencoba menumbuhkan kesadaran akan perlunya kita untuk kembali kepada Alquran dan Hadis secara murni.

Selain riset terbaru tersebut, juga banyak riset-riset lain yang telah mengkaji munculnya gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia, misalnya buku berjudul Ilusi Negara Islam oleh Abdurrahman Wahid, dkk (2009) yang bagi saya adalah penelitian sangat serius tentang ancaman hadirnya wajah-wajah Islam garis keras di tanah air.

Baca juga:  Nasib Aksara Pegon di Bali

Kembali ke topik, dengan berbagai riset tentang radikalisme tersebut, pantaskah seorang pengguna cadar dibina? Apakah pengguna cadar merupakan individu yang terjangkiti oleh pola pikir dan pemahaman keagamaan yang radikal?

Korelasi tentang cadar dan sikap radikal tentu tidak bisa dijustifikasi begitu saja tanpa pengusutan lebih lanjut. We can’t judge someone by the cover. Saya memiliki teman-teman bercadar yang sikapnya tidak ekslusif dan tidak mengindikasikan dalam dirinya pandangan-pandangan Islam garis keras. Beberapa di antara mereka bahkan menggandrungi pengajian kitab kuning bernuansa tasawuf nusantara.

Lebih lanjut, beberapa kajian tentang Islam radikal yang berasal dari gerakan transnasional sendiri sesungguhnya menunjukkan status quo vadis: itu merupakan radikalisasi dengan proses berkelanjutan ataukah telah mengalami harmonisasi dengan Islam nusantara?

Meski begitu, tidak pula kita tidak berhati-hati dan waspada. Sikap rektor UIN ini setidaknya memberi sinyal kepada kita bahwa sekalipun gerakan radikal seperti HTI telah dimatikan secara fungsional oleh negara, tetapi mereka masih beroperasi secara intensif dengan berafiliasi pada tubuh-tubuh organisasi tertentu. Sikap radikal bukanlah barang yang bisa dimusnahkan begitu saja, semakin mereka ditekan secara operasional, mereka justru bisa menjadi semakin massif secara doktrinal.

Viralnya kabar ini menyadarkan kita, bahwa bangsa ini sedang mengalami pengarusutamaan syariat Islam sebagai falsafah negara, yang mengancam kesepakatan bersama. Sebab, Pancasila yang sejatinya menjadi falsafah negara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top