Hubungan Islam dan Kristen dalam catatan sejarah mengalami pasang surut. Dalam kesempatan ini saya menyuguhkan hidangan lama yang tidak mungkin basi karena tidak ada suatu ilmu yang basi. Sebuah catatan sejarah dari Prof. Dr. H. M Joesoef Sou’yb (w 1993 M) seorang Cendikiawan Muslim Sumatra Utara yang mengisahkan bagaimana Mesir yang saat ini menjadi kiblat Pendidikan Islam dengan Universitas Al-Azharnya ditaklukan pasukan Muslim atas bantuan masyrakat Nasrani setempat.
Pada tahun 16 H/647 M, wilayah Palestina dan Suriah yang semula berada di bawah kekuasaan imperium Roma jatuh ke tangan pasukan Islam di bawah Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Akibatnya, kaisar Heraklius (610-641 M) terpaksa meninggalkan kota kota besar Antiokia, kota terakhir yang dikuasai pihak Roma di Suriah Utara.
Sejak itulah sejarah mencatat, bahwa panglima Amru bin Ash dari Jarussalem berulangkali mengirimkan utusan ke ibukota Madinah Al-Munawwarah untuk memohon izin khalifah Umar bin Khattab agar diperkenankan maju merebut wilayah Agypte (Mesir) dari imperium Roma. Namun masih banya pertimbangan oleh para penasehat khalifah Umar bin Khattab di ibukota. Medan perang di belahan timur menghadapi dinasti Sassanids (226-651 M) dari imperium Parsi tengah berada pada puncaknya, sekalipun ibukota Ctesiphon (636 M) telah disebut dan dikuasai sepenuhnya.
Pasukan Islam dalam wilayah Syria dan Palestina telah terbagi guna memelihara kemantapan kekuasaan pada daerah masing-masing. Apalagi untuk melewati sungai Nil dengan ribuan tantara, kuda, peralatan dan bekal perang dirasa sangat sulit. Dua tahun berjalan panglima Amr bin Ash menjamin segala kesulitan medan itu, Khalifah Umar bin Khattab.
Panglima Amru bin Ash maju ke tanah Mesir pada tahun 639 M hanya dengan kekuatan 3.000 pasukan saja. Tapi pada tahun 641 M, seluruh wilayah Mesir sampai ke Lybia telah berhasil direbut dan dikuasai sepenuhnya dari imperium Roma.
Kemenangan yang begitu cepat dan gemilang itu antara lain disebabkan oleh dukungan umat Nasrani. Berkat sikap toleransi yang perlihatkan oleh penguasa Islam terhadap Non Muslim di dalam wilayah yang dikuasainya. Umat Nasrani beberapa kali mengirim utusan ke Jarussalem untuk menyampaikan permohonan kepada pasukan Islam untuk menumbangkan wewenang “Gereja Resmi” yang didukung para penguasa Roma di Mesir. Umat Nasrani itulah yang memberikan bantuan bagi segala kebutuhan yang diperlukan Gerakan pasukan Islam di lembah Ni itu, sehingga hubungan hubungan umat Islam dan umat Nasrani sangat akrab di Mesir saat itu.
Hubungan baik umat Islam dengan umat Kristen yang sebelumnya sangat akrab, menjadi tegang pada abad ke 13. Sebabnya ialah Abul Faraj Al-Malathiyi menulis buku berjudul Tarikhud Duwwali (sejarah berbagai kekuasaan) dalam bahasa siryani, namun belakangan karya ini disalin kedalam bahasa Latin dan berbagai Bahasa Eropa. Salinannya dalam Bahasa Inggris berjudul The History of Dynasties.
Di dalam buku ini terdapata tuduhan yang teramat dahsyat terhadap Islam. Atas perintah Amru bin Ash’ katanya, telah berlangsung pemusnahan perpustakaan Iskandaria, pusat ilmu dan filsafat terbesar di dunia kala itu. Buku karya Abul Faraj ini pula yang menjadi rujukan sekian banyak orientalis selama 5 abad. Dari kurun waktu 13-18 inilah para orientalis pro Barat menuduh Islam sebagai perusak hasil kebudayaan terbesar.
Mereka menyebarkan bahwa tumpukan naska perpustakaan Iskandariah itu dipergunakan untuk 4.000 pemandian uap sebagai bahan bakar selama 6 bulan. Dalam fitnah ini dikatakan pula bahwa tumpukan naskah perpustakaan itu jika dikumpulkan, tinggi dan besar akan melebihi pyramid Cheop, pyramid terbesar di tanah Mesir. Dan semuanya, menurut yang dikisahkan Abul Faraj yang kemudian penulis kutip dalam artikel ini, dimusnahkan oleh panglima Amru bin Ash. Akhir abad 19, para orientalis melakukan riset terkait siapa Abul Faraj dan kebanaran kisah yang ia tulis. Setelah melakukan riset, Edward Gibbon beserta tokoh orientalis lainnya menyatakan bahwa kisah itu palsu.