Sedang Membaca
Tantangan PCINU di Eropa Menjelang 1 Abad NU
Syahril Siddik
Penulis Kolom

Kandidat Doktor Kajian Islam Asia Tenggara di Universitas Leiden Belanda.

Tantangan PCINU di Eropa Menjelang 1 Abad NU

Tantangan PCINU di Eropa Menjelang 1 Abad NU

Harlah NU ke-95 pada tanggal 31 Januari 2021 menandai perjalanan ormas Islam terbesar di Indonesia yang mendekati usia 1 abad. NU didirikan diantaranya oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri pada tahun 1926. Usia yang cukup lama dan patut disyukuri oleh semua pengurus, nahdliyin, dan siapa saja yang mencintai NU.

NU selalu hadir sebagai penengah dan penyeimbang atas masalah-masalah keagamaan dan kebangsaan, baik di tanah air maupun di dunia. NU selalu melakukan pertimbangan-pertimbangan strategis dalam mengambil langkah dan solusi dengan mengutamakan kepentingan umum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta prinsip-prinsip ukhuwwah islamiyah, ukhuwwah wathoniyah, dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama muslim, sebangsa, dan sesama manusia). Langkah dan solusi yang diambil berdasarkan nilai dan prinsip di atas sering disalahartikan sebagai langkah dan solusi pragmatis oleh sebagian orang.

Di Indonesia, NU terus berjuang melawan radikalisme dan ekstrimisme di kalangan umat Islam yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, NU juga mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, melakukan advokasi bagi kalangan tertindas, dan perlindungan terhadap hak-hak kaum minoritas. Di kancah global, NU ikut andil dalam memerangi paham radikalisme, ektrimisme, dan Islamofobia melalui forum-forum dialog keagamaan internasional dan pendirian cabang istimewa NU di beberapa negara. Berdirinya Pengurus Cabang Istimewa NU di 30 negara sangat strategis untuk membumikan ide-ide toleransi dan melindungi umat Islam, khususnya yang hidup sebagai minoritas.

Baca juga:  Tulisan dan Petuah

Lalu, apa makna menjelang 1 abad NU bagi PCINU di Eropa?

Menjelang 1 abad NU sudah semestinya dimaknai oleh para pengurus PCINU di Eropa sebagai momen untuk memperkenalkan dan mendakwahkan Islam aswaja an-nahdliyah ke warga Eropa. Inilah saatnya dalam proyeksi 5 tahun ke depan PCINU di Eropa mulai terlibat secara intensif dalam kegiatan-kegiatan antaragama di akar rumput.

Selama ini, kegiatan PCINU Eropa terbatas, misalnya, hanya bagi kalangan akademik saja seperti Biannual Conference yang diadakan oleh PCINU Belanda. Kegiatan tersebut harus ditambah dengan keaktifan pada forum-forum keagamaan lainnya yang melibatkan masyarakat umum dari berbagai kalangan, tidak terbatas pada kalangan tertentu. PCINU Belanda dan Jerman, misalnya, yang sudah resmi terdaftar sebagai ormas di pemerintahan setempat, sudah saatnya mengambil langkah lebih jauh untuk memperkenalkan dan mendakwahkan Islam Indonesia kepada masyakat umum di Negara masing-masing tanpa meninggalkan kegiatan-kegiatan yang difokuskan untuk penguatan komunitas nahdliyin.

PCINU Belanda yang sudah menjadi anggota Komisi Fatwa di Eropa harus aktif terlibat dalam menyusun dan mengeluarkan solusi keagamaan bagi umat Islam di Eropa. Harus diakui keterlibatannya selama ini masih terbatas bahkan vacuum.

Langkah pertama yang harus diambil adalah menambah keterampilan berbahasa lokal bagi para penceramah PCINU di Eropa. Ini sangat penting karena dakwah aswaja an-nahdliyah selama ini terbatas hanya kepada diaspora muslim Indonesia di Eropa karena kendala bahasa. Padahal warga muslim non Indonesia juga perlu mendengarnya.

Baca juga:  Ulil, Somad dan Jiran Kita

Seorang jama’ah non Indonesia di masjid Al Hikmah milik komunitas Indonesia di Den Haag sering meminta penceramah menerjemahkan ceramahnya dalam bahasa Belanda karena mereka ingin mendengarkan pesan-pesannya. Kasus di Belanda bisa jadi merupakan cerminan secara umum di beberapa negara di Eropa yang tidak berbahasa Inggris.

Dakwah di media sosial pun masih terbatas pada bahasa Indonesia sehingga tidak menyentuh masyarakat lokal. Jangankan masyarakat lokal non muslim, masyarakat lokal yang muslim pun masih banyak yang tidak mengenal cara berislam muslim Indonesia. Beberapa bahkan mengira muslim Indonesia mempraktekkan Islam yang berbeda, tidak bisa membaca Al-Quran, memakai bahasa Arab dalam shalat, dan lainnya. Makanya banyak dari mereka terkejut dan kagum mendengar muslim Indonesia bisa berbahasa Arab dan membaca Al-Quran dengan fasih. Dalam hal ini, muslim Indonesia bisa disebut minoritas dalam minoritas. Wacana dan praktek keberislaman muslim Indonesia masih di pinggir (periphery).

PCINU atau pun Lembaga Dakwah PBNU perlu mempertimbangkan pelatihan bahasa asing selain Inggris dan Arab, khususnya bagi para penceramah PCINU untuk memperkuat dakwah Islam Indonesia di kancah global. Langkah ini tentu sesuai dengan ruh perjuangan NU yang mengglobal sejak awal berdiri. Penguasaan keterampilan berbahasa lokal juga penting untuk menjaga keberlangsungan nahdliyin di Eropa dimana mulai dari generasi kedua diaspora muslim Indonesia tidak fasih berbahasa Indonesia. Hanya dengan begitu, keberlangsungan PCINU di Eropa dapat bertahan sehingga tidak bergantung terhadap banyaknya santri NU yang sedang menimba ilmu di Eropa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top