Siapa yang tidak mengetahui nama besar al-Kindi? Ilmuwan muslim sekaligus filsuf besar pada masa keemasan Islam ini memiliki nama Yakub bin Ishak al-Sabbah al-Kindi (801-873), kuniyah-nya adalah Abu Yusuf. Penulis tidak akan memperpanjang ihwal biografi al-Kindi, silakan membacanya di sajian khusus yang berjudul “Muslim dan Dunia Sains (1): Al-Kindi, Sang Pionir Ilmu Optika”.
Kisah kali ini khusus menceritakan al-Kindi yang pernah gagal paham bahasa Arab. Kisah al-Kindi gagal paham bahasa Arab ini saya kutip dari kitab Taisir al-Balaghah yang disusun oleh Syekh Ahmad al-Qallasy. Kitab ini menjadi buku ajar yang dipakai Kiai Marzuki Mustamar saat mengajar mata kuliah ilmu ma’ani di Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Alkisah, suatu hari al-Kindi pergi menemui seorang pakar linguis Arab pada zamannya, Abu al-Abbas Muhammad bin Yazid bin Abd al-Akbar atau lebih masyhur dikenal dengan julukan al-Mubarrid –ada pula yang menyebut al-Mubarrad.
Al-Kindi lantas mengutarakan kegelisahannya kepada al-Mubarrid.
“Aku menemukan sebuah kerancuan dalam bahasa Arab,” ujar al-Kindi.
“Bagian mana yang kau anggap rancu? Coba tunjukkan padaku!” timpal al-Mubarrid.
“Aku menyaksikan kebanyakan orang mengucapkan – عَبْدُ الله قَائِمٌ- kemudian yang lain mengucapkan – إِنَّ عَبْدَ الله قَائِمٌ- sementara yang lain mengucapkan – إِنَّ عَبْدَ الله لَقَائِمٌ-” ucap al-Kindi mengutarakan kegelisahannya pada al-Mubarrid.
“Ketiga ungkapan itu kan memiliki penulisan/uslub yang berbeda, padahal tidak berpengaruh pada makna sama sekali, makna intinya hanya satu,” imbuh al-Kindi menjelaskan kepada al-Mubarrid.
Mendengar penjelasan al-Kindi, al-Mubarrid lalu menjelaskan perbedaan tiga ungkapan itu.
“Lafaz yang pertama – عَبْدُ الله قَائِمٌ- digunakan untuk mengabarkan atau sekedar memberitahu bahwa Abdullah berdiri. Lafaz yang kedua – إِنَّ عَبْدَ الله قَائِمٌ- digunakan untuk menjawab sebuah pertanyaan, misal: Apakah Abdullah berdiri? Sedangkan lafaz terakhir – إِنَّ عَبْدَ الله لَقَائِمٌ- digunakan untuk membantah orang yang mengingkari (raddun ‘ala al-inkar) kalau Abdullah berdiri, ketiganya memiliki lafaz yang berbeda dan tentu maknanya pun berbeda” papar al-Mubarrid menjelaskan kepada al-Kindi.
Mendengar penjelasan al-Mubarrid, al-Kindi pun terdiam. Sepertinya al-Kindi menyadari bahwa yang selama ini ia pahami kurang tepat.
Kalau ditarik ke dalam makna jawa, ketiga lafaz yang diajukan al-Kindi kepada al-Mubarrid ini jelas memiliki makna yang berbeda, dan yang pasti penggunaannya juga berbeda. Kira-kira begini pemaknaannya, lafaz – عَبْدُ الله قَائِمٌ- memiliki makna jawa “Utawi Abdullah iku wong kang ngadek“, lafaz – إِنَّ عَبْدَ الله قَائِمٌ- memiliki makna jawa “Saktemene Abdullah iku wong kang ngadek“, sedangkan lafaz – إِنَّ عَبْدَ الله لَقَائِمٌ- memiliki makna jawa “Saktemene Abdullah iku yakti temen-temen wong kang ngadek“. Kurang lebih begitulah makna jawanya.
Semoga kisah al-Kindi yang gagal paham bahasa Arab ini ada hikmahnya, paling tidak ini menjadi kisah penting bagi teman-teman yang sedang belajar bahasa Arab. Al-Kindi yang terlahir dari suku Arab –Kinda– saja masih mengalami salah paham, apalagi kita-kita yang non-Arab. Sekian.