Sedang Membaca
Kitab Al-Ibanah wal Ifadhah: Mengupas Darah yang Keluar dari Perempuan
Avatar
Penulis Kolom

Penikmat kajian kitab-kitab pesantren.

Kitab Al-Ibanah wal Ifadhah: Mengupas Darah yang Keluar dari Perempuan

Kitab Al Ibanah Wal Ifadha

Di dalam islam, perempuan tidak bebas menjalankan ritual ibadah tertentu. Ada masa-masa dimana perempuan dilarang melakukannya, seperti salat dan puasa misalnya. Sekalipun kedua ibadah tersebut merupakan ibadah wajib bagi setiap umat islam (laki-laki maupun perempuan yang sudah mencapai baligh). Usia baligh dapat dikenal dengan keluarnya darah bagi perempuan, mimpi basah bagi laki-laki maupun perempuan, atau keduanya telah mencapai usia 15 tahun dalam penghitungan kalender qamariyah (hijriyah).

Pada masa baligh itulah, yang dapat dipastikan setiap perempuan mengeluarkan darah, menjadi penghalang bagi mereka melakukan ibadah tertentu. Dalam persoalan ini dapat diketahui bagaimana islam memperlakukan perempuan. Larangan-larangan dimaksud sama sekali tidak menempatkan perempuan pada posisi rendah. Berbeda dengan masa sebelum islam, perempuan yang mengeluarkan darah akan dikeluarkan dari rumah dan tidak mau makan bersama mereka sebagaimana kebiasaan yang dilakukan orang Yahudi dan Majusi.

Akan tetapi, tidak semua darah yang keluar dari kemaluan perempuan itu menjadikannya terlarang melakukan ibadah tertentu. Bahkan perempuan berdosa apabila tidak melakukan ibadah walaupun dirinya dalam kondisi mengeluarkan darah. Maka sudah merupakan kewajiban bagi perempuan untuk mempelajari dengan cermat darah dimaksud. Disinilah buku-buku yang secara khusus membahas seputar darah perempuan begitu penting. Salah satunya adalah buku al-Ibanah Wal Ifadhah ini.

Penulisnya, Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Assaqqaf, membagi pembahasan tentang darah perempuan menjadi delapan bab pembahasan; pertama, seputar darah yang keluar dari kemaluan perempuan; kedua, mengenal darah haid mulai dari masa sampai warna darah haid; ketiga, kapan perempuan dinyatakan suci dan hal-hal lain terkait dengannya; keempat, mengenal darah nifas; kelima, menjelaskan tentang larangan bagi perempuan yang haid dan nifas; keenam, mengenal darah istihadha; ketujuh, mengenal darah istihadha yang bercampur dengan darah haid; dan yang kedelapan adalah mengenal darah istihadha yang bercampur dengan masa nifas. Semua pembahasan tersebut, menurut penulisnya, didasarkan pada pendapat ulama bermazhab Syafi’i. Dan kepada gurunya, yakni Syaikh Muhammad bin Ali al-Khatib.

Baca juga:  Romo Louis Leahy dan Manusia Rohani

Darah yang keluar dari kemaluan perempuan dibagi menjadi tiga; haid, nifas, dan istihadhah. Darah haid dan nifas itulah yang menjadi halangan bagi perempuan melakukan ibadah tertentu. Sedangkan darah yang memperbolehkan atau mewajibkan perempuan untuk melakukan pelbagai ibadah dikenal dengan darah istihadhah.

Darah yang keluar dari kemaluan permpuan dapat dikatakan haid apabila memenuhi beberapa syarat. Di antaranya adalah seorang perempuan telah mencapai usia sembilan tahun dalam penghitungan kalender hijriyah secara taqribiyyah. Artinya usia seorang perempuan tidak lebih dari enam belas hari untuk mencapai usia sembila tahun. Sayang, penulis dalam hal ini tidak menjelaskan mengapa kalender hijriyah yang dijadikan dasar batasan usia untuk menghukumi darah yang keluar dari kemaluan perempuan itu darah haid.

Darah haid juga dibatasi dengan rentang waktu. Perempuan yang mengeluarkan darah lebih atau kurang dari batas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai darah haid. Misalnya seorang perempuan mengeluarkan darah kurang dari satu hari satu malam (24 jam) atau lebih dari lima belas hari.

Selain itu, darah yang keluar dari kemaluan perempuan dapat dikategorikan sebagai darah haid dengan mengenali sifat dan/atau warnanya. Mulai dari hitam, merah, merah kekuning-kuningan, keruh (coklat), kental dan bauh. Nah, dalam hal ini, terutama pada pembahasan mubtada’ mumayyizah, penulis cukup detail bagaimana menghukumi darah yang keluar dari kemaluan perempuan sebagai darah haid atau bukan. Sebab, bisa saja seorang perempuan mengeluarkan darah dengan sifat atau warna berbeda-beda.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (46): Al-Istilah, dari Pendidikan Pra Nikah hingga Pendidikan Seks ala Pesantren

Misalnya seorang perempuan mengeluarkan darah hitam selama satu hari satu malam, mengeluarkan darah merah satu hari satu malam, dan di hari berikutnya mengeluarkan darah kuning secara terus-menerus. Bagaimana menetapkan di antara darah-darah tersebut sebagai darah haid?

Darah yang keluar dari kemaluan perempuan tidak selamanya lancar. Ada seorang perempuan yang dalam satu bulan mengeluarkan darah terputus-putus. Satu hari satu malam menegluarkan darah, berhenti selama tiga hari, mengeluarkan darah lagi, berhenti lagi, dan begitu seterusnya.

Persoalan yang tak kalah rumit dan perlu perhatian juga adalah ketika seorang perempuan yang mengeluarkan darah lebih dari batas paling lamanya haid, yakni lima belas hari. Atau melebihi rentang waktu masa nifas, yakni enam puluh hari. Apalagi perempuan yang mengeluarkan darah itu tergolong mutakhayyira mutlaq. Artinya seorang perempuan yang sama sekali tidak mengetahui akan kebiasaan ia mengeluarkan darah, baik waktu, sifat, dan seterusnya.

Dari persoalan-persoalan tersebut, penulis di dalam buku ini memberi sekian contoh agar mudah dipahami. Meski tidak berbentuk diagram atau tabel. Selain juga memaparkan perbedaan pandangan para ulama terkait dengan darah perempuan. Salah satu contoh, dalam permasalahan tamyiz, ada seorang perempuan mengeluarkan darah hitam selama tujuh hari, tujuh hari berikutnya merah, dan tujuh hari berikutnya hitam. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menghukumi bahwa darah yang dapat dihukumi haid adalah yang hitam. Sedang Imam Romli menghukumi darah yang hitam dan merah yang dapat dikatakan haid.

Baca juga:  Pesantren Cemoro, Naskah, dan Sebuah Titik Temu

Perempuan memang wajib mempelajari persoalan haid, nifas, dan istihadhah. Sebab hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri mereka dan berkolerasi pada sah tidaknya ritual ibadah yang dilakukan. Namun demikian, laki-laki juga berkewajiban mengajarkan atau memfasilitasi perempuan (baca; istri) guna dapat memahami persoalan-persoalan darah perempuan. Sebagaimana yang ditekankan penulis dalam pengantar buku ini. Wallahu ‘alam.

 

Judul: al-Ibanah Wal Ifadhah Fi ahkamil Haid, Nifas, Istihadha ala Mazhab Imam as-Syafi’i

Penulis: Sayyid Abdurrahman bin Abdulla bin Abdul Qadir Assaqqaf

Penerbit: al-Haramain

Tebal: 112 halaman

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
9
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Scroll To Top