Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Edisi Ramadan, Kolom Gus Dur di Majalah Sarinah

Ibu Ramadan, Sarinah, 11 Juli 1983

Kita terbiasa membaca kolom-kolom Gus Dur di majalah Tempo. Duh, kita melupa Gus Dur juga menulis kolom untuk disimak kaum perempuan di seantero Indonesia. Ingatan kita memang sering berkiblat ke Tempo. Nah, Gus Dur itu memberi kolom-kolom “lezat” di majalah Sarinah masa 1980-an. Setiap kolom berhiaskan ilustrasi apik.

Kita ingin membaca lagi mumpung Ramadan mau rampung. Kolom dijadikan acuan membuktikan bahwa para ibu memang tangguh menunaikan kerja-domestik dan ibadah. Ibu mengurusi keluarga, bertanggung jawab atas suasana dan pemberi semangat bagi keluarga meningkatkan iman dan takwa.

Gus Dur dalam esai berjudul “Puasa Kaum Ibu Memang Berbeda” dimuat di Sarinah, 11 Juli 1983, memberi pendapat: “Begitu memasuki bulan puasa, masalahnya menjadi bertambah, yang semula tidak tampak atau lupa diperhitungkan. Anak-anak yang molor tidurnya, bangun sudah masuk waktu tengah hari. Uring-uringan sang ibu melihat mereka, dan langsung digeneralisasi menjadi tumpukan dosa generasi penerus: malas, semrawut, tidak disiplin, dan segudang sifat lainnya.” Ibu berhak uring-uringan meski sudah dianjurkan oleh para penceramah agar bersabar dalam segala situasi. Kita menguda uring-uringan itu bercorak kebaikan, mengingatkan dan menganjurkan ke anak-anak “serius” mengalami Ramadan.

Gus Dur agak mengarahkan ke pembaca bahwa Ramadan itu bulan sungguh-sungguh milik ibu. Tokoh utama adalah ibu, tak tergantikan. Gus Dur menulis: “Ternyata, bagi kaum ibu keadaan menjadi banyak berbeda dari biasanya dalam bulan puasa. Bukan hanya karena harus lebih banyak memberikan perhatian kepada bidang perdapuran untuk mempersiapkan sekian hidangan ekstra untuk buka puasa, melainkan secara fisik harus mampu mengurangi jam tidur (sudah bangun lebih dahulu menyiapkan makanan sahur, sementara yang lain yang serumah masih lelap tidur mereka). Belum lagi kalau dikombinasikan dengan pengajian, ikut tarawih di masjid atau mushala terdekat (apalagi kalau jadi panitia atau pengurus kegiatan itu) dan ikut mempersiapkan pemungutan zakat fitrah, sodakoh, dan infak.” Ketangguhan ibu teringat dan terbukti selama Ramadan. Bulan itu milik ibu ketimbang bapak.

Baca juga:  Islam Agama Manusia

Para pembaca esai itu mungkin mesam-mesem. Gus Dur sedang keranjingan menulis untuk publik. Kehadiran esai-esai di Sarinah tentu memiliki rangsang keintelektualan, dakwah, demokrasi, pendidikan, dan lain-lain. Ibu memiliki Ramadan. Para bapak tentu tersindir. Gus Dur menulis dalam situasi biasa, tak seperti masa wabah sedang kita tanggungkan. Lakon ibu tentu semakin besar dan terhormat. Situasi tak jelas tetap ditanggapi ibu dengan peristiwa-peristiwa bertanggung jawab atas nasib keluarga. Berpuasa dalam suasana berbeda, mengecualikan kebiasaan pengajian ke suatu tempat atau tarawih di masjid. Perdapuran tetap milik ibu.

Penulis perlahan mengingat ibu atau Mbok Jinah. Ramadan menjadi bulan berlimpahan kesan. Mbok Jinah sebagai pengisah keluarga, sejak sahur sampi tidur. Mbok Jinah jarang memberi menu-menu tambahan selama Ramadan. Ah, kolak itu impian. Kue atau camilan sering absen. Para anak didoakan mendapatkan camilan alias jaburan bila sregep ke masjid. Penjadwalan menu tak penting. Mbok Jinah memastikan saja ada makanan untuk sahur dan buka. Kelezatan atau kenikmatan mungkin termasuk “omong kosong”. Mbok Jinah bakal rajin memberi kata-kata agar sekian makanan bisa masuk ke perut tanpa pemanjaan selera. Mbok Jinah memang ibu tangguh mengartikan Ramadan seperti arahan Gus Dur. Mbok Jinah tak mengenali Gus Dur. Ia tak membaca Sarinah. Mbok Jinah tak bisa membaca-menulis. Ia bukan referensi di esai buatan Gus Dur. Penulis sengaja membaca esai dan mengingat Mbok Jinah sudah pamitan dari dunia, tak mengalami Ramadan dalam suasana wabah. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top