Suatu hari tidak disengaja Nu’aiman melihat seorang penjual madu yang kepanasan dan nampak sangat letih, tampak dari cara berjalannya saat berkeliling menjajakan madunya. Nuaiman dengan segala akal jailnya memanggil si penjual madu tadi. Terjadilah dialog diantara mereka, yang akhirnya Nu’aiman menyuruh untuk mengantarkan madu ke kediaman Rasulullah Saw.
Belum lagi si penjual madu itu melangkahkan kakinya menuju rumah Rasulullah, Nu’aiman memberi pesan, “Nanti kamu minta juga uangnya yaa…” Si penjual madu pun menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Lantas dia pergi menghadap Rasulullah dengan membawa seguci madu, hadiah dari Nu’aiman. Tentu saja Rasulullah senang bukan kepalang karena mendapat hadiah madu dari sahabatnya.
Akan tetapi keriangan Rasulullah itu langsung berubah menjadi sebuah keterkejutan tatkala si penjual madu menyampaikan beberapa kalimat. “Ini madunya ya Rasulullah. Harganya …… dan belum dibayar,” kata penjual madu.
Rasulullah tersenyum simpul dan sadar telah dikerjai Nu’aiman. Mau tidak mau, beliau musti membayar madu tersebut. Jadilah Rasulullah mendapatkan hadiah madu yang luar biasa termasuk harganya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Rasulullah memanggil Nuaiman. Beliau bertanya kepada sahabatnya itu mengapa melakukan hal demikian.
“Aku ingin sekali memberikan hadiah kesukaanmu yaitu madu yaa Rasulullah. Sementara aku tidak memiliki uang sama sekali atau apa-apa, terus kapan lagi aku akan dapat berbuat baik padamu,” jawab Nu’aiman dengan ringan. Rasulullah pun tersenyum tanpa berkata apa-apa sambil menepuk-nepuk bahu Nu’aiman.
Kurma dan Sakit Mata
Terdengar kabar bahwa Nu’aiman sedang sakit mata, Rasulullah menengoknya. Kemudian apa yang sedang terjadi? Ternyata Nu’aiman sedang asyik makan kurma.
Rasulullah pun menegurnya, “Hai Nu’aiman apa kamu tidak apa-apa makan kurma, bukankah matamu sedang sakit?”
Dengan santai dan tanpa beban Nu’aiman menjawab, “Ooh… Engkau bisa lihat sendiri yaa Rasulullah, bukankah aku mengunyah kurma ini dari bagian gigi yang searah dengan mataku yang tidak sakit,” sambil nyengir merasakan sedikit rasa kesakitan.
Konon, jawaban tersebut membuat Rasulullah tertawa sampai membuka bibir hingga terlihat giginya.
Di Jual Karena Lapar
Entah ada ketertarikan apa, atau mungkin butuh hiburan serta bahan untuk membangun humor yang tinggi di perjalanan, Sayyidina Abu Bakar ra. tiba-tiba mengajak Nu’aiman untuk ikut berdagang ke negeri Syam. Selain itu ikut pula Suwaibith bin Harmalah, yang bertugas membawa dan menjaga perbekalan mereka.
Alasan Abu Bakar mengajak Suwaibith karena orangnya yang amanah dan istiqomah. Sebelum berangkat, Abu Bakar pun memohon ijin kepada Rasulullah dan beliaupun mengijinkan.
Sesampainya di Syam, Abu Bakar mencari penginapan untuk bersama yang letaknya juga berdekatan dengan pasar, agar sekalian bisa berjualan barang dagangan yang dibawanya. Saat Abu Bakar sedang pergi berniaga, datanglah Nu’aiman dengan agak tergesa meminta kepada Suwaibith agar diberi makanan.
“Suwaibith, perutku terasa perih dan lapar sekali, beri aku sedikit makanan sebagai pengganjal,” pinta Nu’aiman
“Sabar kawan, ini makanan bukanlah milikku, kita tunggu sampai Abu Bakar datang karena dia yang memiliki dan majikan kita saat ini,” jawab Suwaibith.
“Sepertinya perutku ini tak bisa diajak bersabar, kalau sampai aku mati apa yang akan kau perbuat untukku?” Suwaibith diam, namun berpikir dalam.
“Barang-barang dan makanan ini bukanlah milikku, sedangkan aku sebagai penjaga haruslah amanah…. lalu aku harus dan bisa berbuat apa, coba menurutmu bagaimana?”
“Bagaimana engkau ini, aku bertanya malah kau jawab dengan pertanyaan pula,” Nu’aiman merasa jengkel terhadap jawaban dan kalimat-kalimat Suwaibith. Dalam kejengkelan hati yang seperti itu, Nu’aiman ngedumel sambil mengancam dalam hati. “Jangan salahkan aku kalau aku membalasmu nanti,” kata Nu’aiman dalam hati.
Maka pergilah Nu’aiman menuju pasar yang banyak orang berkerumun, sedang bertransaksi dagang. Lantas dia menemui beberapa orang yang kelihatannya para saudagar kaya-raya.
“Wahai saudara-saudara, nampaknya kalian para pemilik dinar berlebihan kelihatan dari kantung uangmu itu. Aku akan menawarkan sesuatu yang menarik dan sungguh membuat kalian pasti terpesona,” sapaan Nu’aiman pada mereka.
“Sesuatu yang mempesona macam apakah tuan sehingga anda sungguh mampu membuat kami-kami ini begitu terhormat,” jawaban para saudagar kaya itu.
“Ahaaa…. aku punya seorang budak yang akan aku jual sangat murah, karena memang budakku sudah terlalu banyak di rumah. Betapa susah memelihara banyak budak, toh tidak menghasilkan apa-apa kecuali tenaganya. Lebih baik aku memelihara kambing atau unta faedahnya nampak dan lebih jelas.”
Kemudian Nu’aiman melanjutkan kalimatnya. “Benarkan apa yang aku katakan pada kalian ini? Coba jawab… Jawab..??” dengan kompak mereka menjawab, “Benar tuan… Benar.” Nu’aiman melanjutkan, “Bukan tuan saja, tapi Nu’aiman… Tuan Nu’aiman itu namaku… hahahahahaha..”
Nu’aiman menawarkan Suwaibith yang diakui sebagai budaknya dengan harga sangat murahnya. “Saudara-saudara, budakku ini selalu mengaku sebagai seorang yang merdeka, dia selalu berkata begitu. Dan itu adalah kebiasaannya,” katanya sambil tertawa-tawa gembira.
Yang ditawari setuju, lalu bersama Nu’aiman mereka menuju ke tempat Suwaibith duduk menjaga barang-barang dan makanan. Nu’aiman menunjuk kepadanya. Lalu si pembeli pun langsung memerintahkan dua anak buahnya untuk menangkap, tentu saja Suwaibith berontak sambil mengatakan dirinya bukanlah seorang budak.
Tapi si pembeli berkeras mengikatnya dan tak perduli dengan perkataannya, “Kami sudah paham sifatmu.” Dan Suwabaith tetap ditarik dan dibawa paksa. Sementara Nu’aiman kini telah memiliki banyak uang dari hasil penjualan Suwaibith sebagai budak, dia belanja bermacam-macam makanan dan oleh-oleh tentu saja, kemudian dia kembali ke penginapan.
Beberapa saat setelah Nu’aiman kembali ke penginapan, datanglah Abu Bakar. Nu’aiman menawari makanan yang dibelinya dan beberapa oleh-oleh. Abu Bakar tidak begitu saja mengiyakan, ada sedikit kecurigaan dalam hatinya. Dari mana Nu’aiman mendapat banyak uang sehingga bisa membeli barang-barang dan makanan sebanyak itu.
Abu Bakar pun mencicipi beberapa makanan sambil bertanya pada Nu’aiman; “ngomong-ngomong kemana Suwaibith kok tidak kelihatan, sedang istirahatkah dia? Dengan tanpa ekspresi yang berarti, Nu’aiman menjawab, “sudah aku jual di pasar tadi.”
Betapa terkejutnya Abu Bakar. Tanpa ba-bi-bu ia langsung menarik tangan Nu’aiman untuk menunjukkan lokasi pasar tempat Suwaibith dijual. Akhirnya masalah pun teratasi, dan pulanglah kembali mereka ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, setelah beberapa hari berlalu, peristiwa tersebut pun diceritakan kepada Rasullullah. Betapa beliau tertawa terpingkal hingga gigi gerahamnya kelihatan.
Karena cerita kocak dan sangat di luar nalar tersebut, Rasulullah hampir selalu menceritakan kejadian itu di setiap ada majelis besar, yang diikuti gemuruh tawa hadirin.
Nu’aiman adalah seorang sahabat pembawa kegembiraan. Mungkin karena itu, Rasulullah pernah berkata, “Nanti pada saatnya, Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena dia sering membuatku tertawa”.
Peristiwa lucu ini terjadi setahun sebelum wafatnya Baginda Rasulullah Saw. (Dari berbagai sumber)