Sedang Membaca
Di Balik Sejarah Kodifikasi Ilmu Nahwu: dari ‘Athaf Surah at-Taubah hingga Politik
Nor Lutfi Fais
Penulis Kolom

Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang yang juga alumni pondok MUS. Kini sedang mendalami kajian rasm usmani. Pendidikan: Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang Domisili: Pondok Ngaliyan Asri K-11 Sosmed: Fais Zumna Ustuchty (facebook), fais zumna (twitter)

Di Balik Sejarah Kodifikasi Ilmu Nahwu: dari ‘Athaf Surah at-Taubah hingga Politik

Buku Syarh Mukhtashar Jiddan

Narasi sejarah sering kali tidak membawa kita pada alur cerita keseluruhan yang terjadi di masa lampau. Ia hanya menceritakan bagian-bagian tertentu, dengan sudut pandang tertentu pula. Sesuatu yang dianggap memiliki hubungan dengan si pembawa cerita. Adalah sulit menceritakan alur keseluruhannya. Karena setiap peristiwa yang terjadi di masa lampau boleh jadi mewakili banyak hal.

Jika membuka lembar pengantar naskah kitab Mukhtashar Jiddan, karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, pembaca akan disuguhkan bagaimana awal lahirnya ilmu Nahwu oleh Abu al-Aswad al-Du’aly. Dalam narasi yang diceritakan oleh salah satu muhibbin Sayyid Ahmad ini, pembaca juga akan disuguhkan dengan alur cerita kodifikasi sebagian kaidah ilmu Nahwu, satu per satu.

Cerita ini dimulai dari sebuah obrolan singkat Abu al-Aswad bersama putrinya, dilanjutkan dengan laporannya kepada sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, hingga cerita kelima kaidah yang berhasil dihimpun: pembagian kata dalam bahasa Arab menjadi tiga: isim, fi‘il, dan huruf; kaidah ta‘ajjub; macam-macam huruf nashab; ‘athaf; dan na‘at.

Di antara lima kaidah di atas, ada satu kaidah yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Saya temukan beberapa waktu yang lalu, ketika saya membaca kembali kitab syarh Matn al-Ujrumiyyah ini yang kemudian saya bandingkan dengan narasi lain dalam disiplin ilmu Naqth. Hasilnya, cukup mengejutkan!

Baca juga:  Mengenal Filsafat Islam di Masa Awal (1)

Narasi yang ditulis dalam pengantar kitab Mukhtashar ini menurut saya sangat sederhana. Penulis hanya berkepentingan menceritakan asal-muasal kodifikasi kaidah ilmu Nahwu. Padahal dalam ilmu Naqth, narasi yang ada sungguh sangat kompleks.

Diceritakan pada kaidah ‘athaf bahwa Abu al-Aswad sedang berjalan ketika tiba-tiba ia ‘mendengar’ seseorang melakukan kesalahan dalam membaca Al-Qur’an surah at-Taubah ayat tiga. Kata rasuluhu yang seharusnya di baca rafa‘, dengan harakat dlammah pada huruf lam, justru dibaca jer, dengan harakat kasrah. Narasi cerita kemudian menyebutkan ditulis lah kaidah ‘athaf.

Sementara itu, narasi yang ada pada ilmu Naqth tidak sesederhana ini.

Kala itu umat Islam sedang menghadapi krisis lahn (kekeliruan dalam pengucapan bahasa Arab). Luasnya wilayah ekspansi Islam yang berimbas pada keanekaragaman bahasa masyarakat ditengarai menjadi masalah utama. Bahasa Arab menjadi korban pertama dan yang paling nyata. Kefasihan dan kemurnian bahasanya segera terkontaminasi hingga memunculkan klaster baru yang dikenal dengan masyubah, atau kita mengenalnya sebagai ‘amiyah. Jika tidak segera diantisipasi, hal ini akan memberi dampak negatif yang jauh lebih besar.

Di saat yang sama, mushaf Al-Qur’an yang ada kala itu masih sangat sederhana: hanya berupa tulisan garis batang huruf, tanpa disertai titik dan harakat. Para sahabat dan tabi’in senior tidak mengalami kendala dengan mushaf ini. Kefasihan dan kemurnian mereka berbahasa masih melekat dengan erat. Pun demikian dengan tabi’in junior atau tabi’in tabi’in. Kekhawatiran mendalam muncul bagi mereka generasi setelahnya dan masyarakat non-Arab atau ‘ajam.

Baca juga:  Menengok Makam Mbah Abdul Wahid di Salatiga: Pasukan Telik Sandi Pada Perang Jawa 1825-1830 M

Ziyad bin Abi Sufyan atau dikenal Ziyad bin Abihi segera menemui Abu al-Aswad memintanya melakukan langkah antisipasi terhadap masalah ini. Tapi hal itu tidak mudah. Abu al-Aswad tidak serta merta menyetujuinya, bukan karena kecakapan dan kemampuannya. Ini adalah Al-Qur’an, kitab Allah. Ia merasa berat melakukan sesuatu yang bahkan sahabat pun tidak melakukannya. Padahal mereka, para sahabat, adalah orang-orang yang paling berhasrat terhadap Al-Qur’an.

Merasa menemui jalan buntu, Ziyad tidak kehilangan langkah. Ia kemudian melakukan sebuah upaya rekayasa. Ia memerintahkan seseorang untuk secara sengaja melakukan kesalahan bacaan di hadapan Abu al-Aswad. Adalah Al-Qur’an surah at-Taubah ayat tiga sebagaimana disebutkan sebelumnya. Atas kejadian inilah, Abu al-Aswad kemudian menyanggupi permintaan yang disampaikan Ziyad tempo lalu.

Apabila mencermati kedua narasi di atas dapat dipahami bahwa penyusunan kaidah ilmu Nahwu telah lebih dahulu dimulai ketimbang upaya tahsin pada mushaf Al-Qur’an. Buktinya QS. At-Taubah ini menjadi alasan ditulisnya kaidah ‘athaf yang sudah didahului dengan kaidah-kaidah lain. Tampak dari sini ilmu Naqth mempunyai sumbangsih terhadap kodifikasi ilmu Nahwu. Sementara dari redaksi yang digunakan, kata ‘mendengar’ dalam kitab Mukhtashar Jiddan menyimpan sedemikian daftar cerita panjang berkenaan dengan kondisi Arab Islam kala itu, mushaf Al-Qur’an yang ada, hingga politik kepemimpinan khilafah Islam pasca Ali.

Baca juga:  Konsepsi ‘Indonesia’ sebagai ‘Kedaulatan Sinkretis’

Sebagaimana dikutip Al-Farmawy dalam bukunya, Rasm al-Mushaf wa Naqthuhu, Hifni Nashif melihat adanya campur tangan masalah politik dalam penolakan Abu al-Aswad terhadap permintaan Ziyad. Abu al-Aswad yang telah lebih dahulu mendapat perintah ‘Ali mengenai kodifikasi ilmu Nahwu dipandang sebagai bagian dari pendukung setia khalifah keempat sepeninggal Nabi ini. Kontras dengan Ziyad bin Abi Sofyan yang menjadi gubernur untuk pemerintahan Bani Umayyah. Kendati pernyataan ini tidak dibenarkan oleh Al-Farmawy yang lebih melihat sosok Abu al-Aswad sebagai pribadi yang mengedepankan sentimen keagamaan di atas segalanya.

Kita memang tidak sepenuhnya tahu akan hakikat realita yang terjadi kala itu, cerita dibalik kodifikasi kaidah ilmu Nahwu serta dinamika yang terjadi antara ‘Ali, Abu al-Aswad dan Ziyad sebagai aktor yang memiliki kontribusi langsung terhadap upaya kodifikasi ini. Namun setidaknya, kita tahu bahwa masih banyak peristiwa di masa lampau yang tidak tercover dalam setiap narasi kesejarahan yang ada. Karenanya, jangan pernah berhenti menggali dan terus menggali. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top