Pagi dengan gerimis yang seakan tidak ada akhirnya, tidak menghalangiku melakukan rutinan lari pagi. Ya, pagi ini diajak renang, tapi susah memegang ajakan anak zaman now. Akhirnya kuputuskan lari pagi, seperti biasa, walau gerimis mengguyur badan.
Saya suka lari pagi, karena olahraga ini masih menyisakan kepala untuk memikirkan, membayangkan, hal lain. Dan pagi itu, pagi dengan gerimis yang cukup rapat, saya ingat puisi Adonis soal pagi hari:
“Pernahkah suatu pagi membuat langkah langkahmu terasa berat, ketika terbangun tubuhmu (masih) penuh dengan cinta?”
Kalau puisi bagus, seperti di atas, mudah mengingatnya. Kalau puisi liris, melow-melow cepat ngilang dari ingatan, tidak menyentuh. Sekejap setelah ingat puisi Adonis, saya ingat “kerinduan” al-Hallaj jelang kematian di tiang gantungan.
Pada detik menjelang eskusi dirinya, al-Hallaj masih sempat berpuisi tentang rindu (isyiq). Dan apakah kerinduan itu,wahai Syekh?
Dijawab oleh Syekh, “ampas nya itu saja tak terlihat, sedangkan batin, jeroannya, rindu tersembunyi,
—sangat dalam—-( و اما باطنه دق عن الوري).”
Menyambut kematian saja begitu riangnya masih sempat berpuisi. Kematian tergantikan oleh kerinduan. Kematian menjadi puisi itu sendiri. Kerinduan sendiri menjadi puisi.
Jadi, daripada olah raga yang tidak memberikan kesempatan berdendang, saya lebih memilih olahraga yang masih memungkinkan memberi peluang sambil mendengar rintik ujan dan dengar musik atau mengingat puisi puisi yg tersisa dalam hafalan. Dan terpenting adalah olahraga yang tidak menempatkan saya sekedar sebagai penggemar, penonton dan jadi komentator.