Awal Agustus 2018, saya sedang berada di line foreign imigrasi bandara internasional Imam Khomeini Tehran untuk pengecekan paspor. Antrean mengular karena kebetulan sedang musim libur.
Entah dari mana, tiba-tiba serombongan orang sudah berada depan antrian saya. Lalu mereka merengsek masuk. Ketika saya tegur, dengan entengnya mereka bilang, kalau antrean sudah diwakili ketua rombongan yang memang membawa setumpuk paspor.
Saya mulai gelisah. Tak terbilang, berapa kali saya melihat jam di tangan. Kami tertahan lama dalam antrean, padahal jam keberangkatan pesawat semakin dekat. Untunglah, di menit-menit terakhir, kami tiba di gate keberangkatan sebelum loket ditutup. Pengalaman ini akan selalu saya catat. Dalam kondisi apa pun, jangan pernah mencuri antrean.
Dalam pendekatan etika, inilah yang disebut golden rule. Ketidaknyamanan yang kita terima dari orang lain, sebisa mungkin tidak akan kita lakukan kepada orang lain.
Golden rule, sepanjang sejarah telah menjadi bahasa sosial yang menghubungkan berbagai umat sejak munculnya agama-agama Timur sampai berkembangnya agama Ibrahimi. Hampir di setiap kitab suci dan buku-buku klasik, bisa dijumpai wejangan ini.
Dalam literatur klasik Islam, pesan ini pernah disampaikan Sayidina Ali dalam suratnya yang ditujukan kepada Sayidina Hasan, putranya:
“Wahai putraku, jadikanlah dirimu timbangan di antara kamu dan selainmu. Cintailah sesamamu sebagaimana engkau ingin dicintai. Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tak suka orang lain berbuat demikan kepadamu. Janganlah berbuat zalim sebagaimana engkau tak ingin dizalimi, dan berbuat baiklah sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu” (Surat ke 31 Nahjul Balaghah)
Jauh sepeninggal para penerus risalah kenabian, Rumi sebagai sufi yang membumi dan guru akhlak, merawat tradisi ini dan mengemasnya dalam bait-bait syairnya yang indah:
خاربن دان هر یکی خوی بدت بارها در پای، خار آخر زدت
بارها از خوی خود خسته شدی حس نداری، سخت بی حس آمدی
گر ز خسته گشتن دیگر کسان که ز خلق زشت تو هست آن رسان
غافلی، باری ز رحم خود نه ای تو عذاب خویش وهر بیگانه ای
Bayangkan jika setiap perangai burukmu adalah duri
Berkali-kali duri terinjak oleh kakimu sampai akhirnya menyakiti tubuhmu
Beribu-ribu kali sifat burukmu melukai sesama, tapi kau tak peduliJika kau lupa dengan luka yang kau semai lewat perangai burukmu
Tentu engkau akan selalu ingat rasa sakit yang pernah kau alami.
Dalam bait-bait tersebut, Rumi seolah sedang berdialog dengan para pembacanya. Kita tentu akan selalu mengingat rasa sakit, kecewa, dan pengalaman tidak menyenangkan lainnya, maka sepatutnya kita menimbang bagaimana perilaku kita kepada orang lain. Biasanya, perasaan empati ini akan muncul saat kita mengalami perlakukan baik atau sebaliknya buruk dari orang lain.
Faktanya, banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa kita alami langsung. Misalnya, saya tidak pernah merasakan terlahir sebagai pemeluk agama minoritas di suatu negara. Atau, sebagai perempuan, saya tidak pernah mendapatkan tindakan kekerasan di lingkungan sekitar. Lalu, apakah dengan begitu saya tidak bisa berempati?
Simone Adolphine Weil, filsuf dan mistikus Perancis, mengatakan bahwa ada hubungan kuat antara etika dan imajinasi. Maksudnya, orang yang memiliki daya imajinasi kuat lebih mudah berempati dan berbuat baik kepada sesama.
Jadi perasaan empati ini juga dapat dibangun dengan memperkuat daya imajinasi. Setiap kali kita akan merespon tindakan orang lain, katakan pada diri sendiri: “Seandainya saya di posisi dia, apakah saya akan nyaman menerima perlakukan itu?”
Dalam bait lainnya, Rumi memberikan ilustrasi menarik.
ور تو می بینی که پایت بسته اند بر تو سرهنگان سه بنشسته اند
پس تو سرهنگی مکن با عاجزان زآنکه نبود طبع و خوی عاجز، آن
Seandainya kau melihat tangan dan kakimu terikat dan kau dalam tawanan penguasa
Maka engkau wahai para punggawa, layakkah berlaku semena-mena pada yang lemah
Rumi sekali lagi mengingatkan, saat kita berada dalam posisi lapang dan ingin berlaku sewenang-wenang kepada yang lebih lemah, bayangkan seandainya kita dalam posisi mereka yang lemah. Empati yang dihasilkan dari alam imajinasi memang tidak bisa sim salabim. Perlu latihan terus-menerus. Perlu jihad tak ada hentinya. Apalagi di era ‘click and share’ seperti sekarang ini. Ada baiknya, kita menggunakan rumus, “seandainya saya di posisi dia”.
Tentang bagaimana menumbuhkan dan mengasah daya imajinasi, saya percaya setiap kita memiliki cara masing-masing. Ada yang memilih membaca karya sastra, mengkaji cerita rakyat, menonton film, bermain teater, dan sebagainya. Dalam lingkungan pendidikan, baik formal maupun nonformal, situasi seperti ini perlu terus dijaga agar anak-anak kita tumbuh dalam iklim imajinasi yang sehat dan melahirkan generasi yang lebih empatik.