Benny Benke
Penulis Kolom

Jurnalis, penyair

Parodi Politik dan Tontonan Kedangkalan Akal Budi

“Musuh politikmu adalah kawan politikmu yang tertunda. Demikian pula sebaliknya. Kawan politikmu adalah musuh politikmu yang tertunda”. Adagium lawas ini seperti telah lama tanggal dalam kesadaran berpolitik masyarakat dewasa ini.  Hingga kini publik baru kesal dan seolah tersadar saat realitas politik memunggunginya.

Saat mengetahui jagoan politiknya yang dibela sepenuh jiwa, hati, dan harga diri, bahkan sampai siap menggadaikan hidupnya; juga siap mati, menyedekahkan hidupnya demi dan atas nama apa saja, ternyata tidak seperti citra ideal, rasanya seperti disambar petir. Hanya gara-gara idolanya membangun persekutuan politik dengan lawan politiknya, yang telah mengalahkannya, yang notabene kawan politiknya yang tertunda.

Sekarang publik yang tinggal di re-publik ini pelan-pelan baru tersadar, dengan ungkapan lawas bahwa politik adalah bisnis yang sangat buruk. Karena menang atau kalah, Anda tidak akan pernah benar-benar tahu di pihak siapa Anda berada. Terutama ketika Anda di posisi pemenang.

Kalau Anda di posisi yang kalah,  jelas pemetaannya.  Kawan seperjuangan Anda tegak lurus dengan penderitaan Anda. Sisanya,  mundur teratur. Lacur. Yang ada saat ini adalah perseteruan dan perkelahian politik dasariah. Cetek,  jauh dari mencerdaskan apalagi mendewasakan.

Politik di tangan para politisi Indonesia kebanyakan, di tahun politik yang membelah masyarakat ini, menjadi barang murahan, diceraikan dengan makna masyhurnya. Yang paling menyedihkan, politik dijadikan dalil pembenar saling menghinakan, bahkan jika diperlukan saling menihilkan lawan politik. Sampai sekarang.

Secuil kekhilafan dari lawan politik berbuah risak yang bertepi. Jika kawan politik yang terpeleset kealpaan, dirasa baik-baik saja, bahkan ditutup-tutupi dan dilindungi. Tidak di kubu sini,  tidak di kubu sana. Sama saja. Politik, pelan-pelan dan pasti menjadi tontonan brutalisme kedangkalan akal budi. Atas nama kelompok politiknya, mereka (juga kita) meraih dan mendapatkan kekuasaan. Dengan cara apa saja.

Karena toh,  “Kecurangan adalah bagian dari demokrasi, ” demikian pekik salah seorang petinggi negeri. Jangan harap mendapatkan kaidah kemuliaan dari para politisi macam ini. Bahkan dari politisi berlatar belakang kiai dan pemuka agama sekalipun.

Karena toh,  secara diam-diam maupun terang terangan,  tidak ada pertunjukan keelokan berpolitik darinya. Apalagi tontonan adab berpolitik yang tetap menempatkan manusia sebagai manusia. Hanya sedikit dari politisi itu,  yang menempatkan politik pada aras sepatutnya. Ĺebih banyak yang busung lapar sejarah dan akal budi.

Baca juga:  Politik Iqbal & Puisi Kematiannya

Yang ada,  antarlawan politik terus menyerang sampai nanti. Kalau diperlukan, gunakan instrumen negara, demi memutar balik haluan berpolitik lawan politik, agar menjadi kawan politik. Jangan berharap sikap kenabian maujud di relung sukma paling dalam di hati para politisi.  Hanya sedikit sekali yang sampai di maqam itu.  Yang sedikit itu,  kalah telak pengaruhnya di tengah pusaran perniagaan politik yang sangat melelahkan.

Sampai-sampai Jon Katz, jurnalis di AS yang lama menekuni perilaku politikus, eneg (muak) dibuatnya. Dan mengatakan, “Bahkan hewan menjadi sangat jauh lebih berarti dalam hidup kita. (Karena) kita hidup dalam budaya yang terpecah-pecah dan tersekat-sekat. Politik buruk, agama sedang berjuang, teknologi membuat stres, dan (pertumbuhan) ekonomi mandek. Apa satu hal yang dapat kita miliki dalam kehidupan yang dapat kita andalkan? Seekor anjing atau kucing yang mencintai kita tanpa syarat, setiap hari, dengan sangat setia”.

Katz ingin mengatakan,  politik itu menjijikkan. Makanya, jangan pernah bermimpi para politisi yang sebagian besar belum kelar mengeja alif ba ta semesta kazanah dunia politik itu,  akan memperlakukan  “musuh-musuh” politiknya, dengan baik, laras dan sepatutnya. Yang menempatkan “lawan-lawan” politiknya dengan sewajarnya, tanpa harus merendahkan apalagi menghinakannya.

Belum ada pertunjukan dari politisi tingkat dasariah ini,  pertarungan gagasan dan akhlak politik yang sangat terpuji. Karena ketika kompetisi lima tahunan itu kelar,  harusnya purna juga perkelahian.

Sekali lagi, jangan bermimpi menemu sikap berpolitik seperti Nabi, yang oleh karenanya patut diteladani, yang tak pernah menista, apalagi merendahkan martabat “lawan”. Yang ada pada diri para politisi saat ini tak lebih dari pertunjukan tak bermutu,  yang mendangkalkan pekerti.

Membaca Tyson dan Ali

Tidakkah kita dan mereka mampu sedikit saja belajar merendahkan diri seperti Mike Tyson,  saat disandingkan dengan Muhammad Ali. Saat Ali ditanya,  apakah Anda mampu mengalahkan Tyson di saat puncak kejayaan dan karir Anda.  Seketika Ali menjawab, “Mungkin saya cepat. Tapi saat Tyson memukul saya… ..,”

Baca juga:  Islamisasi Priayi atau Priayisasi Islam?

Ali yang saat itu berumur 47 tahun,  tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan hanya menirukan gerakan orang bersandar di sofa,  tanda K.O jika diterjang pukulan Tyson. Sejenak kemudian,  Tyson yang duduk bersebelahan dengan Sugar Ray Leonard,  sebaris dengan Ali, tertawa,  sebelum menyergah. “Saya tahu saya hebat.  Tapi akan saya beritahu sesuatu kepada Anda semua.” katanya saat itu.

Kala itu Tyson disandingkan dengan Sugar Ray Leonard dan Muhammad Ali di tahun 1989. Atau tiga tahun setelah menjadi juara dunia tinju kelas berat termuda di usia 20 tahun,  setelah meng K.O Trevor Berbick.

Tyson melanjutkan, “Di situasi seperti ini. Semua kepala harus menunduk,  setiap lidah harus mengakui (Muhammad)  Ali adalah yang terhebat sepanjang masa,” kata Iron Mike, yang seketika mendapatkan sambutan gempita dari penonton Arsenio Hall Show. Meski saat itu juga Ali kembali menjawab,  Tyson tetap yang terbaik.

Tapi Tyson mampu mengukur dirinya di kebeliannya.  Dengan kembali mengatakan, ” Sang juara sejati ini (Ali),  sangat rendah hati.  Saya telah melihatnya di atas ring berhadapan dengan sejumlah “Pembunuh”. Bersemuka dengan beberapa petinju yang memukul lebih keras dari pukulan saya. Dan Ali telah menerima pukulan terkeras sejumlah petinju hebat itu. Dan itulah yang membuat Ali tetap menjadi juara”.

Demikianlah adab berdiplomasi sepatutnya dilayangkan. Dengan jawaban yang mencerminkan kematangan. Dengan pilihan bahasa yang tertata. Dengan emosi yang terjaga. Dengan pemahaman persoalan yang prima. Dengan kedalaman budi yang sahaja. Adakah hal itu semua ada dalam sikap berpikir, berbicara dan bertindak para politisi saat ini?

Bisakah kita temukan seni berdiskusi, berdiplomasi juga bernegosiasi “antarlawan” politik tanpa harus saling memunggungi? Atau kalian sudah tak mampu lagi menahan beban betapa letihnya terus belajar dan belajar. Dan lebih suka memilih menanggungkan perihnya kebodohan. Meski kami semua juga sangat paham.

Sebagaimana diajarkan salah satu guru besar pemimpin militer dunia Napoleon Bonaparte. Pakar strategi yang buah pikirnya selalu dinanti para politisi,  karena kebijaksanaannya itu. Pada sebuah keheningan pikiran, Bonaparte pernah mengatakan, bahkan irasionalitas sangat disambut secara terbuka dalam dunia politik.

Baca juga:  Melepaskan NU dari Konteksnya: Problematik Metodologis Mietzner dan Muhtadi

Atau secara gamblang Bonaparte mengatakan,  “Dalam politik,  absurditas adalah bukan halangan”. “In politics, an absurdity is not a handicap.” Maka dari itu, sejak mula kami membiasakan diri untuk sangat tidak terganggu dengan tingkah polah para politisi yang anehaneh, tidak keruan cara berpikirnya, apalagi cara berbicaranya.

Yang seolah tidak pernah mampir ke institusi madrasah otak dan hatinya. Serta tidak pernah diajak mampir ke rumah ibadah, raganya. Meski di saat bersamaan, kami juga pelanpelan mulai mencerna,  dengan apa yang didengungkan Niccolo Machiavelli. Yang mengatakan bahwa politik tidak ada hubungannnya dengan urusan moral.

Moral silakan pergi ke mana,  politik silakan pakansi ke mana. Moral kita simpan saja di bawah tilam,  saat kita berurusan dengan dunia politik. Makanya jangan heran jika ada pejabat politik yang latah, gagap dan gugup membacakan teks berbunyi: “Pisahkan agama (moral) dan politik”.

Meski para wakilnya kemudian mengoreksi dan mengatakan sebaliknya. Mungkin dia terlalu lama bergaul dengan orang-orang keliru. Sehingga belum sempat dikenalkan dengan Francis Bacon. Yang jauh-jauh hari mewanti-wanti,  memang sangat sulit dan berat sekali untuk menjadi politisi sejati,  yang pada saat bersamaan,  juga harus sangat bermoral.

It is as hard and severe a thing to be a true politician as to be truly moral.” Makanya,  manusia terpilih sekelas Albert Einstein sekalipun tetap dibuat mumet (pusing) dan nyaris pecah ndase (pecah kelapa) oleh dinamika politik. Meski demikian,  ironisnya,  ilmuwan dan fisikawan penemu teori relativitas, itu tetap menghimbau kepada masyarakat untuk tetap terlibat dalam khasanah dunia politik.

Meski politik,  menurutnya,  jauh lebih kompleks dari ilmu pengetahuan dan fisika sekalipun.  “Politics is more difficult than physics.” Jadi,  masih mau bermain di hutan politik Indonesia?  Selamat datang di dunia parodi politik Indonesia, wahai para politisi muda. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top