Sedang Membaca
Beramadan di Iran, Yuk!
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Beramadan di Iran, Yuk!

Di Indonesia, Ramadan identik dengan kolak dan Salat Tarawih. Di Iran, tidak ada makanan berkuah manis pembuka iftar seperti kolak, begitu juga dengan Salat Tarawih.

Lain ladang lain belalang, peribahasa ini begitu terasa saat saya menjalani tahun pertama puasa di Iran. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk bisa bertoleran. Seiring berjalannya waktu, saya mulai berkenalan dengan tradisi berpuasa ala orang Persia.

Meski tak ada Tarawih, namun dijumpai ritual salat malam Ramadan yang dilakukan di rumah masing-masing dengan waktu yang fleksibel. Karena sifatnya sunah, tentu tidak semua menjalankannya. Di malam Ramadan, warga Iran tetap dengan berbagai aktivitasnya masing-masing. Ada yang ke masjid untuk mengikuti tadarus Alquran, ada juga yang memilih nge-mall atau nonton pertunjukan teater.

Di malam ke-4 Ramadan, kebetulan seorang teman menawarkan tiket pertunjukan gratis teater bertema kritik wakil rakyat. Sebuah karya yang diadaptasi dari penulis asal Rusia.

Yang menarik, gedung teater ini berada di jalan Novel le Chateau, sebuah kawasan di Teheran klasik yang dipenuhi gedung-gedung teater serta deretan kantor kedutaan besar Vatikan, Italia, dan Prancis. Jadilah malam itu, saya ikut mencicipi aroma Ramadan rasa Eropa.

Malam Ramadan lainnya, saya mengikuti acara buka puasa outdoor di Bundaran Imam Husain. Bundaran ini berlokasi di kawasan padat Teheran. Di sekitar bundaran, banyak pedagang kaki lima, warga yang berbelanja, atau pejalan kaki yang hanya sekadar melintas. Ide awal digelarnya acara buka bersama ini untuk menjamu mereka yang masih berada di luar rumah saat azan berkumandang.

Baca juga:  Pendidikan Seni, Anak-Anak Kita, Gus Dur hingga AL-Ghazali

Namun, karena banyak warga yang sengaja datang untuk menikmati suasana kebersamaan, dibuatlah acara khusus menjelang berbuka. Jangan tanya bagaimana syahdunya suasana senja. Ketika kalam-kalam Ilahi berpadu dengan langit yang berganti jubah malam.

Menjelang azan berkumandang, para petugas bergegas membagikan kotak makanan. Isinya cukup sederhana; air mineral, gelas teh, kurma, beberapa helai roti lavash, ditambah keju dan selai ukuran mini. Sebenarnya, ada makanan khas Iran yang biasanya dihidangkan menjelang berbuka, yaitu zolbia dan sup ash. Zolbia, semacam panganan yang bahan dasarnya terigu, lalu digoreng dan dicelupkan ke dalam larutan gula. Sedangkan sup ash, terbuat dari sayuran hijau dan kacang-kacangan. Cara menghidangkannya ditambah dengan susu asam. Rasanya memang lezat, tapi buat saya kolak is the best.

Haul Sayidina Ali  

Jika kolak dan Tarawih merupakan tradisi khas berpuasa di Indonesia yang tidak ada di Iran. Lalu, adakah tradisi Ramadan di Iran yang tidak ada di Indoensia? Ya, tentu saja ada. Salah satu yang sangat penting ialah peringatan haul Sayidina Ali KW. Acara ini, biasanya diadakan pada malam ke-19, 21, dan 23 Ramadan yang dibarengkan dengan ritual malam lailatulkadar. Pada malam-malam itu, warga berduyun-duyun memadati masjid terdekat. Seringkali, jamaah membludak sampai ke jalan-jalan.

Baca juga:  Renungan 75 Tahun Indonesia Merdeka: Sejarah Kemerdekaan Indonesia Harus Ditulis Ulang

Biasanya acara berlangsung dari jam 10 malam sampai menjelang sahur, diawali dengan pembacaan Alquran, ceramah keagamaan, dan yang khas adalah pembacaan azadari atau puisi duka yang dinyanyikan dengan langgam Persia mengenang sosok Sayidina Ali. Acara diakhiri dengan doa bersama sambil meletakkan Alquran di atas kepala. Sebelum jamaah berpencar, panitia akan membagikan nazri, yaitu makanan yang dimasak oleh seseorang yang memiliki hajat tertentu dan dibagikan di hari tertentu, seperti di acara peringatan haul Sayidina Ali ini.

Sebagaimana diketahui, Sayidina Ali meninggal pada 21 Ramadan 40 H oleh pedang beracun yang dihujamkan Abdurrahman bin Muljam. Membuka lembaran sejarah ini, pada satu sisi memang akan menguak luka sejarah awal kemunculan Islam. Namun, di sisi lain dapat menyegarkan kembali ingatan kita pada pesan-pesan kemanusiaan yang tak lekang oleh zaman.

Pertama, sikap Sayidina Ali melarang pengikutnya untuk membalas perbuatan Ibnu Muljam. Karena unsur balas dendam inilah yang akan terus memupuk permusuhan dan pertumpahan darah di antara umat manusia.

Kedua, sejarah mengajarkan akan selalu ada orang dengan model Ibnu Muljam, yang secara lahiriah paling rajin salat, puasa, dan ibadah lainnya, namun perilakunya sangat intoleran. Lahirnya gerakan semacam ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya, merupakan varian dari bentuk muljamisme zaman now.

Akhiran, semoga Ramadan kali ini tidak hanya membawa kita pada kesalehan individu, tapi juga menjadi pribadi yang rahmatal lil alamin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top