Ahmad Solkan
Penulis Kolom

Alumnus PP At-Taslim Soditan Lasem Rembang, kini menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dan aktif di LPM Paradigma UIN Sunan Kalijaga.

Katakan “Tidak” pada Rasisme!

Parlemen Israel mengadopsi undang-undang yang mendefinisikan negara Israel sebagai negara bangsa orang Yahudi . Undang-undang yang disahkan hari Kamis (19/7) menyebut Israel sebagai tanah air historis orang Yahudi dan mengatakan orang Yahudi memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri di sana.

 

Penetapan UU ini secara otomatis tentu menjadikan warga Yahudi menjadi eksklusif. Sedang warga-warga Israel yang keturunan Arab dan lainnya menjadi warga kelas dua. Hal ini dapat menjadikan diskriminasi terhadap warga non-Yahudi.

 

Selain itu, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini terkait rasisme, yakni pensiunnya bintang timnas Jerman, Mesut Ozil pada Minggu (22/7), karena mendapat perlakuan rasisme dan tidak hormat sebab akar keturunan Turki-nya. Dia dan Ilkay Gundogan, seorang rekan setimnya yang juga keturunan Turki, berpose bersama Erdogan, namun mereka dicemooh oleh para penggemar Jerman dalam pertandingan pemanasan sebelum Piala Dunia di Rusia.

 

Dalam cuitannya di Twitter, Mesut Ozil menyatakan tidak terima terhadap segala bentuk rasisme yang dilontarkan oleh para pendukung dan media Jerman terkait latar belakang dan fotonya dengan Presiden Turki Erdogan. Ozil mengatakan bila itu adalah tindakan yang melanggar pribadi karena mengkambinghitamkan garis keturunan, nenek moyang dan cara ia dibesarkan menjadi penyebab penampilan buruk timnas Jerman.

Baca juga:  Rasulullah: Semua umatku akan Masuk Surga kecuali Satu Golongan

 

Baik penetapan UU bangsa Yahudi dan kasus Mesut Ozil adalah bentuk rasisme. Kasus-kasus semacam ini memang masih tumbuh subur di muka bumi ini, baik di negara-negara maju maupun negara berkembang.

Apa pun dalih dan alasannya rasisme tidak bisa dibenarkan. Karena setiap manusia mempunyai hak kodrati yang bersumber dari Allah SWT.

Apa pun bentuk fisik, latar belakang, ras dan suku adalah takdir dari Allah SWT. Kita tidak dapat menolak itu. Kita tidak dapat menolak lahir di rahim siapa, keluarga mana, ras dan suku apa. Karena itu adalah kodrat manusia dari Allah SWT.

 

 

Rasisme di Indonesia

Kalau berbicara rasisme di Indonesia, kita pasti tidak akan lupa pada peristiwa besar pada Mei 1998. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Warga etnis Tionghoa kala itu menjadi korban dari kerusuhan tersebut. Selain itu, kasus etnisitas juga terjadi di Sampit Kalimantan Tengah pada 2001. Konflik tersebut terjadi antara etnis Madura dengan Etnis Dayak. Selanjutnya Ambon, juga pernah terjadi konflik pertikaian yang bermula dari sentimen agama. Korban yang gugur pun tidak bisa dibilang sedikit. Belum lagi kasus-kasus rasisme dan SARA yang lain di Tanah Air yang tentunya tidak sedikit.

 

Dalam esai Asmin Fransiska yang dimuat di dw.com, ia menulis bahwa Frances Stewart, Graham Brown, dan Luca Mancini pada 2005 pernah melakukan penelitian tentang mengapa pentingnya melihat ketidaksetaraan horizontal di Indonesia. Mereka menilai, ketidaksetaraan horizontal menjadi salah satu faktor penting atas kekerasan vertikal yang terjadi. Mereka mendefinisikan ketidaksetaraan horizontal sebagai ketidakadilan antar kelompok. Kelompok ini bisa bervariasi mulai dari kelompok yang didasarkan karena persamaan etnis, ras, agama, gender atau usia. Tidak jarang satu individu bisa masuk ke lebih dari satu bagian kelompok tertentu.

Baca juga:  Tren Habib dan Ulama

Kelompok-kelompok ini pun memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada kelompok yang berafiliasi dengan batasan yang sangat ketat (fleksibilitas perubahan anggota lebih sempit). Menjadi anggota kelompok tertentu membawa individu kepada perlakuan yang berbeda-beda daripada kelompok lain (diskriminasi salah satunya). Menjadi anggota kelompok tertentu juga bisa merupakan sebuah identitas yang penting dan dirasakan memiliki kontribusi yang sangat signifikan kepada masyarakat.

 

Sayangnya, kesetaraan antar individu atau kelompok dalam masyarakat belum sepenuhnya disadari dan diamalkan oleh setiap masyarakat kita. Apalagi negeri kita terdiri dari berbagai suku, etnis ras, suku, dan agama. Sangat rentan akan perpecahan, kerusuhan, dan rasisme. Perbedaan sangat mudah disulut menjadi konflik. Ini terjadi karena kesetaraan antarwarga masyarakat kurang. Yang ada justru merasa eksklusif dari kelompok atau masyarakat yang lainnya.

 

Dalam Islam juga diterangkan, perbedaan merupakan fitrah. Seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.

 

Sudah sepantasnya kita memperlakukan orang lain meskipun berbeda dengan kita dengan adil. Kita perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Atau bahasa lainnya memanusiakan manusia. Kalau menurut simbah KH A Mustofa Bisri, Nabi Muhammad SAW ialah seorang manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia.

Baca juga:  Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

 

Mari hargai perbedaan dan katakan serta tanamkan pada diri kita “untuk tidak pada rasisme”. Karena perbedaan merupakan fitrah kehidupan dari Allah, Tuhan semesta alam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top