Sedang Membaca
Delusi yang Menghancurkan Manusia
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Delusi yang Menghancurkan Manusia

Bangsa kita baru saja mencatatkan sejarah baru dalam sebuah hajatan besar pemilihan presiden. Bagi kami, tak begitu penting Jokowi atau Prabowo yang memenangkan kontestasi. Kami seiya sekata dengan saudara Menak Tembong Agung yang menuliskan pendapatnya begini:

“Rasulullah sudah membahagiakan Jokowi dengan membuka al Hujroh Asy Syarifah untuknya sekeluarga. Saya belum pernah dengar cerita orang Indonesia yang pernah masuk ke dalamnya. Kendati sekelas ulama lajnah daimah, habaib, raja Arab sekali pun, tidak dibukakan pintu oleh Rasulullah Saw. Orang yang bisa menembus pintu Agung menuju pasarean Beliau adalah ia yang mencintai dan dicintai oleh Rasulullah saw. Orang itu ternyata mantan tukang mebel yang banyak difitnah dihina bangsanya sendiri. Ia telah menang, bahkan sebelum pemilu dimulai.”

Rasulullah Muhammad Saw lah yang menyematkan mahkota kemuliaan di kepala Jokowi, di hadapan sejarah manusia modern yang kalang kabut dihembalang isu agama.

Dalam istilah teknis bahasa kaum sufi, Jokowi adalah المراد /al-murod; orang yang dikehendaki (datang) sowan secara khusus oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiri.

Pengabdian, darma bakti Jokowi yang tulus ngrumat, mengurus umat Kanjeng Nabi Saw di Indonesia, diterima oleh Beliau. Masihkah ada di antara saudaraku yang sanggup menghina orang yang sebegitu dimuliakan oleh Rasulullah Saw itu? Jika masih ada, kami kira Anda tergolong manusia yang degil.

Ada satu lagi pelajaran berharga yang bisa kita petik dari hajatan nasional pada 17 April 2019 yang telah lalu. Prabowo yang pada 2014 silam sudah dibungkam Jokowi di bawah dulinya, kali ini keukeuh tak mau kalah. Ia bahkan mendeklarasi kemenangannya sendiri. Bertekad menggerakkan kekuatan massa bila ternyata kalah. Lebih dari itu, sesudah empat kali deklarasi kemenangan semu, ia malah melantik, mendapuk, menahbis diri sebagai “presiden” terkonyol. Jauh lebih lucu melampaui Srimulat.

Baca juga:  Kita adalah Anak-Cucu Waktu

Beberapa ahli psikologi mulai unjuk suara tentang penyakit yang diidap Prabowo– tentu setelah Jokowi beroleh sambutan selamat dari para pemimpin dunia, atas masa jabatan kedua yang sedang menantinya. Para ahli kejiwaan itu bersepakat bahwa mantan menantu Soeharto itu mengidap sindrom delusional megalomaniak. Aduh, istilah apalagi ini…

Di Amerika Serikat, istilah post election stress disorder (PESD) atau gangguan stres pasca pemilu telah lama dikenal. Menurut survei yang dilakukan American Psychological Association (APA) pada 2016-2017, stres pasca pemilu di AS meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Laporan tersebut menemukan, gejala stres yang dialami meliputi sakit kepala, gelisah, cemas, hingga depresi.

Bagaimana dengan kita?

Begini. Kosa kata angker itu terambil dari kata delusion dalam bahasa Prancis. Kiranya bisa diartikan, pikiran atau pandangan yang tidak berdasar (tidak rasional). Biasanya berwujud sifat kemegahan diri atau perasaan dikejar-kejar; atau semacam pendapat yang tidak berdasar kenyataan. Dunia psikologi mendefinisikan penyakit ini sebagai keyakinan psikotik palsu yang terus-menerus mengenai diri, orang-orang, atau benda-benda di luar diri yang dipertahankan meskipun bukti yang tak terbantah bertentangan. Megalomaniak itu sejenis psikopatologi. Pengidapnya cenderung haus akan fantasi berkuasa & menguasai lian. Apa pun caranya.

Hari-hari belakangan ini gawai kita disarati meme, foto, rekaman video aksi dagelan Prabowo di rumahnya, Jalan Kertanegara. Malah tak sedikit dari warganet yang kemudian merekaulang tingkah anak Soemitro itu menjadi lebih koplak & menggelitik perut. Tapi tunggu dulu. Wajarkah itu semua? Benarkah tanggapan kita untuk seorang anak manusia bernama Prabowo? Betulkah hanya dia sebiji yang mengidap sindrom tersebut?

Anda boleh pernah berhasil menerima kekalahan dalam banyak ajang perlombaan. Tapi menerimanya sebagai kenyataan hidup, ini yang perlu kita amati. Terutama pada diri sendiri.

Boleh jadi, Prabowo adalah cerminan nuansa jiwa & batin kita juga. Sudah seberapa terampil kita menerima kenyataan-keabsahan takdir hidup masing²? Apakah sudah dimafhumi bahwa segala yang kita lakukan, perjuangkan, korbankan, sejatinya hanya untuk diri sendiri semata?

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (3): Tanah Garapan (Mukhabarah, Muzara'ah, dan Musaqah)

Berkorban atau tidak, kekasih pujaan hati belum tentu menjadi istri. Bahkan Lady Diana sudah tahu lebih dulu ia akan menjadi istri Pangeran Charles, saat sowan ke Eyang Santri di Giri Jaya, Cidahu. Padahal ia masih duduk di bangku SMA dan jelas bukan siapa-siapa & tak melakukan persiapan apa pun untuk menjadi putri Buckhingham.

Ya, itulah yang dinamakan enigma. Teka-teki hidup nan misterius. Apa yang bisa kita pahami dari hidup ini? Apa pula yang bisa kita mafhumi dari agama? Manakah di antara keduanya yang lebih dulu harus dipelajari? Itu baru dua matra. Kita belum lagi menyertakan khazanah kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan sains–sebagai perangkat tuk memaklumi hidup ini.

Mereka yang agamis, mesti akan mengalami pemisahan tegas antara dunia-akhirat. Seolah hidup di sini tiada berarti. Hidup di akhirat sajalah yang dikehendaki. Lantas bisakah mereka tak perlu lahir ke dunia, dan langsung ke akhirat? Jawabannya jelas tak!

Mereka yang cenderung menjalani hidup dalam kearifan budaya manusia, akan lebih sering menolak perkembangan zaman dan lupa memetik kearifan baru dari era yang sedang melintas kini. Sebaliknya, para ilmuwan dan saintis, menganggap hidup yang kuno dan tradisional tak lagi bisa diharapkan. Hidup adalah kemajuan. Teknik yang berubah teknologi. Modernisasi. Itulah jalan terbaik menunggangi hidup. Bagaimana nasib agama? Maaf, tuhan bagi mereka adalah akal semata.

Ajaib, matra mana pun yang digunakan, hidup selalu membuka lebar pintu pemahaman bagi manusia. Selalu ada manusia bijak bestari yang hadir di tengah kita, di zaman apa saja.

Semua mereka menggunakan segala kapasitas dirinya tuk berusaha menyelam jauh ke dalam samudera hidup ini–yang bagi mereka bukan perkara mulai dari mana, namun bagaimana cara menikmati segala yang diberikan tuhan dalam bentangan alam raya, mengolahnya dengan kesadaran penuh menyeluruh, menjadikannya laku kebajikan sebagai diri yang paling pribadi, unik, dan satusatunya di alam semesta.

Baca juga:  Menanti Kabul Baru

Dengan mendaku diri sebagai Muslim, sudahkah kita sungguh benar merasa selamat sejahtera sepanjang waktu? Sudahkah kita mendamaikan diri sendiri dengan masa lalu & masa depan, lantas menjadi sumber kedamaian di antara manusia lain? Apakah kebutuhan kita pada agama, melampaui rasa butuh pada makan-minum? Siapakah yang paling beragama dari diri kita. Kenapa tubuh yang melanggar perintah tuhan, tapi malah hati yang gundah gulana?

Manakah yang benar-benar milik kita dalam hidup ini? Toh tubuh yang kita pertahankan mati²an ini pun pinjaman dari alam raya. Tuhan telah membekali kita dengan semua piranti terbaik tuk melintasi arung jeram dunia. Namun rupanya, laku hidup yang kita jalani, kalah santai tinimbang ayam² di halaman. Jadi, apakah yang sejati dari hidup & diri ini?

Kawulo nyuwun pangapuro, Gusti. Tolong hamba diajari hakikat dari segala sesuatu. []

Arcadomas, 21 April 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top