Sedang Membaca
Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra
Alfan Khumaidi
Penulis Kolom

Penulis kelahiran Banyuwangi. Alumni Blokagung yang kini domisili di Old Cairo, Mesir.

Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra

Menjadi muazin berarti menjadi pengingat dan pemberi tanda masuknya waktu salat. Ulama menyatakan bahwa menjadi muazin jauh lebih baik deri menjadi imam salat. Tapi kenapa Rasul tidak azan sendiri sedang kita tahu bahwa Rasulullah tidaklah melakukan sesuatu kecuali itu yang paling utama, tapi kenapa jika azan lebih baik dari menjadi imam tapi beliau tidak melakukannya?

Jawabannya tentu demi kemaslahatan, sebab jika Rasul yang memanggil untuk salat niscaya kegiatan umat Islam akan mandeg total. Semua yang mendengar seruan harus dan wajib menyambutnya. Kendati sedang sibuk di depan tungku membuat roti. Sekalipun rotinya akan rusak! Dan tentu itu masyaqah.

Bukankah kita ingat cerita dari seorang sahabat yang saat salat sunah dia dipanggil Rasul tapi tidak menjawabnya. Ia tahu jika dalam salat lalu berbicara salatnya akan batal. Apalagi malah bicaranya karena menyanbut seruan orang lain. Ia tidak tahu bahwa seruan Rasulullah berbeda dengan seruan orang biasa. Maka setelah salat, Rasul menegurnya supaya jika tengah melakukan ritual sunah lalu dipanggil oleh Rasul hendaknya menyambutnya tanpa menunggu ritual sunah itu kelar.

Jika dalam ritual sunah saja kita diperintahkan untuk meninggalkannya karena seruan Rasul, bagaimana jika seruan Rasul itu via azan?

Baca juga:  Ngalap Berkah dengan Ngaji Pasanan

Ulama sepakat bahwa muazin haruslah bukan orang yang tunanetra. Syafiiiyah menyatakan makruh. Alasannya jelas sebab orang tunanetra tidak bisa melihat waktu. Bagaimana mungkin orang yang tidak tahu kapan waktu berganti lalu dia menyeru orang untuk urusan yang paling krusial yaitu salat?

Tentu urusannya beda jika penyandang tunanetra itu hanya melakukan tugas azan sedang kapan ia azan ditentukan oleh orang yang tahu waktu (al-miqaati). Tentu yang mengingatkan orang yang bisa melihat. Maka ini boleh.

Menurut catatan sejarawan gaek Mesir Ali Mubarak Basya, Al-Azhar memiliki tradisi yang berjalan cukup lama, yaitu muazin haruslah dari pelajar yang tunatera. Para muazin itu diambil dari ruwaq al-umyan (serambi penyandang tunanetera). Sebuah serambi di Al-Azhar yang khusus dihuni para penyandang tunanetra.

Azan sebelum era toa tentu harus di tempat yang tinggi. Terlebih para fukaha juga menyunahkan. Tempat tinggi masjid yang salah satu fungsi awalnya adalah untuk mengumandangkan azan adalah menara. Al-Azhar memiliki banyak menara, yang paling tinggi menara Qaytbai dan al-Ghuri. Menara yang dibangun oleh dua sultan Dinasti Mamalik itu bertempat di sebelah barat masjid. Kalau arah kiblat di Mesir ke timur, maka dua menara itu berada di posisi barat dan ujung awal masjid sebelum memasuki shahn atau ruang terbuka dalam masjid. Di kawasan ini rumah kotak-kotak masyarakat sekitar tersusun rapi.

Baca juga:  Napoleon, Al-Azhar, dan Kedokteran

Tiap menara memiliki bilik khusus. Tempat di mana para muazin singgah. Ia akan bergegas azan jika mendapat aba-aba dari al-miqaati. Nampaknya selain tempat muazin, tempat ini juga digunakan khalwat para santri Al-Azhar.

Di atap yang sama juga Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari menulis syarah nazam Bahjatul Wardiyah dengan judul Ghurarul Bahiyah setiap Senin dan Kamis. Sebagaimana dituturkan oleh Syeikhul Islam pada Sidi Sy’rani yang diabadikan dalam Thabaqat Shughra.

Kenapa muazin Al-Azhar dulu harus tunanetra? Supaya orang yang berada di ketinggian tidak bisa melihat aurat atau hal yang sengaja ditutupi dalam rumah tetangga masjid.

Selain alasan menjaga aurat tetangga masjid, tentu boleh juga dikatakan bahwa muazin tunanetra juga sunah, sebab Rasul menunjuk Ibnu Ummi Maktum, salah seorang sahabat penyandang tunanetra, menjadi muazin tetap selain Bilal di Madinah, Abu Mahdzurah di Makah dan Saad al-Qurazhi di Quba. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top