
Di antara semua sunnah Rasulullah Saw—sedari cara beliau makan hingga memimpin, mau yang berupa kelembutan pada anak-anak hingga keberanian di medan perang—ada satu sunnah yang jarang disebut di mimbar-mimbar, namun menjadi intisari dari semua perjalanan ruhani manusia: “menjadi hamba”.
Sebelum diutus sebagai nabi dan rasul, Beliau terlebih dahulu adalah ‘abdullah—hamba Allah. Malahan tak seorang pun di Makkah yang meragukan kejujurannya, kefasihannya berbicara, kecerdasan hatinya, dan keteguhannya memegang amanah. Tentu bukan kebetulan pula bila sosok yang kita puja ini, lahir dari pernikahan agung antara pemuda ‘Abdullah dengan gadis Aminah.
Pada saat Allah mengabadikan momen tertinggi dalam sejarah spiritual manusia—Isra’ dan Mi’raj—justru yang disebut bukan gelar kenabian, bukan kerasulan, bukan maqam kekasih, melainkan:
“Subhānalladhī asrā bi ‘abdihi”
“Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya…”
(QS. Al-Isra [17]: 1)
Keintiman ilahi mencapai puncaknya bukan dalam gelar, tapi dalam kehambaan pada-Nya (‘abdihi). Dalam sebuah hadits Qudsi yang suci dan mengguncang nalar, Allah SWT berfirman:
“Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia bertindak, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.”
(HR. Bukhari)
Kehambaan bukanlah kekalahan, tapi jalan pulang. Jalan menjadi cermin Ilahi. Nabi Muhammad SAW, sebagai insan kamil, adalah cermin itu—karena beliau mengosongkan dirinya hingga hanya Allah yang terlihat.
Dalam sufisme, ini disebut fana’, dalam tradisi Vedanta dikenal sebagai neti neti—”bukan ini, bukan itu”—hingga hanya Ada mutlak yang tersisa. Dalam Taoisme, hamba sejati adalah yang tidak menyatakan kehendaknya sendiri, tetapi mengalir dalam Tao, Arus Yang Tidak Bernama.
Maka ubudiyyah bukanlah penjara ego, melainkan pembebasannya. Ia adalah kesadaran mendalam bahwa tidak ada daya dan upaya—laa hawla wa laa quwwata illa billah—dan dalam pengakuan total itulah, seorang manusia menjadi bening seperti cermin bening tempat cahaya Tuhan bersemayam.
Itulah Nabi kita. Ia tidak menangis karena dirinya dilukai, tetapi karena kita melukai diri kita sendiri. Ia tidak memikirkan kehormatannya, tapi kehormatan kita sebagai makhluk yang dicintai Tuhan.
Dalam malam-malam sunyi, jauh dari sorot sejarah, beliau berdoa bukan untuk tahta atau kemenangan tapi untuk kita. Hal itu juga yang masih dipanjatkannya hingga akhir hayat. “Ummati, ummati, ummati... Umatku, umatku, umatku).”
Maka tak syak bila tiga orang ulama kampiun yang meneladani perilaku mulia itu dengan doa indah mereka.
Allahumaghfir li ummati Sayyidina Muhammad
(Ya Allah, ampunilah umat Sang Cahaya Semesta Nabi Muhammad)
Allahummarham li ummati Sayyidina Muhammad
(Ya Allah, rahmatilah umat Tuan kami Tercinta Nabi Muhammad)
Allahumastur li ummati Sayyidina Muhammad
(Ya Allah, lindungilah umat Panutan kami Nabi Muhammad)
Allahummajbur li ummati Sayyidina Muhammad
(Ya Allah, perbaikilah dan sembuhkanlah umat Pemuka Langit-Bumi Nabi Muhammad)
Ketiga ulama tersebut adalah Abah Guru Sekumpul (Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari), seorang ulama karismatik dari Kalimantan Selatan, yang menganjurkan pembacaan doa ini empat kali setelah shalat Subuh.
Syekh Samman al-Madani, seorang sufi besar yang dikenal sebagai penjaga makam Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa rutinitas membaca doa ini menjadi sebab diangkatnya maqam beliau oleh Allah Swt.
Syeikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama asal Banten yang menulis doa serupa dalam karyanya sebagai bagian dari wirid untuk memohon husnul khatimah (kematian yang indah).
Doa ini bukan sekadar kata-kata. Ia adalah gema dari cinta Ilahiah yang meluber lewat seorang manusia yang telah kehilangan dirinya sepenuhnya dalam Allah. Inilah maqam al-mahbub—yang dicintai.
Tradisi Perennial—hikmah abadi yang mengalir dari agama-agama samawi dan kebijaksanaan purba—mengajarkan bahwa inti semua pencarian spiritual adalah: kembali kepada Yang Maha Esa melalui kehambaan yang sadar. Dari Buddha yang meninggalkan istana untuk menjadi pengembara sunyi, dari Isa al-Masih yang berkata “Aku tidak bisa berbuat apa-apa dari diriku sendiri, melainkan seperti yang Aku dengar, demikianlah Aku menghakimi…”—hingga Nabi Muhammad SAW yang meletakkan dahinya di tanah sambil menangis demi umatnya. Semua adalah gema dari satu panggilan;“Jadilah hamba. Maka engkau akan melihat Tuhan.”
Maka sunnah paling agung bukanlah penampilan. Bukan pula ritual kosong tanpa hati.
Sunnah paling tinggi adalah: berjalan di bumi tanpa merasa memiliki bumi. Menjadi sesuatu tanpa merasa menjadi siapa-siapa. Menjadi hamba seperti Nabi kita.
Menjadi umatnya bukanlah kehormatan semata. Itu adalah janji tak terlihat—untuk mewarisi kehambaannya. Bukan sekadar shalat, puasa, atau berjenggot. Tapi membasuh wajah dunia dengan kasih, menahan diri dari amarah yang ingin menang, dan menengadahkan tangan di malam-malam bisu hanya untuk berkata:
“Aku ini bukan siapa-siapa. Tapi aku ingin jadi hamba seperti engkau, ya Rasulullah.”
Maka, jika engkau merasa kecil, terhina, tak berarti—itu bukan kutukan. Itu bisa jadi panggilan. Sebab yang terpilih untuk menjadi hamba adalah mereka yang sudah cukup hancur untuk tahu bahwa hanya Allah yang utuh.
Di sanalah sunnah sejati Rasulullah, hidup. Bukan hanya di jubahnya, tapi dalam luka dan tangis kita yang tetap memilih sujud.
Airmata Cinta Nabi Mulia
Seorang ayah kehilangan anaknya, jelas merupakan duka yang menembus batas bahasa. Namun bagaimana jika yang kehilangan itu adalah seorang Nabi, utusan Tuhan, kekasih langit dan bumi?
Rasulullah Muhammad SAW, manusia paling mulia, tidak luput dari pedihnya perpisahan. Dari tujuh anak yang dianugerahkan Allah kepadanya, enamnya wafat lebih dahulu. Hanya Fatimah az-Zahra, cahaya yang keluar dari jiwanya, yang bertahan melewati kemangkatan Beliau—dan itu pun hanya sebentar saja.
Dalam sejarah hidup Rasulullah, kita menemukan tangisan yang bukan keluhan, dan kesabaran yang bukan keheningan tanpa rasa. Kita bisa mengenali kemuliaan hati seorang hamba yang tetap tunduk kepada ketentuan Tuhan, bahkan ketika yang direnggut adalah darah dagingnya sendiri.
Al-Qasim, anak pertamanya, wafat saat masih menyusu. Disusul Abdullah, yang juga tak sempat mengeja kehidupan. Lalu Ibrahim, satu-satunya anak dari Maria al-Qibthiyyah, yang wafat dalam pelukan sang Nabi di usia setahun lebih. Rasulullah mencium keningnya yang dingin, air matanya jatuh, lalu Beliau berkata:
“Airmata ini adalah rahmat. Hati bersedih, mata menangis, tetapi kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Allah.”
Itu bukan kelemahan. Tapi sebentuk kekuatan spiritual paling luhur: merangkul duka dengan cinta kepada-Nya.
Ketiga putri Beliau—Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum—juga wafat lebih dulu. Rasulullah menyaksikan mereka menderita, tersakiti oleh boikot, hijrah, bahkan perceraian karena keislaman mereka. Tapi ia sabar, ia terus mencintai, dan tak sekali pun mencela takdir.
Satu-satunya yang tersisa adalah Fatimah az-Zahra, belahan jiwanya, yang wajahnya disebut-sebut paling mirip dengan Beliau. Tapi bahkan Fatimah pun, dalam duka mendalam usai kepergian ayahandanya terkasih, tak lama kemudian menyusul. Ia wafat enam bulan setelah Rasulullah SAW. Seakan dunia ini hanya layak menampung sedikit sekali dari keturunan Beliau—karena yang lainnya terlalu suci untuk ditinggalkan terlalu lama.
Di sini, kita belajar satu hal yang teramat dalam:
Menjadi kekasih Allah bukan berarti bebas dari derita. Justru, kadang, derita adalah surat cinta paling misterius dari-Nya. Dalam tasawuf dan hikmah perennial, para wali dan nabi seringkali mengalami ujian terberat karena hati mereka paling siap untuk dititipi rahasia kesakitan, dan dari itulah, mereka memancarkan cahaya untuk dunia. Sebab cinta yang tidak disaring oleh air mata, belum tentu cukup dalam untuk menjadi jalan kembali kepada-Nya.
Rasulullah SAW tidak membangun istana untuk anak-anaknya. Beliau tidak menjanjikan umur panjang atau dunia gemerlap. Tapi memberi mereka warisan agung: keimanan yang utuh dan hati yang lembut.
Di balik kehilangan anak-anaknya, Nabi tidak memohon agar diberi pengganti. Beliau malah memohon agar kita, umatnya, diselamatkan. Inilah cinta tertinggi seorang ayah. Cinta yang tak menuntut dibalas. Cinta seorang Nabi. Cinta seorang Hamba Allah nan paripurna. []