Pecahnya Perang Banjar di Kalimantan Selatan tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa di Tambai (Serambi) Mekah, yang kemudian menjadi julukan Kota Martapura. Pergerakan nativisme di Tambai Mekah merupakan titik awal perlawanan yang memunculkan tokoh sentral Perang Banjar, yakni Pangeran Antasari. Titik berat tulisan ini adalah kehadiran tokoh “Sayyidina Ali” dalam episode Perang Banjar di Tambai Mekah.`
Sebelum adanya gerakan nativisme, Tambai Mekah bernama Desa Kumbayau. Sebuah desa yang berada dipinggir Sungai Muning. Sungai ini merupakan anak Sungai Nagara di Kalimantan Selatan yang bermuara pada Sungai Barito di Kalimantan Tengah.
Pada masa tersebut, perdagangan dari pedalaman di hulu sungai hilir-mudik melalui Sungai Nagara ini. Adapun waktu yang diperlukan untuk sampai ke Desa Kumbayau, jika menaiki sampan kecil dari Sungai Nagara, adalah dua hari perjalanan. Waktu yang sama jika perjalanan ditempuh dari ibukota Kerajaan Banjar, Martapura–Kayu Tangi. Kayu Tangi atau Kajoe Tangi/Cagu-Tangie/Caytongee/Caytonge/Cotatengah/Caytonja adalah ibukota Kesultanan Banjar pada masa Sultan Tahlilullah, yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Banjar, Kalsel.
Desa Kumbayau merupakan daerah yang awalnya sangat tidak menarik perhatian Sultan Tamjidillah dan sekutunya, Belanda. Di sana sama sekali tidak tampak tanda-tanda pemberontakan. Selain itu juga karena daerah tersebut terletak dipedalaman, tanahnya berupa rawa luas, dan bentang alamnya didominasi hamparan sawah serta jauh dari sungai.
Jika melihat topografi seperti ini, sungguh orang-orang Kumbayau sangat tidak berpotensi untuk memberontak. Ditambah lagi daerah tersebut merupakan Tanah Apanase Sultan Tamjidillah, sepeninggal Prabu Anom yang dibuang ke Bandung.
Namun ternyata tidak disangka, gerakan ini berakibat besar yang mampu menarik perhatian rakyat Banua Lima, bangsawan Banjar, dan Belanda. Tidak main-main pengaruh gerakan ini mampu menarik simpatik dan dukungan rakyat dan dimanfaatkan oleh Pangeran Antasari untuk “memukul” Sultan Tamjidillah serta pihak Belanda.
Pemimpin gerakan teresebut bernama Aling, seorang yang sudah tua renta dan buta. Helius Sjamsuddin (2014) dalam Pegustian dan Temenggung menjelaskan bahwa masa muda Aling adalah seorang perompak sungai, kemudian karirnya berkembang menjadi seorang pengawal Sultan Adam (kakek Sultan Tamjidillah) pada hari-hari besar. Sultan mengalihkan tugasnya sebagai pekerja kebun untuk memanen buah-buan milik Kerajaan di Desa Kumbayau, karena Aling sudah semakin tua.
Suatu ketika pekerjaan Aling tersebut dirampas oleh seorang kepala kampung (pambakal) yang bernama Karim, hingga hidupnya pun melarat. Dalam keputus asaan karena melarat diapun melakukan tapa. Disinyalir Pambakal Karim diangkat oleh Sultan Tamjidillah yang begitu dibenci segenap rakyat Banjar.
Sultan Tamjidillah dibenci karena 1) Melanggar tradisi kerajaan karena bukan berasal dari trah bangsawan, yakni ibunya hanya seorang selir, 2) Merampas hak Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan, sesuai wasiat Sultan Adam, 3) Hasil anak diluar nikah, 4) Dekat dengan Belanda yang kafir dan memonpoli perdagangan lada, 5) Hidup Sultan Tamjidillah sangat kebarat-baratan, sama sekali tidak Islami. Kebencian tersebut terakumulasi lalu memicu Aling untuk bertapa.
J.J. Meijer dalam artikelnya Voor Vertig Jaren te Bandjermasin (1899) menyebutkan data-data interogasi atas Sambang alias Sultan Kuning. Dia mengatakan bahwa Aling melakukan tapa selama sembilan bulan dan sembilan hari. Pada akhir tapa tersebut Aling mendengar suara gaib yang berbunyi:
“Aku senang karena kamu sudah melakukan amal (tapa), kamu telah meminta negeri dan pegustian (pimpinan kerajaan) yang tetap. Segeralah kerjakan bunyi-bunyian (gamelan kerajaan?), muda-mudi yang bisa gandut (semacam ronggeng) supaya raja-raja gaib mau menolong mu dan negeri serta rajamu tetap. Hadirkan pula Pangeran Antasari untuk datang ke Muning”.
Jika melihat penjelasan J.J Meijer ini, bisa dikatakan bahwa Aling mampu berhubungan dengan hal-hal gaib. Lebih lanjut lagi Meijer dan Helius Sjamsuddin menjelaskan bahwa dia mempunyai kemampuan supranatural; menyembuhkan sakit, menghidupkan orang mati dan membuat kebal senjata.
Setelah pertapaan dan suara gaib itu, Aling segera memberitahukan keluarganya dan sesegeranya membuat replika atribut kerajaan. Lalu dia memberikan gelar untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Gelar tersebut merupakan nama-nama lagendaris Puteri Junjung Buih-Pangeran Suryanata, Sultan Kuning dan Isteri, serta Nabi dan Keluarganya.
Jika ditelaah lebih lanjut, gelar tersebut merupakan harapan Aling akan adanya kedamaian seperti era Suryanata-Junjung Buih, kemakmuran dan ketenteraman seperti era Sultan Kuning dan keadilan yang luar biasa seperti zaman Rasulullah.
Aling sendiri mengaku sebagai “nabi” dengan gelar Panembahan Muda atau Panembahan Aling. Anak sulungnya, Sambang bergelar Sultan Kuning, anak keduanya sebagai Pangeran Suryanata, dan anak ketiganya sebagai Mangkubumi.
Puteri Aling yang bernama Nuramin dan Saranti masing-masing bergelar Ratu Kramat (Isteri Sultan Kuning) dan Puteri Junjung Buih. Adapun suami Nuramin sendiri diberi gelar Sayyidina Ali, panglima perang pasukan laki-laki. Kemenakan Aling disapa Fatimah, sebagai panglima perang pasukan perempuan.
Desa Kumbayau tempat Aling dan keluarganya bermukim disebut dengan tambai (serambi) Mekah.
Sayyidina Ali, Panutan Keberanian dan Ketakwaan
Kaitannya dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bisa dijelaskan seperti ini. Ali bin Abi Thalib merupakan satu diantara sahabat Nabi yang dikenal takwa dan pemberani serta cakap dalam hal kemiliteran. Selain itu, Sayyidina Ali adalah seseorang yang pandai memainkan pedang. Cerita ketakwaan, keberanian, dan kecakapan Ali tersebut menjadi sebuah cerita dan mengkristal dalam sejarah Islam, termasuk menyusup ke dalam budaya Banjar.
Dalam tradisi lisan masyarakat Banjar terdapat semacam mantra yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib. Satu diantara mantera tersebut berbunyi:
Bismillahirahmanirrahim
Kain kindusin
Banang baginda Ali
Tujuh lapis babat di pinggang
Lapisakan ka badanku
Barkat laa ilaha ilallah, barkat muhammadur rasulullah.
Mantra digunakan untuk menghadapi musuh ketika berkelahi. Adapun cara memakainya adalah dengan melilitkan kain ke perut sambil membaca mantera tersebut. Khasiat mantera tersebut adalah meningkatkan semangat dan membuat tubuh menjadi kebal dalam senjata.
Dari beberapa cerita lisan dan mantra Banjar yang pernah saya dengar, dapat disimpulkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah simbol keberanian dalam mentalitas masyarakat Banjar. Pun demikian halnya dengan Aling. Aling juga pemberani seperti Sayyidina Ali.
Maka itu, Aling mempersonifikasikan nama Sayyidina Ali untuk menantunya, sebagai simbol semangat perlawanan menghadapi kezaliman Sultan Tamjidillah dan Belanda.