Sedang Membaca
Agama, Semiotika untuk Berdusta
Junaidi Abdul Munif
Penulis Kolom

Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

Agama, Semiotika untuk Berdusta

Islam sebagai agama, hadir tidak dalam ruang kosong sejarah. Proses internalisasi Islam dengan sejarah dan kebudayaan memunculkan tipologi keberislaman yang plural, sehingga konsensus Islam tidak pernah secara tunggal.

Dimensi sosial-politik menguat sebagai jalan strategi demi menjadikan Islam diterima oleh masyarakat Indonesia. Sejak kedatangan Wali Songo ke Jawa, Islam menemukan sebuah kenyataan bahwa masyarakat Nusantara waktu itu telah memiliki agama, sistem kepercayaan yang telah dulu ada. Politik kebudayaan ditempuh sebagai upaya menyebarkan Islam dengan damai di masyarakat yang plural.

Proses dialetika Islam dengan anasir-anasir yang dimiliki umat Islanm di Indonesia, baik menyangkut politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan telah memunculkan suatu bentuk Islam yang khas. Islam menjadi solusi bagi masalah-masalah kemanusiaan yang butuh rasionalitas pemikiran, tidak hanya berpijak pada teks Islam secara an sich.

Pada titik tertentu, situasi demikian menimbulkan beragam tafsir demi mencari Islam yang benar.

Umat Islam di Indonesia adalah mayoritas yang jumlahnya sekitar 85%. Jumlah itu sangat besar dan membuat Indonesia menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Kendati begitu, pertanyaan klasiknya adalah: mengapa perilaku menyimpang dari agama masih saja terjadi jika umat Islam begitu banyak di negara ini?

Kondisi Islam Indonesia

Adakah yang salah dari penafsiran agama dari umat, penyampaian syiar agama oleh para dai, dan fatwa ulama-ulama yang menjadi pewaris nabi itu? Analisis ini menjadi penting mengingat mayoritas umat Islam mendapatkan pengetahuan agamanya secara instan, melalui menonton televisi, mendengarkan pengajian (ceramah agama), membaca buku, dan bertanya kepada orang lain yang dianggap ahli agama.

Baca juga:  Tower of Silence, Peristirahatan Terakhir Penganut Majusi

Mari kita mencoba mencari akar genealogis mengapa banyak terjadi penyimpangan nilai-nilai agama, kendati jumlah muslim yang shalat dan puasa begitu banyak di negara ini. Acara-acara keagamaan yang menyejukkan hati tak kurang jumlah di televisi. Masjid terus dibangun dengan mewah.

Dalam kacamata demografis, rupanya kuantitas umat Islam itu masih harus dibagi lagi menjadi beberapa kelompok. Mengikuti klasifikasi umat Islam oleh Indonesianis, Clifford Geertz dalam The Religion of Java, yang membagi orang Islam di Jawa terdiri atas tiga golongan, yakni santri, priyayi, abangan.

Kendati kemudian banyak dibantah oleh banyak peneliti setelahnya, klasifikasi Geertz menemukan relevansinya dalam pola kelompok keberislaman kontemporer di Indonesia. Santri adalah mereka yang tumbuh dalam habitus dan kultur keislaman yang kental. Mereka mendiami kauman, yakni suatu daerah yang terdapat pesantren atau tokoh agama yang disegani.

Priyayi adalah mereka dari golongan menengah kaya, yang secara ilmu agama terbilang biasa saja namun memiliki basis ekonomi dan sosial yang kuat. Sedangkan abangan adalah mereka yang lazim disebut sebagai “Islam KTP”, yakni orang Islam yang islamnya hanya label di KTP. Mereka tak begitu konsisten menjalankan ajaran agama, serta tak juga memiliki basis ekonomi dan sosial yang mapan.

Dari klasifikasi ini, kualitas keberislaman, -dalam arti mereka yang menjalankan agama dengan taat-, dilakukan oleh kaum santri karena alasan bahwa mereka lebih tahu tentang agama. Tentu jumlah santri akan dibagi lagi sesuai kadar keilmuwan yang dimilikinya. Jadi pelanggaran ajaran agama sangat memungkinkan terjadi.

Baca juga:  Corona: Praktik Keagamaan dan Praktik Sekuler

Dikotomi Kesalehan

Faktor yang bisa dianggap sebagai biang keladi kemerosotan moral umat Islam adalah munculnya dikotomi kesalehan. Islam dengan jelas menyebutkan bahwa antara kesalehan individu (ritual) dan kesalehan sosial tak bisa dipisahkan.

Banyak ayat-ayat Alquran yang menyebutkan bahwa kata amanu (beriman) sering diikuti kata amiluus sholihat (berbuat kebaikan). Salat sebagai ibadah individu akan memiliki implikasi pada ranah kehidupan sosial, shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya, seolah terjadi hubungan kausalitas, bahwa orang yang melakukan shalat akan “otomatis” tidak akan melakukan perbuatan yang tercela.

Namun kita kini telah memisahkan antara ibadah ritual (ruang privat) dan ibadah sosial (ruang publik). Dikotomi kesalehan ini telah menyebabkan spiritualitas dan agama hanya dipahami sebatas urusan manusia dengan Tuhan. Ibadah hanya sebatas mahdhoh (shalat, puasa, zikir, zakat), sementara yang berkaitan dengan urusan kemanusiaan hanya urusan yang profan.

Kesadaran bahwa ibadah sosial juga memegang posisi yang amat penting telah menimbulkan gerakan Islam kaffah yang ingin menjadikan Islam sebagai spirit kehidupan manusia, baik muamalah (sosial-ekonomi) maupun siyasah (politik). Mereka berhasrat mengegolkan syariat Islam sebagai landasan ideologi negara. Mereka berlindung pada “topeng sejarah” bahwa Islam lahir di Arab sehingga manifestasi ajaran Islam kian arabis. Inilah yang dilawan oleh Gus Dur ketika meneriakkan jargon pribumisasi Islam sesuai konteks budaya dan sejarah masyarakat Indonesia.

Baca juga:  Mengais Solidaritas Arab dari Sisa-Sisa Piala Dunia Qatar

Nur Khalik Ridwan (2004) mendedahkan bahwa munculnya gerakan purifikasi Islam (Islam murni), yang kearab-araban itu sarat dengan agenda politik dan ekonomi. Jargon kembali ke Alquran dan sunnah hanya merupakan kamuflase agar agenda terselubung tersebut seolah memiliki landasan teologis. Pandangan ini “berterima” di masyarakat priyayi dan abangan di perkotaan, yang rasional, modern serta menginginkan instanisasi dalam memahami Islam.

Keberislaman kontemporer hari ini riuh dengan Islam yang atributif dan simbolik. Ritual-ritual keagamaan yang sejak mula jauh dari gegap gempita, kini tampak meriah. Acara-acara pengajian, istighotsah, zikir nasional menghiasi ruang publik, terutama menjelang momentum-momentum tertentu. Misalnya saat UN, banyak sekolah yang tiba-tiba relijius dengan menggelar istigotsah agar Allah memudahkan mereka dalam menggarap ujian nasional.

Inilah paradoks keberislaman kita hari ini, saat menjadikan Islam hanya atribut megah tanpa substansi yang merasuk di jiwa pemeluknya. Agama menjadi medan simulakrum dan simbol-simbol keagamaan (mengikuti Umberto Eco) adalah semiotika untuk berdusta. Salat (ibadah) kita belum mencegah dari perbuatan keji dan munkar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top